Mohon tunggu...
Ardy Milik
Ardy Milik Mohon Tunggu... Relawan - akrabi ruang dan waktu

KampungNTT (Komunitas Penulis Kompasiana Kupang-NTT)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Filosofi Anak Bawang dan Keterasingan yang Berkelanjutan

30 Desember 2018   07:29 Diperbarui: 30 Desember 2018   13:31 1070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak Bawang. Dia hadir tanpa diakui keberadaanya. Ada dan tiada tidak berarti apa-apa. Tak ada status yang menandai keberadaanya. Anak Bawang itu istilah dunia anak-anak bagi anak yang masuk dalam suatu permainan tapi keberadaannya tidak diakui oleh kelompok sepermainan. 

Walau ia ada dalam permainan tapi apa yang dimenangkan atau dikalahkannya tidak berarti apa-apa bagi kedua kelompok yang sementara berkompetisi.

Menarik untuk ditelaah lebih dalam bahwasanya term teknis ini berlaku melintasi batasan (overlapping) dunia anak dan berlaku pula dalam dunia kehidupan orang dewasa. Wujudnya ada dan berada pula dalam dunia kehidupan (lebenswelt) yang lebih luas hanya saja keberadaanya telah berganti rupa dalam penghalusan bahasa yang mengaburkan pandangan atas hakikat yang sesungguhnya.

Keberadaan diri yang tidak diakui atau pun bahkan dengan keberadaannya meniadakan keberadaan orang lain, sesuai dengan rumusan Jean Paul Sartre (1905-1980) bahwasanya keberadaan diri dan kebebasannya terenggut dengan adanya keberadaan orang lain. 

Dalam konteks perspektif eksistensialime, bentuk eksistensialis nihilistik ala Sartre merupakan buah dari eksistensialis nihilistik lainnya yang mempertentangkan keberadaan manusia dalam dua klasisfikasi kelas berdasarkan intensi hidup dan sikap moral ala Friedrich Nietszche (1844-1900) yang mempertentang moralitas budak dan moralitas tuan.

Moral budak sebagai manusia yang penuh belas kasih, menerima apa adanya kenyataan hidup tanpa berani dan mau bergerak melawan-Moralitas tuan adalah manusia yang mau berjuang, berusaha dan tidak sekadar menerima bahwa belas kasihan dan cinta pada sesama bahkan musuh adalah bentuk ultim dari sikap moralis tetapi berusaha melampaui sekat moral untuk menegaskan dirinya. Inilah yang oleh Nietszche disebut Manusia Super (ubermensch)

Metamorphosis Anak Bawang

Dalam dunia kerja Anak Bawang terwujud dalam diri anak magang yang dapat diperintah ke sana ke mari dan manut saja pada atasan. Keberadaannya hanya diakui sebagai pelengkap penderita, tidak lebih. Dia tidak bekerja untuk mengaktualisasikan dirinya tetapi bekerja atas perintah atasan. Implikasinya, daya cipta dan kehendak dalam dirinya tidak dapat terwujud.

Dalam dunia birokrasi Anak Bawang naik kelas jadi penjahat kelas teri yang punya daya rusak luar biasa tapi tidak terdeteksi karena entitasnya yang kecil. Keberadaannya baru terlacak setelah melebur dalam kuasa yang kebablasan dan korupsi berjumlah besar.[1]

Dalam konteks kenegaraan anak bawang terejahwantah dalam 'presiden, gubernur, bupati boneka' yang hanya tampak sebagai pemegang kuasa, nyatanya kuasa sesungguhnya ada di tangan ologarkhi dan kapitalis tingkat lanjut dalam rupa politisi yang bermodal investasi triliunan atau pebisnis yang menguasai sektor vital atau perpaduan birokrat dan politisi yang mempunyai jejaringan yang luas dan berusaha merambah dunia bisnis.[2] 

Keterasingan diri

Anak bawang menjadi subjek yang terdeterminasi oleh subjek yang menggerakannya. Terobjektivasi. Secara filosofis, anak bawang merupakan subjek yang kehilangan otonomi dan independensi atas dirinya. 

Subjek menjadi terkooptasi oleh kepentingan subjek yang lebih berkuasa atau di atasnya sehingga ia hanyalah bayangan dari subjek yang sesungguhnya.

Subjektivasi dan objektivasi adalah konsekuensi dari dikotomi yang tidak sebanding dalam prasyarat eksistensinya, yakni mengakui esensinya sebagai sama sekaligus berbeda, berada dan setara-sederajat. 

Objektivasi subjek menjadi mungkin karena subjek kehilangan otonomi atas dirinya sendiri. Subjek larut dalam pertarungan dunia kehidupan hingga subjek kehilangan kehendak atas dirinya. 

Karl Heinrich Marx (1818-1883) mengulas keterasingan manusia dengan cukup detil. Baginya keterasingan manusia terjadi ketika manusia tidak dapat menjadi sebagai manusia dalam bekerja. Ketika bekerja tidak lagi menjadi aktualisasi diri manusia. 

Manusia dikenal sebagai siapa-apa-ketika dalam bekerja. Bila kondisi ini tidak tercipta maka sesungguhnya, manusia menjadi terasing dalam dunia kehidupannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun