Mohon tunggu...
Ardy Firmansyah
Ardy Firmansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Mencari candu yang baru | Surat-surat Nihilisme

Lagi belajar nulis di Kompasiana~

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"The Social Dilemma" Tipisnya Batas Utopia dan Distopia Dunia Digital

14 September 2020   15:59 Diperbarui: 22 September 2020   04:45 4738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menonton film dokumenter Netflix yang bertajuk "The Social Dilemma" memberi saya pencerahan tentang perilaku manusia di dunia digital atau internet.

Kita bisa lihat sejak 2010-an, banyak manusia di bumi sudah bisa melakukan aktivitas di dunia internet. Adanya media sosial seperti Facebook, Twitter, dan semacamnya membuat kita bisa berinteraksi tanpa mengenal jarak.

Manusia bisa mengekspresikan dirinya melalui media sosial. Update status, upload foto, saling berkomentar, dan memberikan like. Selain itu, kita bisa menambah teman baru, membentuk komunitas dan memperluas relasi kita, tanpa tatap muka secara langsung.

Menonton berita ataupun kabar terbaru sudah lebih mudah melalui smartphone kita masing-masing. Semua hal bisa kita dapatkan hanya melalui satu genggaman saja.

Namun tahukah bahwa media sosial ataupun platform digital yang lain, ternyata didesain semenarik mungkin agar kita semakin suka, candu, terikat, dan tidak mau lepas darinya?

Munculnya notifikasi, membuat kita ingin segera mengecek, mengambil smartphone kita lalu melihat, Apakah ada yang merespon status atau fotoku? Komentar mereka bagaimana? Like ku berapa?

Adanya AI (Artficial Intelligence) dan machine learning membuat kinerja platform digital untuk mengetahui apa yang disukai oleh para manusia menjadi lebih mudah. Dan hal ini membuat manusia semakin terikat dengan dunia digital.

Mereka tinggal menyodorkan saja, konten-konten yang sering disukai dan yang sering dilihat. Hal ini bisa ditengok dengan mudah di rekomendasi, pencarian ataupun home di platform digital yang kita punya. AI akan memberikan konten yang kamu sukai dan minati.

Hal ini berlaku pada iklan dan juga barang jualan di marketplace, mereka akan memberikan saran dan rekomendasi terkait barang-barang yang mungkin ingin kamu beli. Berdasarkan apa? Barang ataupun konten yang pernah atau sering kita beli, sukai dan lihat. AI akan menggembor Anda dengan informasi-informasi tersebut.

Dengan adanya AI dan machine learning ini, membuat mereka menjadi tahu kepribadian manusia itu seperti apa. Setidaknya sisi lain dari manusia atau bisa kita sebut kepribadian "digital".

Internet mengetahui semua yang kita lakukan, apa yang kita rasakan (dengan basis platform digital tentunya), apa yang kita suka dan tidak sukai, informasi dan konten apa saja yang pernah kita lihat.

Manusia secara tidak sadar (karena sudah terbiasa) menyalurkan atensinya ke dunia digital ini. Mereka scrolling layar, mengecek media sosial, menonton video Youtube, dan membaca berita. Sehingga banyak waktu mereka habiskan untuk berdiam diri menatap layar smartphone.

Anehnya emosi manusia bisa dipermainkan di situ, dari satu layar smartphone yang terhubung ke internet.

Senang dan bahagia jika mendapatkan banyak like. Mereka tiba-tiba cemas, karena like fotonya sedikit.

Tiba-tiba marah karena berita provokatif mengenai busuknya pemerintah. Mudah sedih, ketika tidak ada yang merespons statusnya. Sensitif ketika melihat komentar yang tidak sesuai ekspetasinya di media sosial. Niatnya pengen nabung, eh malah borong semua barang promo di marketplace.

Manusia menjadi terikat dengan internet, dan susah lepas. Kecanduan untuk membuka layar dan scrolling smartphone di manapun mereka berada.

Ketika mereka dipisahkan oleh dunia internet, sebagian cemas dan sebagian yang lain bisa tantrum, meluapkan emosi mereka secara agresif. Mereka bisa terkena gejala gangguan mental di era dunia digital ini.

Hal ini berbanding lurus dengan tingkat kecemasan, depresi, dan bunuh diri pada remaja. Dari yang saya lihat pada dokumenter "Social Dilemma" menunjukkan bahwa kasus kecemasan, depresi, dan bunuh diri meningkat selama satu dekade terakhir sejak 2010.

Menariknya lagi, pandangan manusia tentang "kebenaran" dunia juga bisa didasarkan dari referensi mereka ketika sedang berselancar di dunia digital. Nilai-nilai "kebenaran" manusia dipengaruhi oleh AI dan machine learning yang bekerja pada platform digital yang sering digunakan.

Misalnya saja, ketika sering menonton berita provokatif, mereka akan mendapatkan rekomendasi berita provokatif. Dan berita tersebut belum tentu benar. Selain itu, ternyata ketika mencari informasi tertentu pada mesin pencarian Google, rekomendasi pencarian teratas setiap orang bisa berbeda-beda.

Hal ini kembali lagi didasarkan pada informasi terkait atau konten apa saja yang individu sering cari melalui Google atau platform digital yang lain.

Misalnya satu orang mencari tentang informasi dengan kata kunci "Agama adalah..." rekomendasi dibawahnya yang muncul adalah "Agama adalah kepercayaan."

Orang lain yang mencari informasi yang sama di atas bisa saja mendapatkan rekomendasi yang berbeda seperti, "Agama adalah candu", "Agama adalah obat" ataupun "Agama adalah Konspirasi"

Artinya apa yang manusia cari di internet belum tentu suatu kebenaran atau realitas absolut, melainkan informasi berkaitan yang sering dicari sebelumnya berdasarkan histori digital mereka masing-masing. Sehingga manusia melihat dunia secara berbeda dan mempunyai sudut pandang ataupun "kebenaran" yang berbeda.

Konflik politik sampai membuat masyarakat terpecah belah dan melakukan kekerasan terjadi akibat hal ini.

Masifnya berita hoax di Youtube, Instagram, Facebook dan sebagainya, para manusia yang terikat dengan informasi palsu itu, dan banjiran rekomendasi berita provokatif terkait melalui sistem AI dan machine learning, menjadi dasar "kebenaran" dari para dalang kerusuhan yang mengakibatkan konflik, kebencian dan perpecahan di masyarakat.

Seorang Data Scientist yakni Cathy O'Neil, PhD mengatakan bahwa AI dan machine learning tidak bisa mengatasi masalah yang berkaitan dengan berita palsu tersebut.

AI dan machine learning tidak bisa mengetahui apa itu kebenaran dan tidak bisa membedakan mana sumber terpercaya dan mana yang konspirasi, kebenaran yang dipercayai mereka (AI dan machine learning) tidak lebih sekedar informasi yang didapatkan melalui klik dari seorang individu. Itulah kebenaran yang dipercayai oleh mereka.

Menonton film dokumenter "The Social Dilemma" memberikan perspektif baru bahwa dunia digital selain menguntungkan juga memberikan dampak buruk pada peradaban manusia. Meski mereka mudah mendapatkan kesenangan, mereka menjadi terikat dan bisa saja mengalami adiksi. Sehingga gangguan mental bisa saja terjadi.

Selain itu mereka bisa menjadi pasif di dunia nyata, namun konsumtif dengan informasi dari internet. Konflik dan kebencian akibat berita bohong serta mudahnya manusia terpengaruh olehnya. Peran AI dan machine learning yang membuat ini bisa terjadi.

Tipisnya batas antara utopia dan distopia di dunia digital, membuat manusia bisa mendapatkan kesenangan dengan mudahnya, meski itu semu. Dan manusia juga bisa dihadapkan oleh kehancuran akibat informasi ataupun berita dari internet dan mungkin itu bisa saja semu.

Kata dilema dalam "The Social Dilemma", mungkin merujuk pada bagian itu. Memiliki dampak yang baik jika digunakan dengan bijak, namun dunia digital bisa memberikan dampak yang buruk pada lingkup sosial, jika tidak digunakan dengan benar. Seperti masalah kesehatan mental dan masalah sosial, budaya, dan politik.

Ya, semua tergantung penggunanya kan?

Kritik dan saran terbuka untuk tulisan ini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun