Pagi ini, ketika mengecek Twitter, saya disuguhi berita dari akun Twitter resmi salah satu media nasional yang memberitakan mengenai keheranan Menteri BUMN Erick Thohir karena banyaknya direksi BUMN Â yang tidak mengerti laporan keuangan. Selanjutnya, saya buka tweet itu dan seperti yang sudah saya perkirakan, bermacam-macam komentar hujatan ditujukan atas hal tersebut.Â
Mungkin hal tersebut menjadi terasa wajar apabila kita melihat realita di masyarakat yang sebagian besar mengetahui luar biasanya gaji, tunjangan, dan fasilitas yang diterima petinggi-petinggi BUMN, sehingga ekspektasi mereka atas kualifikasi para direksi tersebut pun sangat tinggi, termasuk kualifikasi di bidang keuangan.
Saya tidak begitu mengetahui prasyarat untuk menjabat posisi direktur di suatu BUMN, apakah memang hal tersebut diperlukan ataukah tidak, tetapi di beberapa perusahaan yang pernah mempekerjakan saya, yang kebanyakan adalah UMKM dengan omzet 15-40 miliar setahun, para direksinya kebanyakan tidak mengetahui laporan keuangan, bahkan ada beberapa yang tidak bisa membaca laporan keuangan.Â
Lantas apakah hal tersebut menjadikan mereka orang yang tidak memiliki kontribusi terhadap perusahaannya?Â
Tentu tidak, justru kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang sangat bertalenta di bidangnya, yang sangat saya kagumi. Ada yang bisa mendapatkan total proyek hingga 30 miliar dalam setahun seorang diri bermodalkan kemampuan bernegosiasi dan bersosialisasi, ada yang mampu menciptakan inovasi pada produk atau jasa yang ditawarkan sehingga memilki keunggulan dari pesaingnya, ada yang mampu mengoptimalkan para pegawainya untuk bersinergi memajukan perusahaan, dan hal-hal luar biasa lainnya yang tidak mampu dilakukan oleh kebanyakan orang keuangan.Â
Banyak kejadian lucu terkait hal keuangan yang saya alami saat bekerja dengan orang-orang tersebut, seperti misalnya pada saat pembahasan laporan keuangan suatu perusahaan.Â
Ketika saya mempresentasikan laporan laba rugi akhir tahun kepada direkturnya, yang dilihat olehnya pertama kali adalah bottom line atau laba perusahaannya dan langsung menyalahkan pegawainya karena kas di rekening perusahaan tidak sebesar laba yang dilaporkan di laba rugi.Â
Hahaha, saya setengah mati menjelaskan padanya, bahwa pendapatan (income)Â yang dilaporkan di laporan laba rugi itu adalah pendapatan yang sudah terjadi atau dikirim invoice-nya ke pelanggan, meskipun kas belum diterima.Â
Parahnya lagi, perusahaannya adalah perusahaan yang bergerak di bidang event organizer yang mana kebanyakan proyeknya ada pada Q-4 dengan days sales outstanding (DSO) bisa mencapai 3 bulan, kebayangkan betapa jomplangnya laba perusahaan dengan kas yang ada di bank perusahaan.
Pada kasus lainnya, perusahaan membeli beberapa aktiva tetap yang cukup mahal dan ketika tiba saatnya membahas laporan laba rugi, langsung proteslah direktur perusahaan tersebut, karena biaya perolehan aktiva tetapnya tidak dijadikan pengurang pendapatan kena pajaknya, sekali lagi saya menjelaskan dengan sia-sia mengenai biaya penyusutan. Â
Kejadian selanjutnya, pada perusahaan lainnya, dengan direktur yang berbeda, perusahaan sedang mengeluarkan banyak uang untuk mendirikan pabrik, dan ketika membahas laporan laba rugi (ya, lagi-lagi karena kurangnya pemahaman atas laporan keuangan, kebanyakan eksekutif perusahaan yang saya tangani lebih peduli kepada laporan laba rugi dibanding neraca atau arus kas), direktur perusahaannya protes karena saya tidak memasukkan biaya-biaya pendirian pabrik tersebut sebagai pengurang pendapatan kena pajak, sekali lagi saya berdebat panjang untuk menjelaskan mengenai perlakuan 'aset dalam penyelesaian' di laporan keuangan.
Saya pernah bertanya ke salah satu direktur perusahaan tentang alasan dia tidak pernah mengambil kursus mengenai laporan keuangan dan dengan entengnya dia menjawab, "mas, lu kursus jugalah gimana caranya jualan sama gimana caranya ngeladenin pegawai yang kerjanya nuntut mulu".Â
Hahaha, kesel juga sih dijawab kaya gitu, tetapi dari situ saya justru menyadari bahwa kebanyakan mereka yang berada di top level adalah orang-orang yang memiliki spesialisasi keahlian tertentu, sehingga hal tersebut cenderung menimbulkan sikap tidak peduli pada bidang di luar keahliannya.
Oh ya, perusahaan-perusahaan yang kelakuan unik direkturnya  saya sebutkan di atas, semuanya masih survived loh dan pertumbuhan perusahaannya juga cukup memuaskan.
 Jadi, ketika saya membaca berita mengenai direksi BUMN yang tidak mampu membaca laporan keuangan, saya tidak merasa sesuatu yang aneh dan serta merta menghakiminya tidak kompeten.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H