Sumpah aku kesal banget ya dengan kata "dicovidkan" ! Terutama jika ucapan itu keluar dari orang-orang yang tidak percaya covid-19.
Padahal buktinya sudah ada banyak. Pemakaman meningkat, Ambulan wiu-wiu terus. IGD Rumah sakit full. Oksigen di mana-mana habis. Pembuatan peti mati semakin bertambah banyak, tukang gali kubur tidak kunjung libur.
"Laiya, tapi pasti ada beberapa yang dicovidkan oleh rumah sakit,biar mereka dapet cuan! Busuk emang busuk, permainan belaka ini, demi keuntungan rumah sakit." Ucap seseorang yang ucapannya aku reka sendiri dengan imajinasiku.
Seakan covid ini adalah kata "negatif" (ya memang karena penyakit, umumnya diasosiasikan dengan negatif). Tapi coba kita pakai prinsip yang sama ini pada istilah dari penyakit lain.
Misalnya stroke.
Wah, saudara saya "di-stroke-kan" oleh rumah sakit. Politik ini, agar rumah sakit dapat cuan! Jangan ke rumah sakit. Bahaya! Apalagi kerabat saya pake BPJS, pasti rumah sakit pengen dapet cuan banyak dari program negara ini!
Apalagi ya, misalnya DB (Demam Berdarah).
Wah, saudara saya "di-DB-kan" oleh rumah sakit. Politik ini, agar rumah sakit dapat cuan! Jangan ke rumah sakit. Bahaya! Apalagi kerabat saya pake BPJS, pasti rumah sakit pengen dapet cuan banyak dari program negara ini!
Terakhir dah, misal Tipes
Wah, saudara saya "di-Tipes-kan" oleh rumah sakit. Politik ini, agar rumah sakit dapat cuan! Jangan ke rumah sakit. Bahaya! Apalagi kerabat saya pake BPJS, pasti rumah sakit pengen dapet cuan banyak dari program negara ini!
Maaf ya kalimat-kalimat di atas templatenya sama semua. Tapi coba bayangin kayak gitu dah, pasti rasanya aneh? Apalagi digunakan untuk istilah penyakit atau gangguan yang umum di masyarakat (Seperti maag, diare, dsb)
Aku "di-Diare-kkaa.. Stop dah semakin aneh.
Tugas dokter itu mendiagnosa, agar memberikan pencegahan dan perawatan sebaik mungkin serta tepat sasaran. Penyakit tidak semakin parah dan perawatan agar pasien lekas membaik dan sembuh.
"Tapi pasti itu ujung-ujungnya duit, demi profit rumah sakit" Ujar diri imajiner yang suka suudzon ini.
Lah semuanya pasti emang ujung-ujungnya duit, apalagi kalau udah profesi. Tidak mungkin itu semua dilakukan karena itu hobi atau kesukaan mereka tanpa reward sama sekali.Â
"Tapi kenapa ada orang yang hanya gejala covid dimakamkan secara covid. Dan setelah selesai dimakamkan testnya hasilnya negatif, politik cuan ini!"
Menurutku itu bisa disebut mitigasi resiko kayaknya. Apalagi hasilnya belum diketahui dan belum keluar. Selain itu memang beberapa rumah sakit fasilitasnya tidak lengkap, sehingga butuh waktu yang tidak sebentar untuk mengetahui hasilnya positif dan negatif. Tidak semua rumah sakit memiliki fasilitas lengkap seperti CT-Scan.
Daripada menunggu hasil yang lama dan kasihan juga yang pihak keluarga harus menunggu dan tidak segera dilakukan pemakaman, lebih baik melakukan pemakaman secara covid-19 untuk meminimalisir resiko yang ada.
Karena gejala sebelum meninggal hampir sama seperti covid-19 meski belum tentu itu diagnosanya.
Mungkin karena ketika diperiksa belum mendapatkan data yang cukup, sehingga belum mendapatkan diagnosa sesuai dengan gejalanya, dan jarak waktu  ketika berada di faskes sampai pasien meninggal bisa dibilang singkat. Akhirnya dilakukanlah pemakaman secara covid-19.
Itulah mitigasi resiko. Meminimalisir resiko yang ada. Daripada ada kejadian yang tidak diinginkan.
Kemungkinan lho ini. Asumsi ya, belum tau faktanya soalnya
Aku menyimpulkan ketika beberapa pihak takut kerabatnya meninggal dengan gejala covid dan menilai "dicovidkan" rumah sakit hal ini terjadi karena perasaan sosial ataupun kebiasaan sosial dan budaya yang biasa dilakukan ketika ada seseorang yang meninggal.
Perasaan sosial yang berkaitan dengan hal seperti tidak bisa menemani atau melihat muka almarhum di saat-saat terakhirnya sampai ke pemakaman
Kebiasaan sosial dan budaya berkaitan dengan tidak bisa melakukan doa bersama, berkumpul bersama di rumah untuk mendoakan almarhum seperti tahlilan.
Dua hal ini lah yang menurutku terasa sekali oleh beberapa masyarakat. Mereka merasa protokol pemakaman covid itu menghalangi kebutuhan akan perasaan sosial dan kebiasaan tersebut.
"Kalau dimakamkan secara (protokol) covid, keluarga dan kerabat tidak bisa melihat secara langsung jenazah almarhum, rumah harus diisolasi selama beberapa hari dan tidak bisa melakukan kegiatan seperti doa bersama atau tahlilan untuk almarhum".
Padahal kita masih bisa melakukan sholat jenazah (bagi yang islam) untuk almarhum yang terkena covid sesuai dengan protokol kesehatan, sebelum dimakamkan. Mendoakan juga bisa dilakukan setiap saat.
Sehingga menurutku kata atau istilah "dicovidkan" adalah upaya beberapa orang untuk melampiaskan kekhawatiran atau ketakutan ketika perasaan dan kebiasaan sosial itu tidak terpenuhi (selain juga karena terpengaruh konspirasi).
Ya sudahlah itu saja. Aku ingin meluapkan keresahanku yang menumpuk lewat tulisan ini. Bagi yang tersinggung karena monolog imajiner di atas, anda tersinggung oleh karakter yang aku buat sendiri. Haha. Fiksi kok bikin kamu tersinggung!Â
Kalau judul ini bikin tersinggung, saya hanya minta maaf bikin kamu salah paham. Sampai gak mau baca isinya dengan baik.
Kalau gitu malah aku yang sakit hati, hmmmm~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H