Mohon tunggu...
Ardy Firmansyah
Ardy Firmansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Mencari candu yang baru | Surat-surat Nihilisme

Lagi belajar nulis di Kompasiana~

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

HRS, FPI dan Matinya Demokrasi

11 Desember 2020   11:20 Diperbarui: 11 Desember 2020   14:53 1925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus Habib Rizieq Shihab (HRS) dengan FPI-nya sangat ramai dibincangkan publik. Awal mulanya adalah terkait perkara "chat mesum". Ketika dipanggil polisi tentang hal itu, beliau malah kabur ke Arab Saudi.

Pendukungnya protes karena pemerintah seakan mendiskriminasi ulama. Lama berlalu, kasus tersebut seakan ditelan bumi, tidak ada yang mendengar dan menjadikannya bahan obrolan.

Akhirnya HRS muncul kembali dan mengumumkan kepulangannya dikala pandemi. Media memberitakan, publik pun ramai membicarakan. Kedatangannya saat itu disambut banyak orang. Wajar saja mungkin lama tak bertemu, namanya juga rindu.

Namun kedatangannya malah kembali membuat kasus baru, kerumunan. Kerumunan terjadi pada acara HRS yang diadakan di Petamburan, Jakarta Pusat.

Hal ini malah berbuntut panjang, ditambah lagi ketika enam anggota laskar FPI ditembak oleh pihak aparat, saat sedang mengawal HRS sekeluarga untuk melakukan pengajian.

Perlu diketahui juga HRS dan FPI memiliki ikatan yang kuat. Bahkan anggota FPI akan melakukan apa saja untuk melindungi HRS. Sebelumnya, dikabarkan ketika polisi akan menjemput paksa HRS, puluhan laskar FPI ternyata sudah menghadang dan menghalangi di Petamburan.

Dan terakhir, HRS sudah dijadikan tersangka bersama lima orang yang lain terkait kasus kerumunan di tengah pandemi, mengabaikan protokol kesehatan.

Saya jadi teringat tentang buku yang saya baca yakni "Bagaimana Demokrasi Mati".

Kemudian muncul ide untuk membahasnya, namun pembahasan ini tidak mencerminkan isi keseluruhan buku. Saya hanya mengutip beberapa yang relevan dari buku tersebut untuk membahas fenomena yang berkaitan dengan HRS dan FPI

HRS, FPI dan Upaya untuk Menjaga Demokrasi

HRS adalah sosok yang kontroversial. Organisasi Front Pembela Islam (FPI) juga dikenal sebagai orang-orang yang keras, fanatik, dan radikal (katanya).  

Dengan landasan amar makruf nahi mungkar (perintah untuk menegakkan yang benar dan melarang yang salah), FPI  memiliki kewajiban untuk memberikan peringatan dan efek jera terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan agama Islam, terutama berkaitan dengan kemaksiatan.

Jika dilihat dalam kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok, FPI sangat keras menuntut mantan Gubernur DKI tersebut. FPI juga menggelar demonstrasi besar dengan nama "Aksi Bela Islam", yang paling ramai pada tanggal 4 November 2016 atau dikenal dengan aksi "411" dan 2 Desember 2016 yang juga disebut dengan aksi "212".

Aksi ini akan membentuk Presidium Alumni (PA) 212 yang kemudian mereka juga mengadakan Reuni 212 di Monas pada tanggal 2 Desember 2017.

Dalam pemilihan Presiden 2019, HRS juga menyatakan dukungan terhadap kubu Prabowo-Sandi. Selain itu FPI dan juga alumni 212 pernah mengerahkan massa untuk menggugat hasil Pilpres 2019.

Organisasi FPI yang digerakkan HRS ini seakan sudah menjadi motor politik. Selain dinilai fanatik dan radikal, massa mereka juga banyak. Mereka juga dinilai memakai "politik identitas" dan "populisme" untuk menyerang Ahok ketika Pilgub 2017 yang membuat Anies menang dalam pemilihan itu.

Narasi-narasi yang dirasa memecah belah ini juga dinilai akan merusak iklim demokrasi yang sehat. Jika melihat buku "Bagaimana Demokrasi Mati" dari Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, mereka memberikan empat indikator untuk mengenali tokoh otoriter dikembangkan dari "tes litmus" dari ahli politik Juan Linz, yang tujuannya untuk mengenali politikus antidemokrasi. 

1) Menolak aturan main demokrasi dengan kata-kata dan perbuatan, 2) menyangkal legitimasi lawan, 3) menoleransi atau menyerukan kekerasan, 4) menujukkan kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan.

Tokoh publik (meski dalam buku hanya merujuk pada politikus, tapi sebenarnya indikator itu bisa merujuk pada tokoh populer yang berkaitan dengan politik juga) yang memenuhi satu indikator saja sudah mengkhawatirkan.

Kita bisa melihat sendiri bahwa HRS dan organisasi FPI mungkin masuk dalam keempat indikator tersebut. Kita lihat, dalam beberapa pertanyaan Indikator 1) menolak aturan main demokrasi dengan kata-kata dan perbuatan

"Apakah mereka menolak Konstitusi atau menunjukkan kesediaan melanggarnya?"

....

"Apa mereka berusaha merusak legitimasi pemilu contohnya menolak hasil pemilu yang kredibel?"

