Menjadi seminarist itu menentang diri sendiri dan dunia. Rela menjalani hidup yang lain dari anak seusianya, jauh dari kenikmatan duniawi; makan minum tidur enak, terpisah dari dunia luar, hingga kesediaan hidup selibat sampai tutup usia bila nantinya menjadi imam.Â
Dalam menjalankan aturan, terkadang lalai dan jatuh adalah keharusan. Sebab, untuk berjalan tegak berdiri hanya dapat terjadi setelah pernah terjatuh hingga berjuang untuk bangkit kembali. Jatuh yang tidak dapat bangun lagi itulah yang berakibat pada memlilih keluar atau dikeluarkan.
Kisah yang Lekang dalam Ingatan
Persaudaraan (fraternitas) adalah nadi kehidupan seminarist. Kelas sosial melebur. Jarak mencair. Otentisitas tetap terjaga. Keakraban yang terbangun melalui temu sapa setiap harinya menjadikan ikatan persaudaraan di antara seminarist begitu kuat.Â
Kesetiakawanan dan kekerabatan laiknya saudara tercermin lewat berbagi makanan kiriman orang tua, meminjamkan pakaian bahkan uang bila ada yang butuh, merasa sakit ketika yang lain sakit dan bahagia ketika yang lain bahagia hingga pada tingkatan tidak sakit hati ketika diejek. Situasi ini tercipta bukan saja saat di dalam asrama. Konflik dan dendam sebagai konsekuansi senioritas sirna ketika bertemu di luar tembok asrama.
Meski hidup serumah, setiap harinya selalu ada cerita yang mengundang decak tawa. Ada kisah yang mengharu biru. Ada tutur dan laku yang lahirkan kekaguman. Setiap seminarist seolah menjadi baru setiap harinya.Â
Selayaknya anak remaja, menggunakan nama samaran atau alias seolah jadi tuntutan. Setiap seminarist punya nama samaran, yang terkadang membuat bingung kerabat ketika berkunjung karena nama aslinya selalu berbeda dengan nama keseharian.
Hidup di dalam tembok tidak menutup kemungkinan untuk mengikuti perkembangan terbaru lewat media masa dan style modis kekinian. Itu bukanlah hal yang tabu. Minyak rambut terbaru, buku best seller, musik pop terhits atau model berpakaian terkini jadi santapan seminarist. Seminarist punya dua pakaian seragam putih abu-abu dipakai hari Senin-Rabu dan kuning biru dikenakan Kamis-Jumat.
Makanan pokok seminari ialah rebusan kacang ijo. Terkadang dicampur dengan bawang merah dan putih agar menambah niat makan, kadang pula dimasak menjadi bubur kacang ijo dicampur gula dan susu hasil patungan setiap meja makan yang anggotanya berjumlah tujuh sampai delapan orang, dengan komposisi kelas Persiapan (masa satu tahun sebelum masuk kelas satu SMA) sampai kelas Tiga.
Makanan seadanya tidak gugurkan niat untuk memacu perkembangan intelek. Waktu belajar dua kali sehari selepas sekolah harian adalah saat untuk memaksimalkan diri mengusai ilmu yang telah dibagi para guru. Kelas yang hening karena tekunnya belajar atau bahkan karena ketiduran atau riuh ramai karena kekonyolan, adalah bagian dari proses pembentukan diri seminarist. Pastinya situasi seminari selalu berusaha hidup dalam keheningan (silentium). Dalam heninglah benih dapat diresapkan untuk bertumbuh menjadi pewarta.