Pada debat calon presiden 2024 pertama kemarin, calon presiden nomor urut satu, Anies Baswedan, mengungkit mengenai kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh Mega Suryani Dewi yang gagal untuk ditindaklanjuti oleh negara, menghasilkan kematiannya yang seharusnya bisa dapat dihindari. Pernyataan Anies Baswedan mengungkit kembali perbincangan mengenai peran negara dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan, termasuk dalam rumah tangga.
Sebelum menjelaskan mengenai proses hukum negara, diperlukan pemahaman terlebih dahulu mengenai kasus ini sendiri. Mega Suryani Dewi, seorang beauty advisor yang berasal dari Bekasi yang dibunuh oleh suaminya pada tanggal 7 September 2023, Nando Kusuma Wardana. Diketahui bahwa sebab kekerasan ini sendiri adalah persoalan ekonomi yang sedang susah pada saat itu. Mega sebenarnya sudah melaporkan kasus kekerasan ini kepada polisi dan bahkan sudah diproses pada 7 Agustus 2023, tetapi tidak ditindaklanjuti, melainkan diberhentikan proses investigasinya saat suami-istri berdamai. Pada akhirnya, sang suami menyerahkan diri kepada polisi.Â
Kegagalan aparat hukum untuk menindaklanjuti secara tidak langsung mengakibatkan kematian sang istri dimana seharusnya aparatur menjamin keamanan korban. Alhasil, untuk mencegah hal seperti ini untuk berulang, diperlukan pemahaman mengenai proses hukum dan realitas dari kekerasan terhadap perempuan, khususnya dalam rumah tangga.Â
Hukum Prevensi Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia
Sebenarnya, keberadaan hukum mengenai prevensi kekerasan rumah tangga sudah diberlakukan di Indonesia melalui UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Tujuan keberadaan hukum ini adalah untuk mencegah adanya kekerasan dalam rumah tangga melalui penindakan terhadap pelaku dan melindungi korban kekerasan, baik itu secara fisik, ekonomis, maupun psikologis. Keberadaan hukum ini berhasil untuk membantu memberikan saringan bantuan kepada perempuan yang sebelumnya susah untuk melaporkan kasus-kasus kekerasan, menghasilkan meningkat secara drastis pelaporan kekerasan dalam rumah tangga, yang sebelumnya hanya 7.787 kasus pada tahun 2003 sebelum diimplementasikan hingga menjadi sebanyak 14.020 pada periode 2004, peningkatan sekitar 44%. Selain itu, UU PKDRT membantu untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai isu kekerasan dalam rumah. Harapannya adalah dapat meningkatkan kegentingan keberadaan diskusi mengenai isu-isu tersebut dalam ranah publik dengan tujuan untuk menghilangkan kejahatan tersebut.
Keberadaan hukum melawan kekerasan terhadap perempuan juga diperkuat seharusnya melalui UU No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Hukum ini penting sebab menjadi landasan hukum bahwa kekerasan seksual itu secara legal dilarang dan juga membangun cara-cara untuk menanggulangi isu ini tidak hanya secara legal, tetapi juga secara sosial dan psikologis pula. Hukum ini juga memperkuat. Hukum ini ada dengan harapan bahwa kekerasan terhadap perempuan itu ada saringan untuk melaporkan kejahatannya serupa dengan UU PKDRT yang sudah diimplementasikan sebelumnya.Â
Realitas Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia
Namun, persoalan mengenai hukum-hukum ini tetap ada, khususnya sebagai akibat persepsi bahwa rumah tangga adalah suatu hal yang pribadi dan bukan tugas negara untuk memasuki ranah tersebut. Faktanya adalah bahwa kekerasan terhadap perempuan, baik itu di luar maupun dalam rumah tangga adalah suatu hal yang terlalu umum, meskipun seharusnya tidak begitu. Keberadaan ini sendiri disebabkan oleh rendahnya pelaporan kekerasan tersebut. Kekerasan terhadap perempuan di Indonesia itu tinggi sekali dibandingkan dengan laki-laki sebagai akibat budaya patriarkis yang kuat melekat dalam budaya Indonesia. Ini juga tidak dibantu oleh realitas bahwa keterkaitan budaya dan agama yang membuat peran gender tradisional kuat menghilangkan kekuatan perempuan dalam suatu hubungan. Kebutuhan ekonomis dan lemahnya peran perempuan menyebabkan mereka untuk bergantung pada suaminya yang merupakan kepala keluarga dan pemberi nafkah.
Kegagalan aparat polisi dan hukum lainnya kerap gagal untuk menindaklanjuti laporan mengenai kekerasan terhadap perempuan. Hasilnya adalah mengutip data dari Indonesian Judicial Research Society tahun 2021 bahwa 57,3% korban perempuan tidak mau untuk melaporkan kejadiannya karena beberapa faktor, dari 33,5% takut; 29% malu; 23,5% tidak tahu kemana; dan bahkan 18,5% merasa bersalah menjadi korban. Mereka banyak tidak melapor sebagai akibat kegagalan dari proses hukum dan tata sosial masyarakat yang masih kuat, bahkan banyak merasa bahwa hukum yang seharusnya membela mereka itu tidak memihak kepada korban. Alhasil, banyak yang membiarkannya terjadi dan masyarakat tetap apatis.