Dilanjut lagi dengan indikator  2) menyangkal legitimasi lawan

"Apakah mereka berkata tanpa dasar bahwa lawan adalah antek asing, bekerja sama diam-diam dengan (atau dipekerjakan) pemerintah asing -- biasanya yang bermusuhan?"

Indikator 3) menoleransi atau menyerukan kekerasan

"Apakah mereka atau sekutu partisan mereka mendukung atau mendorong serangan massa terhadap lawan?"

....

"Apakah mereka secara tak langsung menyetujui kekerasan yang dilakukan pendukung mereka dengan menolak mencela dan menghukumnya?"

Dan indikator 4) menujukkan kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan

"Apakah mereka mendukung hukum atau kebijakan yang membatasi kebebasan sipil, seperti perluasan hukum pencemaran nama baik atau penistaan, atau hukum yang membatasi kritik terhadap pemerintah, atau organisasi sipil atau politis tertentu?"

Jika melihat sejumlah pertanyaan ini lalu mencocokannya dengan apa yang sudah dilakukan HRS dan FPI, dan lebih banyak jawaban "Ya" daripada "Tidak" maka mereka cukup mengkhawatirkan dalam demokrasi di Indonesia.

Dalam buku "Bagaimana Demokrasi Mati" Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, mengatakan bahwa dalam menyaring kaum otoriter (ekstrimis juga menurut saya ) tanggung jawab tersebut terletak pada partai politik dan pemimpin partai: penjaga pintu demokrasi.

Namun jika melihat dalam konteks kasus HRS, FPI dan juga aparat kepolisian. Apakah kepolisian melakukan ini semua demi menjaga demokrasi yang ideal dan menghilangkan kaum ekstrimis agar tidak terlibat lagi dalam gerakan politik di masa depan?

Kalau dalam kasus ini, berarti kepolisian mengambil alih tanggung jawab partai politik dalam menumpas ektsrimis agar tidak masuk kedalam ranah politik seperti pemilihan umum? apakah itu tindakan yang benar atau tidak? Mengingat HRS dan FPI adalah tokoh masyarakat dan organisasi dengan pengikut yang banyak? Saya tidak tau pasti.

Meski kita tahu jejak HRS bersama dengan FPInya memang kontroversial dan bermasalah. Lihat saja, jika HRS sudah sejak awal menaati hukum, tidak kabur ke Arab Saudi dan menerima panggilan polisi sejak awal, mungkin kasus penembakan enam anggota laskar FPI tidak akan terjadi.

Apa Solusi untuk Menjaga Demokrasi?

Ketika saya membaca buku "Bagaimana Demokrasi Mati" dan melihat kasus HRS dan FPI, saya merasa ada relevansinya. Mereka dinilai ekstrem dan radikal, jika melihat Pilgub 2017 dengan narasi populisme dan politik identitas. Organisasi FPI dirasa bisa merusak keutuhan demokrasi Indonesia, yang nanti bisa memecah belah dan mengadu domba.

Jika melihat solusi yang ditawarkan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, meski subjeknya adalah partai politik, tapi patut dipertimbangkan, untuk mencegah matinya demokrasi dan perpecahan di Indonesia.

"Partai-partai arus utama harus mengisolasi dan mengalahkan kekuatan-kekuatan ekstrimis... membasmi ekstremis di tingkat akar rumputnya..... partai-partai prodemokrasi bisa menghindari segala persekutuan dengan partai dan calon antidemokrasi... partai demokrasi kadang tergoda bersekutu dengan ekstrimis di ujung kisaran ideologi demi suara... bertindak sistematis untuk mengisolasi ekstrimis, bukan memberi legitimasi... terakhir, sewaktu ekstremis bangkit sebagai kandidat serius pemilu, partai-partai arus utama mesti membentuk persekutuan mengalahkan mereka..." (Halaman 13-14)

Mungkin saya terlalu jauh membahasnya apalagi menyangkut pautkan ini dengan konteks HRS dan FPI. Tapi bisa saja mereka memang ekstrimis? Saya hanya berasumsi, tidak tahu realitasnya. Apakah FPI punya potensi untuk membuat Indonesia terpecah belah dan kembali melakukan politik identitas? Saya juga tidak tahu di masa depan seperti apa.

Mungkin ada pihak di Indonesia yang tahu tentang gejala ini dan berusaha menyelesaikannya dengan baik. Tapi apakah pihak ini melakukan tindakan yang tepat?

****

Kita kadang hanya termakan dan terpapar informasi yang derasnya minta ampun. Kita jadi berpikir heuristik malah-malah bias. Dan berujung pada prasangka. Saya yakin kita harus bijak menerima informasi dan adil.

Mungkin kita juga perlu sisi lain dari FPI, yang tidak terlihat. Dan mungkin mereka adalah orang yang humble dan baik.

Cuma kita belum mengenalnya lebih dalam secara perorangan dan duduk bersama, ngobrol dan tertawa saat membahas lelucon.

Kita belum paham benar. Kita hanya tahu dari yang kita lihat di depan layar smartphone. Bukan mengenalnya. Prasangka buruklah musuh bersama kita.

Mungkin musuh demokrasi adalah pikiran tertutup dan tidak mengenal baik satu sama lain. Mungkin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun