Pelacur-pelacur kota Jakarta// Berhentilah tersipu-sipu// Ketika kubaca di koran// Bagaimana badut-badut mengganyang kalian//Menuduh kalian sumber bencana negara// Aku jadi murka// Kalian adalah temanku/ Ini tak bisa dibiarkan// Astaga Mulut-mulut badut// Mulut-mulut yang latah bahkan seks mereka politikkan//Saudari-saudariku// Membubarkan kalian// Tidak semudah membubarkan partai politik//Mereka harus beri kalian kerja//Mereka harus pulihkan darjat kalian//Mereka harus ikut memikul kesalahan...
Kutipan puisi W S Rendra 'Bersatulah Pelacur Pelacur Kota Jakarta'
Pengantar
Penutupan Lokasi Karang Dempel Tenau di Kota Kupang yang telah berdiri sejak Maret 1979 menuai kontraversi berbagai pihak. Pasalnya, penutupan lokasi karang dempel dengan Surat Keputusan Walikota Kupang No. 176/KEP/HK/2018 per tanggal 1 Januari 2019 tentang Penutupan Lokasi Karang Dempel Kelurahan Alak, Kecamatan Alak Kota Kupang, tanpa peninjauan yang serius dari berbagai dimensi sosial, politik, ekonomi, hukum dan HAM. Para pihak yang bekerja dan menggantungkan hidupnya dari keberadaan Lokasi Karang Dempel pun, kini pasca penutupan hidup dalam situasi yang menggantung-tanpa kepastian.
Pasalnya, sejak awal wacana penutupan Lokasi Karang Dempel Alak, sudah menuai protes. Tidak adanya tranparasi dalam sosialisasi penutupan lokasi, intrumen pengambilan data yang tanpa kejelasan, intimidasi terhadap para pekerja seks di lokasi melalui pemberitaan di media yang berat sebelah bahkan sampai pada intimidasi melalui aparat hukum bahkan sampai pada memotong sumber penghasilan ekonomis warga lokasi dan warga di sekitar lokasi.
Apa tujuan Walikota Kupang menutup Lokasi Karang Dempel Alak? Sudahkah berbasis kajian yang mampu menjamin hak hidup warga Lokasi? Bahkan, seolah Walikota tidak mau mendengarkan suara rakyat di Lokasi, buktinya; dialog yang diselenggarakan oleh Forum Pencegahan HIV/AIDS Kota Kupang dengan tema 'Lokalisasi dan Pencegahan HIV AIDS' pada 14 November 2018 di Karang Dempel Alak, tidak dihadiri oleh Walikota Kupang yang diundang sebagai pembicara. Para pekerja Seks di Lokasi Karang Dempel Alak adalah warga negara Republik Indonesia yang wajib dilindungi dan dijamin haknya sesuai dengan amanah konstitusi dan Undang-Undang Dasar beserta segala turunan perangkat hukum dan perangkat kebijakannya.
Apakah landasan hukum yang dipakai Pemerintah Kota Kupang telah bersifat mengikat hingga getol mewacanakan penutupan Lokasi di Kota Kupang? Apakah instruksi dari Kemensos untuk menutup 43 Lokasi di Indonesia sebagai pra wacana 'Indonesia Bebas Prostitusi 2019' sudah berdasar dan mengikat? Ataukah dasar penutupan yang mau merujuk PERDA 39 tahun 1999 tentang Penertiban Tempat Pelacuran dalam lokus Lokasi di Kota Kupang telah melanggar ketentuan PERDA ini sebagaimana diatur dalam Pasal 8 angka 1, 2 dan 3?
Ataukah Pemerintah Kota hendak mengurusi dan menjamin moral warga Kota Kupang? Apakah pemerintah Kota Kupang berani dan mampu menjamin kesehatan warga kotanya dengan ekses dari penutupan Lokasi Karang Dempel-Tenau, Kelurahan Alak, Kecamatan Alak Kota Kupang?
Faktanya, pertama, belum ada basis legal formal yang cukup memadai tetapi pewacanaan penutupan ini sudah sampai pada pembentukan Gugus Tugas Penertiban Lokasi yang malah sudah setahun yang lalu-SK Walikota No. 163B/KEP/HK/2017 Tentang Pembentukan Tim Gabungan Penertiban Anak Jalanan, Orang dengan Gangguan Jiwa dan Pekerja Seks Komersial Lingkup Kota Kupang. Bahkan, penutupan lokasi yang sudah diberlakukan pada tanggal 01/01/2019 yang kini getol dikampanyekan melalui koran cetak, portal daring hingga radio;
Kedua, dampaknya stigma kolektif atas ekses 'negatif' lokasi dan penghuninya makin menguat, padahal perilaku nista struktural yang melembaga dengan konsekuensi ikutan yang berdampak luas bagi warga Kota tidak pernah diseriusi seperti korupsi dan bagi-bagi jabatan, salah urus tata kota hingga banyak kali baru di jalanan kota setiap musim hujan hingga program yang salah kaprah seperti pembangunan taman di bundaran PU yang mencabut tanaman endemik Timor sampai menghina adagium dan praksis 'tanam sekali lagi tanam' milik El Tari yang patungnya terpampang di situ;
Ketiga, para Pekerja Seksual di Lokasi Karang Dempel Tenau menjadi terintimidasi dengan masiffnya pemberitaan yang tidak berpihak pada mereka. Buktinya, sejak awal pewacanaan penutupan lokasi yang dikampanyekan bulan Agustus 2018 lalu, para PS di lokasi menjadi takut dan trauma hingga ada yang melarikan diri dari lokasi, meminta untuk berhenti dengan harapan yang tak pasti. Dari jumlah yang awal 2018 sebanyak 182, hingga kini Desember 2018 jumlahnya berkurang menjadi 154 orang.
Keempat, kekhawatiran akan identitas mereka yang akan terus dibuka berimbas pada stigma buruk yang terus mendalam dan penolakan dari pihak keluarga. Ke mana lagi mereka akan mengadu hidupnya? Sementara negara sebagai penjamin asasi warganya bahkan telah menggusur mereka;
Kelima, jaminan rehabilitasi sosial dan pemberdayaan ekonomi tidak pernah berkelanjutan dan membuat para eks PS dapat berdaya di masyarakat. Apakah pemerintah mampu menafkahi dan menjamin anak dan keluarganya saat mereka dalam proses rehabilitasi dan pemberdayaan? Dengan memberi dana usaha apakah pemerintah dapat menjamin bahwa usahanya berkembang di tengah stigma yang masih kental?
Keenam, penutupan lokasi yang dipaksakan tanpa tinjauan kritis evaluatif, menuai tanggapan kontra dari berbagai pihak. Karena itu, upaya represif dan penyebaran ketakutan yang diprakarsai oleh Walikota dan Wakil Walikota dengan menggunakan aparat POLDA NTT bersenjata lengkap, 3 truk Dalmas dan 1 mini bus adalah bentuk show of power yang menegaskan bahwa Walikota tidak punya tinjauan yang berkelanjutan terkait penanganan para pekerja seks, karena itu wacana penutupan Lokasi Karang Dempel-Tenau dipaksakan dengan menggunakan aparat hukum;
Ketujuh, mari berhenti bicara soal moral dalam kasus ini. Siapakah pemerintah yang korup, banyak salah urus kota dan tanpa prioritas hingga hendak menghakimi sesamanya? Silakan kita buka dan cek data kumulatif periode 1997-September 2018. Kota Kupang adalah Kota/Kabupaten teringgi dari 22 kabupaten di NTT yang jumlah penderita HIV mencapai 979 orang, AIDS 425 orang, yang meninggal akibat menderita HIV-AIDS 67 orang-Total Keseluruhan 1404 Orang;
Kesembilan, penutupan Lokasi yang tanpa tinjauan serius per 1 Januari 2019, membawa ekses buruk bagi pekerja seks di lokasi Karang Dempel dalam segi ekonomi. Siapa yang bertanggungjawab memberi mereka makan dan minum setiap harinya? Bila uang pesangon yang dijanjikan akan diberikan per orang 5, 5 juta belum juga dicairkan. Bahkan, ada yang sudah mencari penghidupan lain sebagai dampak pengusiran secara halus tersebut.
Penutup
Pemerintah wajib mendampingi dan memberdayakan warga lokasi Karang Dempel sebagai wujud tanggungjawab negara terhadap warganya. Dengan menutup lokasi pemerintah Kota Kupang wajib menjamin bahwa eks warga lokasi dapat hidup dan berdaya dalam lingkungan sosial tempat mereka akan hidup.
Maka, proses pemberdayaaan warga di lokasi dimulai dari rehabilitasi sosial dan kesehatan, pelatihan pengembangan kapasitas hingga reintegrasi sosial adalah proses yang harus dijalankan dengan serius dan berkelanjutan. Pemerintah Kota Kupang tidak bisa menyelesaikan masalah prostitusi dengan menutup tempat yang dianggap mempraktekkan prostitusi. Menjamin kemanusiaan warga negaranya adalah tugasnya bukan memasuki ranah privat moral warganya dengan mengurusi urusan 'ranjang.' Negara tidak punya wewenang dalam urusan 'kawin mengawin' warganya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI