Mohon tunggu...
Ardy Firmansyah
Ardy Firmansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Mencari candu yang baru | Surat-surat Nihilisme

Lagi belajar nulis di Kompasiana~

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Celebrity Worship" dan Dampaknya pada Identitas Sosial Penggemar Budaya Populer Korea

5 Februari 2020   12:02 Diperbarui: 7 Februari 2020   10:51 1437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dari www.inquisitr.com, edit menggunakan Aplikasi Canva

Penggemar K-Pop, sering dijumpai di masyarakat. Kehidupan penggemar K-Pop, dan keterikatan mereka dengan artis ataupun idola tertentu tak jarang mempengaruhi keseharian mereka. Dengan melihat tingkah laku sang idola bisa mempengaruhi pikiran, perasaan bahkan perilaku mereka.

Semangat, bahagia, bahkan sangking kuatnya "hubungan" mereka dengan sang idola, mereka sering mengoleksi barang, beli tiket untuk nonton secara langsung, berjam-jam didepan laptop dan smartphone sambil mantengin si artis ataupun karakter yang disukai ini. Sampai mungkin ada yang sampai berdebat?

Saya akan mengakui bahwa saya termasuk salah satu penggemar musik, drama, dan variety show Korea. Wah Lanang kok seneng ambek K-Pop~ (Oke, bentar saya belum jelasin lebih nih)

Saya mulai menggemari hal ini awal mulanya karena penelitian akhir yang saya ambil mengambil topik penggemar budaya populer Korea. Saya penasaran kenapa para fans K-Pop kok sangat tergila-gila dengan Selebriti Korea? Interaksi seperti apa yang dilakukan mereka? Hubungan mereka seperti apa dengan para selebriti favorit mereka? Dan dampak pada kehidupan mereka sehari-hari bagaimana?

Beberapa orang berpikir, "ngapain ya sampe kayak gitu?" "Buang-buang waktu.", dsb. Sehingga beberapa orang ini menilai negatif tingkah laku dari para penggemar K-Pop. Dan penjelasan terhadap dirinya menjadi penggemar K-Pop dianggap hanya sebuah "alasan".

Apalagi di perkuat dengan banyak pendapat tentang mereka (Fans K-Pop), bahwa mereka alay, berlebihan, emosional, sampai melakukan hate speech di media sosial sebagai bentuk untuk membela mati-matian selebriti idolanya.

Padahal, sang selebriti nggak kenal mereka sama sekali? (Nah Loh). Sampai pada titik ini stigma negatif saya pun terbentuk.

Lalu pada akhirnya saya memutuskan untuk memakai konstruk parasosial pada penelitian ini, di mana parasosial adalah istilah yang ditemukan Horton dan Wohl untuk menjelaskan interaksi dan hubungan antara pemirsa atau audience dengan persona ataupun figur media.

Intinya, interaksi dan hubungan (antara audiens dan persona ataupun figur media) ini terbentuk karena intensitas mereka menggunakan media.

Setelahnya, saya menemukan konstruk parasosial dari McCutcheon dan menggunakan skala Celebrity Attitude Scale dalam pengukurannya.

Konstruk tersebut terbagi menjadi tiga aspek atau tingkatan:

Pertama, Entertaiment Social Value (hanya digunakan sebagai hiburan dan topik pembicaraan).

Kedua, Intense Personal Feeling (Perasaan kompulsif dan motivasi untuk selalu mencari informasi berkaitan dengan selebriti idola).

Dan ketiga adalah Mild-Pathology (Kecenderungan yang tidak terkontrol terutama dalam kesediaannya untuk mengambil sikap dan irasional).

Tetapi saya tidak akan menjelaskan itu lebih lanjut. Ya, saya menyayangkan saja (Setelah Kepo di Google Scholar) kenapa alat ukur Celebrity Attitude Scale tersebut malah digunakan untuk mengukur konsep Celebrity Worship (penyembah selebriti) pada beberapa bulan berikutnya oleh McCutcheon dkk? Dan penelitian sejenis yang selalu ditemukan, baik di luar negeri ataupun di Indonesia, seperti selalu memberikan penilaian negatif pada perilaku para penggemar.

Menurut Gayle Stever, sering sekali tema umum dan berulang dalam literatur psikologis tentang penggemar selebriti cenderung memberi saran agar individu harus berhenti "terobsesi" pada selebriti dan fokus pada "orang nyata" dalam kehidupan mereka.

Hal tersebut didasari pada hubungan penggemar yang dianggap obsesif dan disfungsional.

Selain itu, selebriti dipandang sebagai pengganti yang buruk dalam hubungan individu dengan "orang nyata" di sekitarnya .

Kemudian juga kebanyakan partisipan penelitian kuantitatif "Celebrity Worship"; yang sering menulis surat untuk selebriti idolanya, mengoleksi poster atau album dari selebriti, dan mengikuti acara jumpa fans yang di adakan oleh selebriti idola serta masuk dalam komunitas penggemar, sebenarnya lebih tepatnya disebut sebagai "Serious Fans" bukan "Celebrity Worshipers".

Dari sini seharusnya ada batasan, pengukuran, dan definisi yang jelas antara Serious Fans dan juga Celebrity Worshipers. Sehingga, hal ini membuat Celebrity Worship secara konsep masih tidak sempurna dan dipertanyakan untuk mengukur perilaku para penggemar.

Oke, Celebrity Worship lebih fokus pada obsesi penggemar yang berlebihan terhadap selebriti idolanya, tapi kenapa konstruknya berupa tingkatan?. 

