Mohon tunggu...
Ryan Ardiansyah
Ryan Ardiansyah Mohon Tunggu... Penulis - Tak ada kosa kata yang mampu mengambarkan

Barangkali kopi kita kurang diaduk

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sebuah Refleksi Atas Lagu White Lion- When the Children Cry

3 Februari 2025   22:47 Diperbarui: 3 Februari 2025   22:47 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah hari yang panjang setiap anak manusia, Sebagian anak manusia menghabiskan sisa hari diisi dengan mendengarkan musik. Penulis juga menjadi termasuk golongan tersebut, merefleksikan hidup dengan music menjadi bentuk pengevaluasian diri. Musik memberikan pengaruh pada kehidupan anak manusia, membangkitkan sebuah kesadaran berfikir dan kreatifitas. Bahkan jauh dari itu, lebih dalam lagi menghadirkan sebuah mimpi.

Seperti lagu White Lion- When the Children Cry, lagu soft rock yang sangat cocok didengar untuk meredakan ketegangan atas dinamika kehidupaan. Penulis mendengarkan lagu ini pertama kali ketika masa SMA tahun 2016, dengan penuh takjub atas aransemen yang begituh menggugat perasaan ditambah distorsi gitar listik dan akustik meramu nada yang sangat melankolis berjiwa. Ketika mendengar lagu ini, seperti memanggil sisi kekanak-kanakan, terutama tentang mimpi di masa kecil.

Di kehidupaan dewasa ini, tak jarang manusia terjebak atas rutinitas-rutinitas yang padat, sehingga berujung pada penyesalaan dan menghardik diri sendiri. Sebenarnya, menghardik diri sendiri merupakan kambing hitam sekaligus berterimakasih kepada rutinitas yang telah mengisi kesenangan sementara. Tentu, yang lebih menyakitkan jika rutinitas itu tidak berjalan bersama dengan mimpinya. Di sisa hidupnya manusia hanya akan meratapi kesedihan atas PHK dan terbuangnya mimpi-mimpi hebatnya.

Lagu When the Children Cry merefleksikan kehidupaan dewasa, kedalam sebuah lirik tentang anak kecil dan mimpinya. Gambaran anak kecil mencermikan sosok manusia yang berada dalam dunia yang dipenuhi kejahatan (kapitalisme). Perasaan yang dilanda kecemasaan atas dunia yang jahat tumbuh berbarengan dengan perkembangan sains dan teknologi sebagai symbol pembangunan dunia.

Memang pembangunan tidak terlepas dari penyemataan kata tragis. Semua orang bisa saling membunuh tanpa saling mengetahui, bahkan yang paling brutal membunuh diri sendiri alias bunuh diri. Motif salah satunya dunia ini tidak bisa membagi cerita, bahkan impian manusia yang gagal. Apakah di kehidupan dewasa ini mengejar bentuk-bentuk yang kemapanan yang amini oleh orang banyak?. Mungkinkah nasihat orang-orang dahulu seperti  "merantaulah ke kota-kota besar agar kamu sukses" telah menjebak kita pada sebuah hal-hal yang dekaden.

Dunia ini sudah hitam-putih di dasar permukaan kehidupaan yang dewasa. Semua tidak lagi mempunyai keinginan bermimpi, tetapi kenyataan dewasa ini membentuk keinginan yang seragam alias mental pasar. Perasaan-perasaan yang seragam ini, tentu harus diperangi secara batin. Agar semestinya kita bisa menggali pribadi kita terutama pada impian kita yang sejak kecil mengimpikan kehidupaan yang baik. Walaupun kita belum mengetahui apa yang terjadi di masa depan, klause gagal dan sukses dalam diri sesorang memiliki persepsi yang berbeda. Misalnya, seorang sarjana pulang ke kampung halamannya, kemudian menjadi petani atau nelayan serta memberikan pendidikan dan pelatihan terkait pengembangan sumber daya alam pada masyarakat. Bagi seorang sarjana tersebut itu merupakan bentuk perjalanan mewujudkan impian dan menariknya mereka yang mengambil jalan seperti itu menggap bahwa itu kesuksesaan versi dirinya.

Sekali lagi, tentang lagu When the Children dari White Lion, mengingatkan obrolan saya dengan ayah semasa kecil. Obralan itu berupa nasihat yang amat mempunai nilai sosial tak lupa hal-hal figurative yang penuh imajinasi diisi dengan kisah peperangan mahabarata. Sungguh, kehidupaan dewasa ini dipenuh hari-hari perang. Bayangkan saja hampir setiap hari kita harus dihadapkan sebuah arena (media sosial) yang saling mendodongkan senjata. Permainan narasi dalam media sosia merupakan tindakan kejahatan perang pikiran. Memang agak, kesulitan untuk mematahkan standar-standar sosial yang ditetapkan dalam narasi media Misalnya standar kecantikan, kesuksesan, standar hidup atau bahkan hal-hal yang sifatnya privasi. Entah, Apakah pikiran-pikiran masih bisa berimajinas atas hidup kita. Lantas, dikemudian hari bisakah kita mewariskan sebuah peradaban tanpa sikap mencuri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun