Wanita yang pipinya kemerah-merahan.
Tengoklah di luar rumahmu. Manusia sedang sibuk membanting tulang, hingga mereka lupa menabur daging pada lingkungannya. entah sudah detik keberapa membanting tulang, seolah-olah sedang dikejar abad 21.
Sore kali ini senja sedang absen, sehingga mendung menggantikannya untuk sementara sampai ia pulang bersama purnama. kira-kira begitulah yang tertulis di halaman depan catatan terakhir Dina yang ia tinggalkan kepadaku. sayup-sayup lampu petronak cafe memaksa lidah ini untuk melanjutkan membaca catatan terakhir Dina.
dalam diam aku bertanya, beginikah caramu memberikan aba-aba perpisahan. kau biarkan lelaki duduk dalam ruangan lalu kau tinggalkan dengan alasan untuk membuat kopi.
aku tak pernah membayangkan untuk membaca sebuah Utas yang singkatmu, mungkin kau paham betul apa yang perlu disajikan untuk terakhir kalinya. sebuah utas yang singkat untuk dieja satu persatu hurufnya hingga meninggalkan sebuah kenangan.Â
hiruk pikuk kota membuat orang singgah kedalam cafe sambil merayakan sebuah pesta atas rezeki, berbeda dengan aku seolah sedang merayakan perpisahan. sebuah cermin di cafe sebagai hiasan semata ku pakai untuk berkaca, bukan untuk merapikan pakaian yang diperuntukkan menyiapkan pertemuan dengan kekasih tapi hanya untuk berkata airmata siapa punya ini bersinggah di mata ini.
seorang pelayan cafe paruh usia memberikan sebuah tisu kepada diriku "mas, lapkan saja lukamu pada tisu ini, siapa tau lukamu menjadi lukisan terindah dalam tisu ini" ujarnya. "terimakasih pak, semoga saya bisa menikmati sebuah lukisan indah di tisu ini"
***
malam yang kudus makin larut dalam keramaian, bangku cafe terisi penuh. terkecual bangku yang ada di hadapanku. bangku yang menjadi lawan berhayalku tentang wajahmu. kini ku lanjutkan kembali bacaan sebuah utas yang singkat dalam catatan terakhirmu.
Pada halaman 10, Dina menulis " kalo lu tau jawabannya kasih tau gua ya, kita lagi disituasi yang sama tapi masih sama-sama cari jawaban".