Trauma memang berkaitan dengan hal yang "luar biasa" atau "ekstrem", namun pemahaman " luar biasa" dan "ekstrem" pada orang kebanyakan seringkali sangat berbeda dengan pemaknaan individu yang mengalaminya secara langsung. Dan seringkali subjektif.Â
Contoh saja, trauma akibat pembunuhan dibandingkan trauma akibat bentakan dan tekanan secara terus menerus pada anak.Â
Masyarakat pada umumnya akan melihat bahwa pembunuhan sebagai sesuatu yang "ekstrem" daripada bentakan. Namun keduanya bisa jadi sumber trauma pada individu.Â
Tetapi tidak menutup kemungkinan jika pemahaman atau persepsi trauma yang dialami individu bisa berubah sejalannya waktu, dan itu tergantung pengaruh dari pandangan orang lain serta internalisasi dari individu tersebut.Â
Pertanyaannya, bagaimana jika tidak seperti itu realitanya?Â
Kenyataannya, masih banyak orang yang mengalami peristiwa traumatis di dalam hidupnya, tetapi tidak pernah menceritakannya bahkan orang terdekat. Terutama jika itu berkaitan dengan harga diri dan keluarga.Â
Yang akhirnya menyebabkan pengalaman traumatis itu ditekan dan membayangi perkembangan psikologisnya hingga dewasa.Â
Bisa saja kita berasumsi jika anak yang memutuskan untuk melaporkan orangtuanya tidak serta merta karena sifat tamak dan kurang ajarnya saja. Tapi perlu kita renungkan, apa yang dilalui sang anak dalam hidupnya sampai ia memutuskan untuk bertindak seperti itu?
Jika melihat dari sudut pandang psikoanalisa, pasti trauma masa lalu dan masa kanak-kanak berperan pada karakter pribadinya serta setiap tindakannya. Dan tentunya itu rumit dan kompleks, dan penyebab dari peristiwa pelaporan itu tidak hanya faktor materi dan terlukanya harga diri saja.Â
Faktanya, bahwa pelayanan kesehatan jiwa banyak melayani orang yang mengalami pengalaman traumatis pada masa kanak-kanak.Â
Selain itu, sebagai tambahan informasi, beberapa reaksi traumatis bisa saja membuat anak melakukan tindakan yang berisiko tinggi, seperti memberontak, melawan norma, kurang ajar, sangat sensitif, mudah tersinggung dan merasa depresif.Â