Umat Islam bergerak atas kesadaran, tidak karena keuntungan-keuntungan material seperti kekuasaan politik, kepentingan kelas, atau kepentingan golongan"Â
-Kuntowijo dalam bukunya Identitas Politik Umat Islam.
Dalam beberapa dekade Indonesia saat ini masyarakat Indonesia di hadapkan dengan persoalan politisasi agama dan radikalisme. Serangkai berita konfik keagamaan mulai dari tahun 1998, pemboman sadis, dan politisasi pemilu DKI Jakarta, serta yang terbaru berita wanita memaksa menerobos masuk istana negara.Â
Tentu hal ini menimbulkan rangsangan pada para penulis untuk menulis terkait isu radikalisme dan politisasi. Artikel ini akan membawa hal yang berbeda untuk melihat kehidupan ummat Islam di Indonesia. Berangkat dari fenomena yang ada perkembangan umat Islam di Indonesia sangat pesat terutama dalam membentuk sistem pemerintahan yang beragam.
Epistemologis Kebebasan Individu dan Hak Universal Islam
Berangkat dari kegelisahan terkait konflik agama, penulis ingin mengajak untuk merambah kembali pemikiran atau lorong sejarah bagaiamana para pemikir Islam di Indonesia mengejawantahkan idenya melalui pemikiran politik tanpa menimbulkan konflik keagamaan. Istilah Epistemologi muncul dari alam pikir Yunani yang mengartikan tentang bagaimana seseorang mendapatkan pengetahuan yang bisa diaplikasikan dalam kenyataan dengan maksud agar seseorang dapat bertindak bijaksana.
Sumber pengetahuan Islam berdasarkan dua sumber yakni Al-Qur'an dan Sunnah. Istilah Epistemologi bukan hal yang baru dipakai. Istilah ini berasalah dari seorang cendikiawan muslim yakni Fazlur Rahman. Ia berpendapat Epistemologi Islam yakni semua kenyataan berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan (Innalilahi wa innailaihi rojiun).
Kewajiban agama mempunyai dua sisi yakni individu dan kemasyarakatan. Dalam Al-Quraan surah Al-Imran (3):112 yang mengungkapkan hablun minallah qa hablun minannas. Yang memebrikan petunjuk bahwa kehidupan manusia adalah penyambungan antara tali Keimanan (tauhid individu) dan Amal Shaleh (Tauhid Sosial).
Pada tingkatan kebebasan Individu manusia sebagai mahkluk bertahuid pada kepercayaan mutlak. Bentuk kebebasan individu berupa kepasarahan atau kecintaan kepada Tuhan yang diejawantahkan kepada prilaku sosial (khalifah fil ardh) yang kemudian mencapai titik Insan Kamil (Penyempurnaan manusia) dikemudian kehidupan selanjutnya.
Namun disatu sisi manusia menjadi sangksi dalam mengambil sikap diantara tugas individu dan keuniversalan, manusia terkadang gugup untuk antara merubah dunia dan dirinya. Pada dasarnya manusia berasal dari kebenaran hakikat sebagai mahkluk individu namu hidup dunia dengan sebagala bentuk sosial baik dengan masyarakat atau mahluk lainnya, lalu pulang pada alam akhirat sebagai mahkluk individu.
Oleh karena itu manusia berjalan dalam melaksanakan hak individual dan universal dilandasi dengan sikap merdeka untuk mendayung tugasnya sebagai makhluk individu dan makhluk universal. Sehingga mampu merubah nasib dunia dan dirinya.
Maka dari itu ajaran Islam tidak berdiri condong dalam masalah hak kebebasan individu atau masalah hak kolektif universal, Islam sebagai Jembatan keduanya. Maka tidak heran Islam menawarkan konsep Ummatan Wasathan dalam Al-Qur'an Surat Al Baqarah (2): 143.
Aktifitas Sosial Islam
Ikhiar sosial kebangsaan menjadi penyerahan atau kemerdekaan manusia yang berdasarkan dari pengetahuan dari nilai-nilai ketauhidan. Ini terbukti dalam masa-masa klasik. Peradaban manusia pada masa Islam klasik berangkat dari nilai-nilai ketauhidan yang menciptakan tatanan sosial yang membentuk kesejahteraan dan kemakmuran bagi umat manusia. Hal ini tidak terlepas dari posisi ajaran Islam yakni Ummatan Wasathan.
Konsep Ummatan Wasathan dalam kehidupan sosial mengakomodir keberagaman masyarakat sekitar. Misalnya dalam sejarah Islam lahir di tengah-tengah masyarakat masih terdapat ajaran Yahudi dan Kristen yang tinggal di daerah timur tengah. Tetapi gejela sosial ummah memakasa memunculkan bagaimana membentuk kebebasan Individu dan Kemerdekaan universal dalam piagam Madinah.
Nilai-nilai ketauhidan memberikan kualitas pada diri seseorang, tentu hal ini akan berdampak untuk masyarakat sekitar. Kalau melihat akar sejarah dari Islam ada yang menarik dari konsep misi kenabian yakni bagaimana proses Muhammad Saw membangun pranta sosial yang maju. Sederhana akar dari misi kenabian yakni Tauhid.
Menurut Muhammad Al-Fayyald dalam hasil transikip wawancara dengan Indoprogress yang berjudul "Pada Level Aksiologis, Islam dan Marxisme menjadi Sangat Kompatibel". Sebagai orang Nahdliyyin yang belajar filsafat mengatakan bahwa "Tauhid adalah pembebasan politeisme".
Penulis sejalan apa yang di katakan Muhammad Al-Fayyald, argumen ini membuka sejarah pra Islam yang kondisi masyarakat Arab pada saat itu menjadi budak atas dasar-dasar kepercayaan sedang berebut kuasa dalam alam akal dan naluri manusia. Tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw salah satu tawaran dasar-dasar nilai kepercayaan yang benar dan diproses berdasarkan koreksi terhadap sistem kepercayaan sebelumnya.
Dari sini Tauhid menjadi mercusuar misi kerasulan yang tujuan tak lain adalah membebaskan manusia dari ketergantungan pada kekuatan selain Tuhan. Sebagaimana Kuntowijoyo katakan dalam buku identitas politik umat Islam. Tuhan itu adalah pusat dan menegaskan bawah teori perubahan sosial Islam titik akhir pembangunan sosial terletak pada Tuhan. Jadi dalam artiannya Kuntowijoyo ingin mengingatkan kembali tentang kesadaran akan nilai-nilai ketauhidan dalam kehidupan sosial.
Sebagaimana yang diungkapkan Murthada Muthahari dalam empat bagian Tauhid Zat, Tauhid Sifat, Perbuatan, dan Penghambaan. Tauhid Zat yang mengartikan bahwa mempercayai Allah tiada yang menyerupai-Nya. Tauhid Sifat yang berarti sifat-Nya tidak bertentangan sifat lain-Nya.
Tauhid Perbuatan adalah perbuatan Allah itu hanya satu dan tidak bertentangan. Sedangkan tauhid Penghambaan bentuk perbuatan penyembahan kepada Allah dan bentuk dari kepasrahan (melekat dalam diri manusia).
Simpul dari penjabaran tentang konsep Tauhid yang dijelaskan Murthada Muthahari, hakikatnya bagian dari konstruksi untuk membangun Tauhid Sosial. Pada dasarnya sifat hakikat dari Tauhid pemahaman dan evaluasi esksitensi manusia (penyempurnaan manusia).Â
Konsep tekait penyempurnaan manusia atau istilah yang dikenal oleh Ibn Arabi yakni Insan Kamil. Bagian dari titik akhir manusia dalam proses kehidupan. Untuk mencapai penyempurnaan manusia salah satu Ikhtiar menuju hal itu adalah sosial kebangsaan bagian indikator menuju itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H