Kan untuk melihat level Celebrity Worship rendah, sedang dan tinggi. Leh, kalau fokus pada individu yang mempunyai obsesif yang berlebihan pada selebriti, harusnya level rendah dan sedang itu menurutku tidak perlu dimasukkan. (Baper)

Bahkan penggemar yang mungkin anda anggap pada level tinggi (Mild-Pathology) bisa saja mereka hanya individu yang termasuk Serious Fans, bukan Celebrity Worshipers. Masak cuma karena para penggemar menunjukkan sifat ekspresif dan senang saat melihat selebriti idolanya, sudah dianggap aneh.

Hal ini juga disinggung dalam penelitian "Celebrity Worship : Critiquing a Construct" yang juga dilakukan oleh Gayle Stever, bahwa penelitian terkait sering menganggap komunitas penggemar akan terkesan dan selalu berkaitan dengan Celebrity Worship.

Ia (Gayle Stever) menjelaskan bahwa peneliti Celebrity Worship (McCutcheon, dkk) seperti mengambil kesimpulan bahwa semua penggemar yang mengisi skala Celebrity Attitude Scale, baik dengan skor rendah sekalipun adalah Celebrity Worshipers. Pertanyaannya adalah, apakah sinonim dari "Fans"adalah " Celebrity Worshipers"? padahal fokusnya kan lebih kepada penggemar yang obsesif? 

Hal tersebut membuktikan perlunya definisi yang jelas dari Celebrity Worshipers. Selain itu ciri "obsesif" Celebrity Worshipers juga perlu digali lebih dalam sesuai dengan populasi atau sampel penelitian yang akan di ambil.

Pada literature review terkait Celebrity Worship yang dilakukan oleh Samantha K. Brooks, menjelaskan bahwa konsep dari Celebrity Worship kurang mengeksplor pengalaman para penggemar terkait dampak positif ataupun negatif selama berinteraksi dan berhubungan dengan selebriti idola dalam kehidupan mereka.

Selain itu Celebrity Worship juga terkesan seperti konsep negatif (dianggap tidak normal, sudah tergolong sindrom dan gangguan). 

Apalagi media informasi sekarang berperan dalam memperkuat opini-opini beberapa orang yang menilai perilaku negatif dari penggemar K-Pop dan hal tersebut memberikan pengaruh terhadap identitas sosial penggemar K-Pop di masyarakat.

Menurut J. Patrick Williams, Pandangan media yang menggangap kehidupan para penggemar K-Pop itu "aneh","berlebihan", dan " tidak normal" memberikan stigma negatif pada identitas sosial para penggemar K-Pop ke publik.

Padahal kalau dilihat apa bedanya penggemar K-Pop dengan penggemar Liga Inggris? Apa bedanya penggemar K-Pop dengan penggemar Gadget? Apa bedanya penggemar K-Pop dengan penggemar Musik Indie? Apa bedanya penggemar K-Pop dengan Pendukung salah satu Partai Politik? Sama aja kan sebenarnya? Sama- sama suka, mendukung serta terlibat aktif di dalamnya.

Tetapi, menurut saya penggemar K-Pop yang sering terlihat terkena stigma negatif oleh kebanyakan masyarakat.

Dalam hasil penelitian akhir saya, menjelaskan bahwa para penggemar K-Pop ternyata ya orang-orang yang produktif, aktif ikut mengikuti organisasi, tetap bisa bertanggung jawab sebagai orang tua dengan baik dan memiliki manajemen waktu yang baik dalam menikmati hiburan dan bersosialisasi di lingkungannya (Manusia yang sama seperti yang lain hmm).

Selain itu budaya populer Korea ternyata juga membantu mereka dalam tahap krisis psikosial Intimacy Vs. Isolation; Memberikan perasaan intim di waktu luang yang tidak di dapatkan dalam kesibukan sehari-hari. Loh kan memberikan dampak Positif! (Disini saya mencoba untuk menggemari budaya populer Korea, dan ya bagus-keren! Gak kayak sinetron azab Indonesia, haha~)

Dan yang saya liat dari penelitian-penelitian sejenis ini di Indonesia (untuk tahap dewasa awal) selalu menekankan pengidolaan para penggemar dengan selebriti idolanya itu karena tidak sanggup melakukan hubungan sosial yang intim sehingga mereka terisolasi di lingkungannya, dan, akhirnya, malah sering melakukan interaksi serta hubungan semu dengan selebriti idolanya. Padahal Belum Tentu, kan. Bahaya banget!

Memang ternyata para penggemar (baik K-Pop dan yang lainnya) hanyalah orang-orang yang telah memilih hubungan dengan sang idola untuk memenuhi kebutuhan psikososial.

Masalah yang berkaitan dengan hal tersebut memang sejauh mana hubungan serta interaksi dengan sang idola memberikan dampak positif atau negatif dalam kehidupan penggemar itu.

Beberapa penelitian ingin mengetahui apa yang mendasari individu menjadi penggemar, dari yang normal sampai yang ekstrem.

Sejauh ini sih, hasilnya cenderung terlihat seperti kontinum daripada dikotomi.

Samantha K. Brooks juga menganjurkan para peneliti yang ingin meneliti perilaku para penggemar untuk mempertimbangkan penggunaan metode penelitian kualitatif agar bisa mengetahui isi hati dan persepsi dari para penggemar terhadap selebriti idolanya.

Bener juga sih, daripada hanya menyebarkan kuesioner kuantitatif, mereka (para penggemar) jadi terbatasi karena pilihan jawaban yang sudah di tentukan.

Saya berharap dengan kemajuan media informasi sekarang, kita semakin mencari informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber dan mereduksi bias berpikir, stigma negatif dan prasangka terhadap satu kelompok (dalam hal ini penggemar K-Pop).

Jangan sampai kita terjebak oleh penilaian kita sendiri tanpa mencari tahu lebih dalam lalu melakukan judgement yang dangkal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun