Mohon tunggu...
Ardra Mahatma Pratama Sutardi
Ardra Mahatma Pratama Sutardi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia tahun ketiga yang memiliki minat dalam kebijakan publik, politik internasional, dan politik nasional

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mengingat Kasus Mega Suryani Dewi: Kegagalan Negara terhadap Kekerasan Terhadap Perempuan

19 Desember 2023   08:00 Diperbarui: 19 Desember 2023   08:36 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kekerasan Rumah Tangga. Sumber: Pro-Stock Photo.

Pada debat calon presiden 2024 pertama kemarin, calon presiden nomor urut satu, Anies Baswedan, mengungkit mengenai kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh Mega Suryani Dewi yang gagal untuk ditindaklanjuti oleh negara, menghasilkan kematiannya yang seharusnya bisa dapat dihindari. Pernyataan Anies Baswedan mengungkit kembali perbincangan mengenai peran negara dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan, termasuk dalam rumah tangga.

Sebelum menjelaskan mengenai proses hukum negara, diperlukan pemahaman terlebih dahulu mengenai kasus ini sendiri. Mega Suryani Dewi, seorang beauty advisor yang berasal dari Bekasi yang dibunuh oleh suaminya pada tanggal 7 September 2023, Nando Kusuma Wardana. Diketahui bahwa sebab kekerasan ini sendiri adalah persoalan ekonomi yang sedang susah pada saat itu. Mega sebenarnya sudah melaporkan kasus kekerasan ini kepada polisi dan bahkan sudah diproses pada 7 Agustus 2023, tetapi tidak ditindaklanjuti, melainkan diberhentikan proses investigasinya saat suami-istri berdamai. Pada akhirnya, sang suami menyerahkan diri kepada polisi. 

Pasangan Nando Kusuma Wardana (25) dan Mega Suryani Dewi (24) beserta kedua anaknya. Sumber: Facebook/@Mega Suryani Dewi. Diambil dari Berita Satu
Pasangan Nando Kusuma Wardana (25) dan Mega Suryani Dewi (24) beserta kedua anaknya. Sumber: Facebook/@Mega Suryani Dewi. Diambil dari Berita Satu

Kegagalan aparat hukum untuk menindaklanjuti secara tidak langsung mengakibatkan kematian sang istri dimana seharusnya aparatur menjamin keamanan korban. Alhasil, untuk mencegah hal seperti ini untuk berulang, diperlukan pemahaman mengenai proses hukum dan realitas dari kekerasan terhadap perempuan, khususnya dalam rumah tangga. 

Hukum Prevensi Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia

Sebenarnya, keberadaan hukum mengenai prevensi kekerasan rumah tangga sudah diberlakukan di Indonesia melalui UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Tujuan keberadaan hukum ini adalah untuk mencegah adanya kekerasan dalam rumah tangga melalui penindakan terhadap pelaku dan melindungi korban kekerasan, baik itu secara fisik, ekonomis, maupun psikologis. Keberadaan hukum ini berhasil untuk membantu memberikan saringan bantuan kepada perempuan yang sebelumnya susah untuk melaporkan kasus-kasus kekerasan, menghasilkan meningkat secara drastis pelaporan kekerasan dalam rumah tangga, yang sebelumnya hanya 7.787 kasus pada tahun 2003 sebelum diimplementasikan hingga menjadi sebanyak 14.020 pada periode 2004, peningkatan sekitar 44%. Selain itu, UU PKDRT membantu untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai isu kekerasan dalam rumah. Harapannya adalah dapat meningkatkan kegentingan keberadaan diskusi mengenai isu-isu tersebut dalam ranah publik dengan tujuan untuk menghilangkan kejahatan tersebut.

Keberadaan hukum melawan kekerasan terhadap perempuan juga diperkuat seharusnya melalui UU No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Hukum ini penting sebab menjadi landasan hukum bahwa kekerasan seksual itu secara legal dilarang dan juga membangun cara-cara untuk menanggulangi isu ini tidak hanya secara legal, tetapi juga secara sosial dan psikologis pula. Hukum ini juga memperkuat. Hukum ini ada dengan harapan bahwa kekerasan terhadap perempuan itu ada saringan untuk melaporkan kejahatannya serupa dengan UU PKDRT yang sudah diimplementasikan sebelumnya. 

Realitas Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia

Namun, persoalan mengenai hukum-hukum ini tetap ada, khususnya sebagai akibat persepsi bahwa rumah tangga adalah suatu hal yang pribadi dan bukan tugas negara untuk memasuki ranah tersebut. Faktanya adalah bahwa kekerasan terhadap perempuan, baik itu di luar maupun dalam rumah tangga adalah suatu hal yang terlalu umum, meskipun seharusnya tidak begitu. Keberadaan ini sendiri disebabkan oleh rendahnya pelaporan kekerasan tersebut. Kekerasan terhadap perempuan di Indonesia itu tinggi sekali dibandingkan dengan laki-laki sebagai akibat budaya patriarkis yang kuat melekat dalam budaya Indonesia. Ini juga tidak dibantu oleh realitas bahwa keterkaitan budaya dan agama yang membuat peran gender tradisional kuat menghilangkan kekuatan perempuan dalam suatu hubungan. Kebutuhan ekonomis dan lemahnya peran perempuan menyebabkan mereka untuk bergantung pada suaminya yang merupakan kepala keluarga dan pemberi nafkah.

Kegagalan aparat polisi dan hukum lainnya kerap gagal untuk menindaklanjuti laporan mengenai kekerasan terhadap perempuan. Hasilnya adalah mengutip data dari Indonesian Judicial Research Society tahun 2021 bahwa 57,3% korban perempuan tidak mau untuk melaporkan kejadiannya karena beberapa faktor, dari 33,5% takut; 29% malu; 23,5% tidak tahu kemana; dan bahkan 18,5% merasa bersalah menjadi korban. Mereka banyak tidak melapor sebagai akibat kegagalan dari proses hukum dan tata sosial masyarakat yang masih kuat, bahkan banyak merasa bahwa hukum yang seharusnya membela mereka itu tidak memihak kepada korban. Alhasil, banyak yang membiarkannya terjadi dan masyarakat tetap apatis.

Infografis Pelaporan kekerasan terhadap perempuan. Sumber: Indonesian Judicial Research Society. 
Infografis Pelaporan kekerasan terhadap perempuan. Sumber: Indonesian Judicial Research Society. 

Maka tidak heran bahwa jika mengambil data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPPA) menemukan bahwa kasus kekerasan hingga Desember 2023 adalah sebanyak 26.668 kasus dengan korban perempuan sebanyak 87% atau 23.399 dan 13% atau 5.593 diantaranya laki-laki. Dari semua kasus ini, sebanyak 48% merupakan sebagai akibat kekerasan dalam rumah tangga. Hasil ini memperlihatkan bahwa hal ini merupakan gejala yang seharusnya ditindaklanjuti, tetapi susah sebagai akibat sistem yang ada sekarang.

Peran Negara dan Masyarakat Indonesia Sebagai Refleksi

Dalam negara hukum, seharusnya pemerintah memiliki peran aktif dalam menanggulangi isu-isu masyarakatnya, termasuk dalam kekerasan. Akan tetapi, realitasnya memperlihatkan bahwa negara itu sendiri masih belum mampu secara efektif untuk menyelesaikan tugasnya sebagai pembela warga negara, melainkan membiarkannya terjadi ataupun gagal untuk menindaklanjuti sebagai akibat ketidakpahaman mereka akan soal tersebut. Negara merupakan pelindung warganya dan harus secara aktif membela hak mereka jika terancam, meskipun itu adalah sesama warganya. Selain itu, negara dan pemerintah harus berlatih untuk menjadi suatu badan yang mandiri dan non-bias, melepaskan keyakinan tradisionalnya demi fokus pada suatu hal secara objektif dan empiris demi mampu melakukan tugas mereka. Hal ini dapat dicapai melalui pelatihan maupun hukum yang lebih efektif.

Perlindungan hukum Indonesia. Sumber: Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Perlindungan hukum Indonesia. Sumber: Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Masyarakat biasa juga memiliki peran penting dalam memitigasi kekerasan terhadap perempuan. Kita harus lebih aktif memperlihatkan sekeliling sebab dalam kehidupan bernegara dan moral harus menjaga satu sama lainnya. Selain itu, kita harus sadar bahwa kita tidak mampu menyelesaikan suatu masalah jika bertahan, mentalitas harus berubah dan pemahaman tradisional harus disesuaikan agar dapat terbuka sesuai pemahaman satu sama lainnya lebih objektif. Dalam menjaga kedamaian, suatu hal tidak dapat diselesaikan dengan mandiri dan kita harus sadar maka harus membantu satu sama lainnya dan jangan membiarkan suatu kejahatan terjadi di hadapan kita. 

Kesimpulan

Secara legal, Indonesia sudah jelas memiliki berbagai hukum yang ada untuk melindungi perempuan dari kekerasan, tetapi secara sosial dan budaya hal ini susah untuk diimplementasikan. Keberadaan hukum itu hanya sebagus jika para pelakunya itu patuh mengikutinya dan Indonesia masih belum bisa melakukan hal itu maka harus diperkuat melalui aparatur hukum. Namun, mereka juga harus dididik dan lebih aktif dalam implementasi hukum sertakan dengan sosialisasi dengan masyarakatnya. Alhasil, kekerasan terhadap perempuan masih terjadi dan sering, tetapi jika sadar dan aktif diberhentikan maka akan lebih aman negara. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun