Akhir-akhir ini ramai pembicaraan tentang seorang presenter yang berkomentar di Twitter terkait kasus korupsi dana bansos yang dilakukan oleh Menteri Sosial.
Isi cuitannya sebenarnya adalah suatu hal yang lumrah sebagai percakapan..... di warung kopi ataupun lingkaran pertemanannya. Tetapi mungkin beliau lupa kalau ia berkomentar di warung kopi yang salah.
Mungkin warung kopi ini bisa disebut dengan 'warkop publik' yang kedaulatannya berada di tangan netizen serta memiliki peraturan yang dicakup dalam UU ITE.
Di zaman internet, obrolan warung kopi seakan sudah bisa dimediasi dengan platform media sosial. Seperti Facebook, Instagram, Twitter, bahkan Spotify (podcast) dan Youtube, serta masih banyak lagi tentunya.
Sehingga terjadi transformasi dari warung kopi menjadi 'warkop publik' yang membuat masyarakat 'seakan' bebas ngomongin apa saja, layaknya ketika nongkrong di warung kopi pinggir jalan.
Padahal mereka sebenarnya lupa dan tidak sadar bahwa mereka.... berada di 'warkop publik'. Yang tidak hanya berisi mas-mas barista dan sobat tongkrongannya yang satu frekuensi, tapi juga masyarakat Indonesia sebagai pengamat yang memperhatikan, serta UU ITE yang mengatur interaksi media sosial mereka.
Sama halnya dengan interaksi sosial pada umumnya ada aturan tertulis dan tidak tertulis. Ada batasan antara baik dan buruk, sopan dan kurang ajar. Namun itu relatif jika di lingkungan sosial, apalagi di kafe ataupun warung kopi pinggir jalan.
Ditambah jika kamu adalah orang yang terkenal, populer, sudah mempunyai 'nama' di publik. Pastinya harus berhati-hati dalam memilih tempat nongkrong dan siapa saja yang diajak nongkrong.
Untuk apa? Ya biar kalau ngobrol luwes dan santuy. Biar enak dan bebas. Gak kaku-kaku banget, namanya juga nongkrong. Kalau tidak mempertimbangkan dengan baik, membuat alur pembicaraan tongkrongan terganggu lebih-lebih malah membuat masalah.
Sama halnya dengan kejadian akhir-akhir ini, andai saja si presenter tahu 'warkop publik' mana yang lebih sesuai untuk komentar atau pembicaraan ini. Misal saja memilih untuk menggunakan Youtube ataupun Spotify (Podcast) mungkin tidak ada yang menganggu alur pembicaraan tongkrongan yang diharapkan oleh beliau.
Atau yang lebih baik lagi mungkin bisa menggunakan 'warkop privat'. 'warkop privat' merujuk pada aplikasi chat messenger, seperti Whatsapp, Line atau Telegram. Yang pasti berisikan kontak sahabat nongki yang sudah sehati.
Artinya begini, dalam kehidupan bermasyarakat ada ranah privat (diri sendiri, keluarga, sahabat, teman) ada juga ranah publik (tetangga, rekan kerja, organisasi, lembaga). Sama seperti kehidupan internet ada ranah privat (chat messenger, akun privat media sosial) ada juga ranah publik (status, story, konten, postingan, dan media sosial).
Terkait ranah publik di kehidupan internet, jika followers media sosialnya selaras dengan ranah privat pastinya akan lebih baik  dalam melakukan interaksi, meskipun saya tidak menjamin jika ada hal di luar itu yang bisa mengganggu dan menimbulkan masalah.
Terkecuali untuk tokoh masyarakat seperti selebriti, tokoh politik dsb, mereka harus lebih bijak dalam berinteraksi sosial. Pastinya mereka memiliki banyak followers. Followers tersebut bisa terbagi menjadi fans, mengidolakan, satu pemikiran, satu frekuensi, tapi ada juga yang asal suka, cuma ingin kepo, ada yang asal ngikut, pasif, bahkan ada yang juga seorang haters.
Nah, karena banyak yang mengikuti, maka mereka (public figure) harus berhati-hati ketika nongkrong (ngobrol). Harus tahu ranahnya (privat atau publik), jika sudah tahu ranahnya pastikan tempat nongkrongnya dan lingkungannya sesuai atau tidak dengan apa yang akan dibicarakan (tempat atau medianya dan audiens).
Karena bagi public figure tempat nongkrong mereka di kehidupan internet sangat 'transparan', masyarakat bisa mendengar semua, bisa melihat semuanya. Kedaulatan netizen dijunjung tinggi, UU ITE bisa mencekal.
Meski norma dalam kehidupan internet sepertinya bergantung pada algoritma (sepertinya?) yang mungkin bakal berujung pada 'siapa yang benar-benar menyukai dan menjadi pengikut mereka' dan 'siapa yang tidak termasuk' .
Sehingga batas baik dan buruk bisa saja tergantung pada 'siapa yang benar-benar menyukai dan menjadi pengikut setia mereka'. Dan bisa dihitung, hanya beberapa orang yang bisa jujur, apa adanya dan menjadi diri sendiri di kehidupan berinternet dan tidak terlalu memperdulikan kedaulatan netizen. Public figure seperti itu sangat jarang ditemukan.
Namun demi selarasnya kehidupan bermasyarakat dan berinternet yang baik, perlu kita sadari bahwa dalam berinteraksi kita harus berhati-hati dimanapun itu. Kita harus mawas diri. ranah privat dan publik di kehidupan berinternet sangat abu-abu, tidak jelas.
Mungkin bagi kami masyarakat biasa, nongkrong di 'warkop publik' tidak terlalu besar resikonya. Bicara dan berpendapat bisa bebas (kebebasan berpendapat!), toh malah bisa jadi kedaulatan netizen. Tetapi bagi public figure, nongkrong di 'warkop publik' resikonya gak main-main.
Rasanya public figure lebih cocok ngopi sendiri sambil nulis diary, biar keresahannya bisa keluar semua dan gak ada ganjaran resiko apa-apa, toh diceritain sendiri, disimpen sendiri. Miris.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H