Menyalahkan aku menjadi petani yang tak kaya dan miskin rezeki
Salahkah ku menjadi petani
Bertahan tuk menjadi petani
Meski selebar dahi sepanjang bahuku tanah ini untuk anak cucuku
"Iksan Skuter-Petani"
      Sepotong lirik lagu Iksan Skuter mengingatkan identitas tentang bangsa Indonesia sebagai bangsa agaris. Faktanya itu tidak bisa dibantah, dari Sabang sampai Merauke hasil bumi melimpah ruah, selain di bidang pertambangan. Di tengah-tengah laju industri apakah kesadaran tentang nasionalisme dalam sebutir padi masih terawat di tengah-tengah revolusi industri yang terus berevolusi setiap detiknya. Apakah hal ini memunculkan kesadaran baru bersifat kapitalisme dan konsumerisme yang menyingkiran kesadaran otentik masyarakat Indonesia.
Utopia Negara Agraris Di tengah Konflik Agraria
      Laju industri telah menjalar persawahan di wilayah tanah Indonesia dengan dalih pembangunan. Masyarakat desa mendefiniskan kesejahteran mempunyai makna tersendiri terhadap alam.  Kesejahteraan masyarakat desa berkaitan dengan kondisi lahan yang menjadi penopang penghidupaan Sebagian masyarakat desa. Akan tetapi, secara historis permasalahan pertanian sering kali menuai permasalahan yang sangat kompleks seperti ketersediaan lahan, kebijakan politik, epidemik, industrialisasi bahan pertanian, kelangkaan plasma nutfah lokal, kesejahteraan tenaga kerja dan sebagainya.
      Salah satu yang pertanyaan yang mendasar hari ini, masihkah Indonesia disebut dengan negara agraris ?. Pertanyaan ini didasarkan dengan keresahan melihat alih fungsi lahan-lahan di desa. Contoh kasus terkait lahan yakni pembangunan Bandara di Majalengka atau New Yogya Airport di Kulon Progo, yang melibatkan warga desa dan para aktifis bergerak untuk memperjuangakan hak warga desa.
      Mengutip data artikel Kompas. Id berjudul "Konflik Agraria Meningkat Sepanjang 2022, Kemauan Politik Kunci Penyelesaian" Berdasarkan catatan KPA, 212 konflik agraria terjadi sepanjang 2022 atau meningkat 4 kasus dibandingkan tahun 2021 dengan jumlah 207 konflik. Kasus konflik agraria tertinggi berasal dari sektor perkebunan (99), infrastruktur (32), properti (26), pertambangan (21), kehutanan (20), fasilitas militer (6), pertanian/agrobisnis (4), serta pesisir dan pulau-pulau kecil (4).Sementara dilihat dari wilayahnya, lima provinsi dengan konflik agraria tertinggi adalah Jawa Barat (25), Sumatera Utara (22), Jawa Timur (13), Kalimantan Barat (13), dan Sulawesi Selatan (12). Sumatera Utara juga menjadi wilayah dengan konflik agraria terluas mencapai 215.404 hektar. Meski tidak signifikan dari sisi jumlah, konflik agraria sepanjang 2022 menyebabkan peningkatan drastis dari sisi luasan wilayah terdampak.Luas konflik agraria tahun 2022 yang terjadi di 33 provinsi ini mencapai 1,03 juta hektar dan berdampak terhadap lebih dari 346.000 keluarga.Sementara konflik agraria pada 2021 mencakup luas 500.000 hektar.
Selain itu, KPA juga mencatat sepanjang 2022 telah terjadi 497 kasus kriminalisasi yang dialami pejuang hak atas tanah di berbagai penjuru tanah air. Angka ini bahkan meningkat signifikan dibandingkan tahun 2021 sebanyak 150 kasus dan 120 kasus pada 2020.
Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menyampaikan,KPA melihat belum ada perubahan signifikan dan mendasar yang dilakukan pemerintah, baik di pusat maupun daerah, dalam penanganan serta penyelesaian konflik agraria. Respons pemerintah juga lemah dan lambat dalam upaya pencegahan sebelum konflik meluas ke permukaan.
"Dari tiga tahun terakhir pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo, kami mencatat konflik agraria dari perusahaan pelat merah juga semakin meningkat. Dulu, perkebunan swasta memang yang mendominasi, tetapi pelan-pelan perusahaan pelat merah dengan konflik lama yang tak kunjung tuntas kembali meledak ke permukaan," ujarnya
Problematika agraria menjadi hal yang mendasar di negara Indonesia atau sebagai negara agraris. Reformasi agrarian hanya menjadi bahan obrolan ngopi di meja rapat. Sehingga menjadikan lumbung pangan menjadi terabaikan dan tragisnya lahan produksi hilang maka disitu juga profesi petani hilang, sebab para petani beralih profesi menjadi pekerja serabutan. Perlu digarisbawahi para tenaga kerja pertanian yang kehilangan lahan tidak semuanya bisa melanjutkan mata pencahariannya ke bidang yang berbeda.
Perlu digarisbawahi Desa adalah istitusi masyarakat sebagai ruang agrarian yang muncul atas dasar hubungan manusia dan alam. Dalam buku yang ditulis Hilman Farid dkk, berjudul Sejarah Geografi Agraria  di Indonesia Secara historis desa-desa di Nusantara merupakan warisan colonial dan orde baru, gambaran desa sebagai kehidupan seolah-olah muncul dari alam itu sendiri.
Pertanyaan yang menggelitik dalam diri penulis adalah bukankah desa dibentuk secara proses social, politik dan ekonomi. Tetapi mengapa variable permasalahannya terletak pada sumber daya alam. Tentu hal ini terkesan hubungan manusia dan alam dalam ruang agraria di benturkan oleh paradigma kapitalisme sehingga menyalahi aturan tentang arti pemanfaat sumberdaya alam dan impian para petani desa tentang kesejateraan.
Fakta historis tentang  konflik agraria diwariskan dari zaman colonial sampai zaman datakrasi. Sebagaimana yang disebutkan dalam Sejarah Georagfi Agraria oleh Hilman Farid dkk, menyebutkan masa colonial Raffles merupakan Langkah awal penting untuk menetapkan hukum tanah. Dan perlu digarisbawahi aturan mengenai tanah hanya berlaku di Banten, Pesisir Utara Jawa, dan bagian timur Jawa yang sudah dikuasai oleh VOC. Domeinverklaring untuk Sumatra ditetapkan dalam Staatsblad No. 941/1874, tapi baru bisa berjalan setelah operasi militer mengalahkan gerakan perlawanan di sana pada awal abad keduapuluh.
Perkembangan dan ekspansi kapitalisme membawa kita pada kesadaran yang mengharah pada pemahaman kompleks terkait masalah agrarian terutama pada perubahan sosio-historis masyarakat agraria. Setidaknya perkembangan sejarah agraria dimelinium baru adalah Gunung yang dirubah menjadi Danau di Papua oleh PT Freeport, kemudian hutan tropis di Kalimantan dan Sumatra yang tidak tumbuh dikarenakan laju ekspansi kolonialisme dengan kekuatan neo-liberalisme.
Masyarakat Agraria dan Gugatan Antroposentrime
Kerbauku besar, kerbauku seram
Tetapi ia bukan pemalas
Hidupnya sederhana, hmmm-mm
Sancaku besar, sancaku seram
Mengganti kulit, keluar sarang, makan dan bertapa
Hidupnya sederhana
      Sepotong lirik lagu Cikal memberikan pesan simbolik, secara keseluruhan lirik dari Cikal mengambarkan ada miss pemahaman tentang bagaiamana hubungan manusia dengan alam, sehingga dari keseluruhan lirik Cikal adalah sebuah pertanyaan untuk para pendengar tentang hubungan manusia dan alam.
