Mohon tunggu...
Ardy Firmansyah
Ardy Firmansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Mencari candu yang baru | Surat-surat Nihilisme

Lagi belajar nulis di Kompasiana~

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fenomena Omnibus Law: Para Buruh Beraksi, Tukang Nasgor Mah Santuy Ala Stoik

7 Oktober 2020   14:50 Diperbarui: 7 Oktober 2020   14:53 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ramainya berita pengesahan RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law membuat masyarakat geger. Hal ini karena dalam rancangan undang-undang tersebut banyak merugikan para pekerja. 

Mulai dari tenaga kerja asing, kontrak, upah, insentif, cuti dan lain sebagainya dinilai bermasalah dalam RUU Cipta Kerja. 

Warganet marah dan geram, masalah ini ramai dibicarakan di dunia maya. Banyak yang memprotes keras pengesahan tersebut, karena dinilai tidak adil dan mengorbankan pekerja Indonesia hanya untuk mendapatkan segolontoran investasi dari pihak asing. 

Jika melihat kejadian ini,  wajar saja masyarakat terutama pekerja industri  mengamuk dan menuntut keadilan. Mereka melawan pemerintah agar segera merubah keputusannya. 

Dalam peristiwa ini, para aktivis pekerja buruh tidak akan diam dan tunduk pada keputusan yang telah dibuat oleh kekuasaan. Ya, Satu-satunya jalan melawan penindasan ini. 

Lain halnya dengan Tukang Nasgor Keliling, ketika saya sedang berkeluh sambil membaca berita, Ia pun menjawab sembari memasak.

"Kejam emang pemerintah sekarang mas, tapi mereka ngelawan kayak preman barbar aja, menang rame, ngamuk gak karuan di Internet. Kayak udah mau kiamat aja. Untung saya bukan Buruh."

Saya tertawa tidak habis pikir. Memang tidak semua terkena dampaknya, dan dunia belum kiamat. Tapi apa dampak Omnibus Law terhadap pekerja yang "tidak terikat dengan negara"? 

Ya, dalam hal ini, seperti Tukang Nasi Goreng, Abang-Abang Batagor, Cilok Pedagang Kaki Lima, Penjual Koran, Warung Lalapan, dsb. Mereka mungkin terheran-heran dengan tingkah laku di warganet yang mungkin diantaranya juga belum punya bekerja (atau karena ada tenaga kerja asing yang bikin geregetan karena kompetisi makin ketat) 

Celetukan bapak nasgor membuat saya merenung. Mengingatkan saya dengan  Stoisisme. 

Para pekerja Buruh diperlihatkan protes terhadap kekuasaan atau menuntut keadilan dan rasa kemanusiaan. Artinya, mereka membentuk perlawanan terhadap situasi politik yang merugikan kelompoknya (negatif). 

Sedangkan para pekerja macam Abang Tukang Nasgor ini, terlihat melihat situasi ini biasa-biasa saja (netral). 

Artinya para pekerja Buruh mencoba untuk mengubah hal yang "mungkin" saja tidak bisa diubah, dalam hal ini situasi yang di luar kendali jika melihat teori dari Stoisisme. 

Sedangkan pekerja macam Abang Tukang Nasgor, mereka tinggal mengubah apa saja yang bisa dikendalikan oleh dirinya, dalam hal ini, opini, judgement, pikiran dan sikap mereka. 

Menurut saya, para aktivis ataupun pekerja Buruh dalam menghadapi situasi sosial-politik tidak akan pernah cocok untuk menggunakan Stoisisme dalam menyikapi situasi tersebut. Karena mereka akan terkesan pasrah terhadap keadaan yang merugikan banyak orang. 

Berbeda dengan manusia-manusia yang tidak ada sangkut pautnya dengan Omnibus Law, Stoisisme bisa digunakan sebagai pereda stress, menghindari kecemasan berlebih akibat berita politik, sehingga hidup mereka lebih santuy. 

Memang benar kata Epictitus, "Sesuatu ada hal dibawah kendali kita, ada juga hal yang tidak dibawah kendali kita". Toh, sudah takdir dan nasib, Terima kenyataan, ubah perspektif saja. Mungkin Abang-abang Nasgor lebih punya value seperti ini. 

Namun melihat situasi yang merugikan banyak orang, sepertinya para aktivis dan pekerja Buruh lebih baik mendengarkan Albert Camus

"Perlawanan itu seharusnya adalah sebuah hantaman takdir, tanpa kepasrahan yang seharusnya mendampinginya." (Mitos Sisifus) 

Memang tidak semua kalangan dan semua peristiwa kita bisa menanggapinya dengan menggunakan filsafat Stoisisme. Apalagi berurusan dengan ketidakadilan. Tidak bisa pasrah doang. 

Benar juga, tidak semua orang juga sama seperti Abang-abang nasi goreng kan? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun