Sudah tidak punya pekerjaan kantoran, ditendang dari rumah, penghasilan pas-pasan, buat makan sehari-hari hemat aja gak cukup, bayar cicilan aja susahnya minta ampun.Â
Kalau hidup cuma urusan makan dan minum, mungkin bisa ditekan pengeluarannya. Cukup gak cukup, sih.Â
Nah ini ada biaya listrik, ada air, cicilan motor, cicilan kredit yang lain. Belum lagi hutang-hutang. Aduhduh, luar biasa hidup menyapa keseharian kami.Â
Oh pandemi, oh musibah, oh ujian. Entah mau disebut apa kejadian dan pengalaman seperti ini! Kalau mau dibilang susah, ya memang usah dijalani.Â
Telinga kami sudah terbiasa dengan kalimat 'sabar ya'. Itupun dari orang-orang yang sudah sejahtera dan belum pernah mengalami hal seperti ini dalam hidupnya.Â
Entah bagaimana kalau mereka mengalami sendiri. Apakah mereka bisa menjalani apa yang sudah mereka 'khotbahkan' kepada kami? Tanpa mengeluh sama sekali? Naif sekali ya mereka.Â
Belum lagi dicibir sama saudara, entah kenapa dia bisa terjebak sama pikiran dan ekspektasinya sendiri? Yang salah paham dirinya sendiri, eh malah nyalahin orang lain atas kesalapahamannya itu.Â
Pikirannya yang salah, tapi malah nyalahin orang lain itu bagaimana sih? Egomu sudah membunuh akal sehatmu saudara!Â
Ya beginilah, nasib kami sudah di ujung tanduk. Sang penolong sudah menghilang, tidak bisa menolong kami lagi. Kerabat dan saudara sudah membenci dan tidak percaya lagi kepada kami.Â
Percuma saja hidup kalau begini. Tinggal menunggu waktu, kami bakal musnah dengan sendirinya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H