Â
"Apa motivasimu masuk Seminari?" tanya Pembina Seminari.
"Saya mau main bola' mau pimpin misa, mau naik mobil" demikian beberapa jawaban calon siswa Seminari.
Seminari Menengah adalah salah satu tahapan pendidikan untuk menjadi Pastor (Imam Katolik). Seminari menengah merupakan sekolah yang setingkat dengan Sekolah Menengah Atas regular, masa pendidikannya mencapai 4 tahun.
SMA Seminari Menengah Santu Rafael Oepoi-Kupang adalah salah satu Seminari di Regio Nusa Tenggara, singkatannya SMASSTRA Oepoi terletak di Jln. Thamrin No. 15, Oepoi-Kel. Kayu Putih, Kec. Oebobo Kota Kupang-NTT.Â
Berdiri sejak 15 Agustus 1984, berdiri pada masa Kepemimpinan Alm. Mgr, Gregorius Monteiro, SVD-diresmikan oleh Alm. Ben Mboy; Gubernur NTT masa itu. Angkatan pertama berjumlah 11 orang. Dari 11 orang seminarist, satu orang yang menjadi imam.
SMASSTRA Oepoi memiliki semboyan; "Mensana in Corpore Sano ad Plantandum Semina Verbi Dei," yang artinya "Di dalam Tubuh yang Sehat terdapat Tubuh yang Kuat untuk Menanam Benih Sabda Allah." Seminari menganut 5 prinsip dalam menanam (Semen) benih Sabda Allah, yakni: Kekudusan (Santitas) Ilmu Pengetahuan (Scientia), Kesehatan (Sanitas), Kebijaksanaan (Sapientia), Solidaritas (Solidare). Seminarist diarahkan dan dibentuk untuk menghidupi dan menjiwai ke Lima prinsip tersebut.
Seminari adalah tempat menganyam cipta menjemput cita dalam cinta menjadi manusia yang manusia. Tujuan pendidikannya adalah mendidik para seminarist yang datang dari beragam latar belakang adat istiadat, status sosial dan orientasi menjadi seorang Pastor yang berkerohanian, berkarakter dan berintelek.Â
Memang dalam perjalanan pembentukan ada yang memilih untuk melanjutkan pendidikan di tempat lain dengan alasan tidak mampu menjadi diri sendiri atau tidak lagi mempunyai niat menjadi Imam. Ada pula yang dikeluarkan dari Seminari karena tidak mencapai tuntutan dalam pendidikan seperti; nilai yang tidak cukup dan kelakuan yang dinilai tidak mencerminkan kepribadian seorang seminarist.
Ciri khas kehidupan seminari adalah hidup di atas aturan diciplina mater studiorum est --aturan adalah ibu bagi para pelajar, maka untuk menggapai cita hargailah aturan yang sudah tetera dari bangun pagi sampai tidur malam sepanjang tujuh hari.Â
Aturannya mengatur tentang: waktu bangun dan tidur pagi siang dan malam, belajar, olahraga, rekreasi, kerja, doa, pengembangan ketrampilan-bermusik, menulis dan berbahasa asing-menerima tamu, waktu mengunjungi keluarga di sekitar Kota Kupang sebulan sekali sampai aturan yang tidak dapat dikrompomi-hukumannya dikeluarkan dari Seminari bila kedapatan-yakni: mencontek, bolos, berkelahi dan tidak mengikuti perayaan Ekaristi hari Minggu.
Menjadi seminarist itu menentang diri sendiri dan dunia. Rela menjalani hidup yang lain dari anak seusianya, jauh dari kenikmatan duniawi; makan minum tidur enak, terpisah dari dunia luar, hingga kesediaan hidup selibat sampai tutup usia bila nantinya menjadi imam.Â
Dalam menjalankan aturan, terkadang lalai dan jatuh adalah keharusan. Sebab, untuk berjalan tegak berdiri hanya dapat terjadi setelah pernah terjatuh hingga berjuang untuk bangkit kembali. Jatuh yang tidak dapat bangun lagi itulah yang berakibat pada memlilih keluar atau dikeluarkan.
Kisah yang Lekang dalam Ingatan
Persaudaraan (fraternitas) adalah nadi kehidupan seminarist. Kelas sosial melebur. Jarak mencair. Otentisitas tetap terjaga. Keakraban yang terbangun melalui temu sapa setiap harinya menjadikan ikatan persaudaraan di antara seminarist begitu kuat.Â
Kesetiakawanan dan kekerabatan laiknya saudara tercermin lewat berbagi makanan kiriman orang tua, meminjamkan pakaian bahkan uang bila ada yang butuh, merasa sakit ketika yang lain sakit dan bahagia ketika yang lain bahagia hingga pada tingkatan tidak sakit hati ketika diejek. Situasi ini tercipta bukan saja saat di dalam asrama. Konflik dan dendam sebagai konsekuansi senioritas sirna ketika bertemu di luar tembok asrama.
Meski hidup serumah, setiap harinya selalu ada cerita yang mengundang decak tawa. Ada kisah yang mengharu biru. Ada tutur dan laku yang lahirkan kekaguman. Setiap seminarist seolah menjadi baru setiap harinya.Â
Selayaknya anak remaja, menggunakan nama samaran atau alias seolah jadi tuntutan. Setiap seminarist punya nama samaran, yang terkadang membuat bingung kerabat ketika berkunjung karena nama aslinya selalu berbeda dengan nama keseharian.
Hidup di dalam tembok tidak menutup kemungkinan untuk mengikuti perkembangan terbaru lewat media masa dan style modis kekinian. Itu bukanlah hal yang tabu. Minyak rambut terbaru, buku best seller, musik pop terhits atau model berpakaian terkini jadi santapan seminarist. Seminarist punya dua pakaian seragam putih abu-abu dipakai hari Senin-Rabu dan kuning biru dikenakan Kamis-Jumat.
Makanan pokok seminari ialah rebusan kacang ijo. Terkadang dicampur dengan bawang merah dan putih agar menambah niat makan, kadang pula dimasak menjadi bubur kacang ijo dicampur gula dan susu hasil patungan setiap meja makan yang anggotanya berjumlah tujuh sampai delapan orang, dengan komposisi kelas Persiapan (masa satu tahun sebelum masuk kelas satu SMA) sampai kelas Tiga.
Makanan seadanya tidak gugurkan niat untuk memacu perkembangan intelek. Waktu belajar dua kali sehari selepas sekolah harian adalah saat untuk memaksimalkan diri mengusai ilmu yang telah dibagi para guru. Kelas yang hening karena tekunnya belajar atau bahkan karena ketiduran atau riuh ramai karena kekonyolan, adalah bagian dari proses pembentukan diri seminarist. Pastinya situasi seminari selalu berusaha hidup dalam keheningan (silentium). Dalam heninglah benih dapat diresapkan untuk bertumbuh menjadi pewarta.
Rumah Panggil Pulang
Hari Minggu (27/01/2019). Kami angkatan ke XXIII Seminari Menengah St. Rafael Oepoi pulang ke rumah mencicipi kenangan yang telah tergores sepanjang tahun 2007-2011. Â Sembilan tahun lalu, kami menamatkan pendidikan di sana. Kini kami kembali sejenak menimba energi. Banyak kisah yang terukir. Air mata duka melepas teman yang pergi semasa pendidikan-tawa bahagia seusai perjuangan sepanjang empat tahun.
Kini, kami datang dengan beragam cerita, sebab lebih banyak yang menempuh hidup di luar dengan beragam profesi setelah pernah hidup di Seminari.
 Dari 92 orang yang terdaftar dan masuk ke dalam angkatan sepanjang empat tahun yang menamatkan pendidikan dari Seminari 21 orang, 11 orang diantaranya kini sementara melanjutkan pendidikan di Seminari Tinggi.Â
Dua tahun lagi mereka akan ditahbiskan menjadi Imam Katolik. Walau demikian, pertemuan itu tanpa jarak berarti, tawa berurai, candaan dan banyolan tentang kekonyolan di masa lalu masih segar dalam ingatan dan menghidupkan kembali kekerabatan.
Kurang lebih pukul 16.15 WITA, kami melangsungkan pertandingan persahabatan sepak bola dengan Pemain Inti Seminari Menengah St. Rafael Oepoi. Berjibaku dengan lapangan yang sebagiannya berlumpur, memacu tenaga yang tak lagi segarang dulu, kelelahan dengan energi pemain inti yang seolah tidak habisnya hingga candaan dalam oper mengoper bola seolah memanggil kembali memori semilan tahun silam.Â
1 jam 30 menit berpacu menguras tenaga, kami harus akui keunggulan dan kelincahan pemain inti SMASSTRA Oepoi, mereka berhasil mempertahankan rekor tidak terkalahkan di kandang dengan skor 3-4. SMASSTRA Oepoi berhasil mengungguli pertandingan melawan alumnus SMASSTRA Oepoi Angkatan XXIII.
Demikian sepenggal cerita pulang ke rumah. Beribu kata tentu tidak mampu mengambarkan sekian kenang yang tertoreh di rumah. Intinya, di rumah-SMASSTRA Oepoi Kami diasah, diasuh dan diasih. Jayalah SMASSTRA Oepoi! Kian tegarlah melahirkan manusia manusia yang yakin pada kemampuan dirinya, bangga akan daerahnya, berpihak pada yang papah dan ringkih serta bertaqwa pada Yang Kuasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H