      Dosen Filsafat Martin Suryajaya melemparkan satu pernyataan terkait hubungan manusia dan alam di Abad 21 ini. Setidaknya ada tiga tawaran berpikir terkait dengan hubungan manusia dan alam. Dalam seminar Martin Suryajaya memberikan tiga tawaran berpikir dalam bahan diskusinya yang diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Alumni Dwikarya yang bertajuk Politik Tanpa Antroposentrisme. Martin mamparkan tiga ide diawal materi presentasi yakni Deselerasionisme, Akselerasionisme dan Datakrasi
      Martin menampilkan Deselerasionisme sebagai pemikiran yang bercorak pada masa lampau dimana para subjek berusaha menarik jiwa pada romantika masa lalu yang hilang. Utopia Deselerasionisme menekankan pemberhentian sentral manusia lalu kembali kepada alam. Dengen demikian manusia memperlambat pertumbuhan dan perkembangan dunia untuk menyesuaikan tempo dengan alam.
      Point kedua Akslerasionisme bagi Martin merupakan  projek pertumbuhan dan perkembangan jiwa dan dunia dengan cara mempersilahkan terlibatan sains untuk masa pencerahan dengan cara menerjemahkan kembali manusia, akan tetapi permasalahnya manusia akan mempertanyakan apa janji masa depan?. Akselerationisme pada dasarnya yakni visi pencerahan tanpa perinciannya.
 Point terakhir yang disampaikan Martin dalam materi prsentasinya yakni Datakrasi. Point terakhir ini tentang sebuah politik tanpa politisasi, sebuah pemerintahan tanpa pemerintah. Lebih tepatnya seluruh himpunan aktivitas manusia dan lingkungan hidupnya dikelola oleh kecerdasan buatan.
      Dalam filsafat lingkungan yang dikenal deep ecology oleh Naes. Alam adalah kesatuan cybernetic yakni system keseimbanagn swa-kendali (selfregulation). Bagi penganut filsafat ini mereka berpandangan bumi tidak dipandang sebagai sesuatu yang mati atau sebagai tempat untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam.tapi bagi penganut filsafat Naes bumi bagi kelangsungan system keseimbangan untuk kelangsungan hidup spesies.
      Persepsi modern masyarakat umum ditandai adanya pembangunan dan tingginya pertumbuhan angka ekonomi. Kemunculan dan perkembangan teknologi dan industri bagian dari simbol kemakmuran masyarakat pada umumnya, tentu dengan adanya teknologi tingkat produktifitas terhadap barang akan sangat meningkat sehingga menghasilkan pendapatan yang lebih. Namun ironisnya sumberdaya alam dan manusia terkadang menjadi korban atas perkembangan tekonologi dan industry dari sistem kapitalisme.
      Berbicara persoalaan hubungan manusia dengan alam di abad digital membawa pada sebuah sebuah hubungan yang kompleks diawali dengan kerusakaan" manusia akibat dari meningkatnya angka produksi. Meminjam istilah "Masyarakat Resiko yang dipopulerkan , Ulrich Beck berpendapat Masyarakat risiko diartikan sebagai kemungkinan-kemungkinan kerusakan fisik (mental dan sosial) yang diakibatkan oleh perubahan di dalam masyarakat oleh pengaruh industrialisasi, modernisasi, dan pembangunan. Masyarakat resiko sendiri dibagi menjadi empat macam: resiko kesehatan, resiko sosial, resiko ekonomi, dan resiko ekologi.
Kembali lagi dalam renungan zaman, penulisan sejarah atas nasib manusia dan lingkungan akan terus berjalan, khususnya dalam lingkup desa yang menjadi pemangku budaya agraris. Pembentukan atas budaya agraris juga berkaitan dengan hubungan manusia dengan lingkungan, acapkali sering kali lingkungan di artikan sebagai benda mati dalam kehidupan manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H