Mohon tunggu...
Ardy Milik
Ardy Milik Mohon Tunggu... Relawan - akrabi ruang dan waktu

KampungNTT (Komunitas Penulis Kompasiana Kupang-NTT)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Apakah Pekerja Migran Indonesia Bagian dari Sampah?

15 Desember 2018   21:17 Diperbarui: 4 Desember 2020   11:53 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Credit Foto: Artha (YSPI)

Istilah Pekerja Migran Indonesia mulai kencang dihembuskan tahun 2018 oleh Kementrian Tenaga Kerja dan Kementrian Luar Negeri sebagai bentuk penghalusan istilah terhadap istilah sebelumnya Tenaga Kerja Indonesia dan Buruh Migran Indonesia. Mari kita lihat!

Term proletar dan buruh adalah istilah khas Karl Marx untuk membahasakan pertentangan kelas antara kelas pekerja-buruh dan Kelas borjuis serta kelas pemilik modal-tuan tanah. Term ini berkembang sejak tahun 1818-1900, dan berangkat dari term ini menjadi basis pergerakan revolusioner untuk menghapus pertentangan kelas.

Soekarno merumuskan istilah marhaen yang menjadi sintesa atas distingsi komunis dan sosialis. Menurut Soekarno, Marhaen bukan saja sebagai kelas pekerja yang menghamba dan dihisap oleh pemodal dan tuan tanah, tetapi dia mampu berdiri sendiri dengan menciptakan alat-alat produksi.

Dalam konteks NTT beberapa faktor pendorong migrasi yang berakibat pada Tindak Pidana Perdagangan Orang sesuai UU/21/2007 di antaranya sesuai dengan hasil riset Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) menemukan, antara lain:

  1. Kekurangan lahan produktif;
  2. Kebutuhan uang tunai yang tinggi sementara rerata warga di Timor Tengah Selatan NTT hanya mempunyai uang tunai dalam sebulan Rp. 300.000 (sementara untuk mengurus kelengkapan administrasi seperti KTP, walau gratis-warga dari pedalaman TTS dengan jarak tempuh ke ibukota kabupaten rerata 50-an km tentu memakan biaya produksi yang mahal-Pendapatan tidak sebanding dengan ongkos produksi)
  3. Lagi, penjarakan budaya yang masif: budaya asli belum mampu menerima invasi budaya dari luar hingga bertekuk pada bahasa iklan dan ideal dari televisi dan media sosial; misalnya memakai smartphone tanpa sinyal telepon selular;
  4. Petani tidak lagi dianggap sebagai pekerjaan;
  5. Gengsi dan prestise sosial. Ukuran ideal bangunan rumah bukan lagi dari bahan baku di alam sekitar; kayu, alang-alang dan kayu dengan model yang unik sesuai karakter daerah masing-masing. Dari segi mitigasi bencana malah lebih mampu bertahan dan tangguh-tetapi merujuk pada model bangunan hasil intervensi neo-imprealis-kapitalis yang datang menipu bahwasnya bangunan rumah yang ideal adalah beratapkan seng, bertembok dan berlantai keramik, maka dari mana mendapatkan uang banyak dalam waktu singkat selain menjual tanah atau terperdaya iming-iming bekerja sebagai pekerja migran (entah dengan status legal atau illegal)

Situasi terkini di NTT, sepanjang tiga tahun terakhir mengalami duka berkepanjangan. Tahun 2016 ada 60 Pekerja Migran yang meninggal, Tahun 2017 ada 64 PM,Tahun 2018 dengan kedatangan Margarita Bait asal Kiuni Kupang pada malam ini nantinya pukul 22.55 WITA maka total jumlah korban PMI mencapai 98 orang.

Apa yang bisa kita lakukan? SK GUBERNUR NOMOR 357/KEP/HK/ 2018 tentang Penghentian Pengiriman Calon Pekerja Migran Indonesia/Pekerja Migran Indonesia asa Nusa Tenggara Timur pun dalam uraiannya tidak menjelaskan atau bahkan menyertakan satu kata pun tentang perdagangan orang. Padahal yang mau dicegah dari kerja jejaringan mafia penjual manusia adalah Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Sumber Foto: Greg Daeng
Sumber Foto: Greg Daeng
Kini dengan memulai gerakan kesadaran kritis, mari bergandengan tangan melawan! Pihak masyarakat adat, masyarakat lokal, gereja, institusi akademis, institusi sosial, organisasi kepemudaan lokal dan nasional dan pihak pemerintah, mari kita melakukan:
  1. Menyebarkan virus kesadaran bahwa desa dapat berdaya dengan mengembangkan potensinya melalui pembangunan berkelanjutan dan gebrakan literasi yang berkelanjutan
  2. Produksi gagasan tentang model perlawanan dalam berbagai bentuk untuk melawan Tindak Pidana Perdagangan Orang, misalnya, karya tulis (esai, opini, puisi cerpen dsb), gerakan seni tari, musik dan teater;
  3. Menciptakan pasar di desa. Mulai dari proses penyiapan barang produksi, pertumbuhan, sampai penjualan hingga distribusi berpusat di desa. Menaikan posisi tawar masyarakat desa;
  4. Gereja sebagai institusi sosial yang kuat di Nusa Tenggara Timur harus kuat dan tegas menyatakan suara menolak Perdagangan Orang.

#KompasianersKupang #StopbajualorangNTT #Berkaryauntukmelawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun