Mohon tunggu...
Ardi Yansyah
Ardi Yansyah Mohon Tunggu... Guru - Padi tumbuh tak berisik (Tan Malaka)

Menulis untuk keabadian

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menakar Polemik Nasab Alawiyyin di Indonesia

11 Agustus 2024   11:48 Diperbarui: 11 Agustus 2024   11:57 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal Mula

Sebenarnya konflik alawiyyin di Indonesia sudah dimulai sejak sebelum kemerdekaan. Pada waktu itu, keturunan Hadrami (Alawiyyin) dan Arab berkumpul dalam satu organisasi yang dinamakan Jam'iatul Khair yang didirikan oleh Sayid Abu Bakar bin Muhammad Al-Habsyi. Ia sebagai pendiri dan ketua umum pertama. Dari Jamiatul Khair, pada tahun 1928, Rabitah Alawiyah terbentuk. Konflik kalangan Hadrami dan Arab terjadi saat Syaikh Ahmad Soerkaty Al-Anshori (yang nantinya mendirikan Al-Irsyad) dari Sudan datang ke Indonesia. Pada mulanya, Ahmad Soerkaty di undang oleh Jamiatul Khair untuk berdakwah Islam di Indonesia. Tetapi Ahmad Soerkaty mempunyai sebuah pendapat dan pemikiran tentang kafa'ah, yaitu bolehnya Non Sayid menikah dengan wanita dari kalangan Al-Hadrami (Syarifah). Hal ini di tentang oleh kalangan Sayid karena dengan alasan menjaga kesucian dari keturunan Nabi Muhammad. Atas dasar hal inilah Ahmad Soerkaty berpisah dari Jamiatul Khair dan mendirikan Al-Irsyad (1915).

Para Sayyid atau yang hari ini disebut Habib/Habaib (jamak) mendapatkan tempat yang istimewa di Indonesia. Betapa tidak, masyarakat Indonesia terkhusus jamaah Nahdlatul Ulama (NU) mempercayai bahwa mereka adalah keturunan Nabi Muhammad yang mempunyai keberkahan. Saat pemikiran reformis Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha menyebar sampai ke Indonesia, Nahdlatul Ulama yang pada waktu itu di pimpin oleh KH. Hasyim Asyari menolak beberapa pandangan dari para reformis, seperti tidak percaya dengan keberkahan dan tawassul. Tetapi hal ini diamini oleh Muhammadiyah yang dipimpin oleh KH. Ahmad Dahlan, sehingga Muhammadiyah terhindar dari perdebatan sengit nasab Alawiyyin (meskipun nanti Muhammadiyah akan menemukan rivalnya, yaitu Wahabi yang masuk ke Muhammadiyah).

Para Alawiyyin mendapatkan posisi penting di kalangan masyarakat Muslim di Indonesia karena memang mayoritas menganut paham Nahdlatul Ulama (NU kultur yang tidak masuk ke dalam struktur) yang menyukai Maulid Nabi, Tahlilan, Yasinan, dan Manaqiban. Majelis-majelis ilmu banyak di buka dengan gaya tabligh akbar. Kiai-kiai NU pun juga mengajarkan bahwa di kalangan Alawiyyin terdapat keberkahan karena mengandung darah Nabi Muhammad.

Konflik Berlanjut

Polemik dengan kalangan Alawiyain berlanjut saat organisasi yang dipimpin oleh Habib Rizieq Syihab, FPI bersinggungan dengan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang notabene adalah putra dari KH. Wahid Hasyim dan cucu dari KH. Hasyim Asyari. Habib Rizieq pun sering melontarkan caci maki kepada Gus Dur, dan Kiai-Kiai NU yang tidak setuju jika Ahmadiyah di bubarkan. Begitupun saat tahun politik, Habib Bahar Smith sering mencaci maki para Kiai yang menurutnya tidak sesuai dengan pemikirannya.

Meskipun demikian, tidak semua kalangan Alawiyyin seperti itu. Ambil contoh Habib Munzir Al-Musawa yang mempunyai kedekatan yang erat dengan para Kiai NU. Dakwahnya tidak pernah memaki dan keras. Begitupun Habib Ali Al-Jufri, Habib Jindan, Habib Novel, dan Habib Umar bin Hafidz, yang dakwahnya  lembut untuk mengajak manusia ke jalan Allah.

Pengaburan Sejarah

Habib Luhfi bin Yahya menjadi sorotan tajam saat-saat ini karena dianggap banyak mengaburkan sejarah di Indonesia. Salah satu yang menjadi sorotan adalah berdirinya Nahdlatul Ulama. Habib Luthfi menyebut bahwa KH. Hasyim Asyari meminta restu kepada Habib Hasyim bin Yahya untuk mendirikan Nahdlatul Ulama. Kemudian dalam ceramahnya Habib Bahar Smith menyebutkan bahwa Nahdlatul Ulama didirikan atas restu lima Habaib di Indonesia. Pertama, Habib Abdullah bin Ali Al-Haddad, kedua Habib Abu Bakar bin Ahmad Assegaf, ketiga, Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, Keempat, Habib Hasyim bin Yahya, dan kelima Habib Thohir Al Haddad.

Atas maraknya simpang siur yang terjadi, pada rapat pleno PBNU tahun 2024, Gus Yahya menegaskan untuk menarik buku-buku yang dianggap mendistorsi sejarah NU untuk dikaji ulang agar anak cucu NU mengetahui sejarah organisasinya sendiri dengan benar. Hal ini memang menjadi catatan karena yang terkenal dari berdirinya NU dan disampaikan sendiri oleh KH. As'ad Syamsul Arifin, bahwa berdirinya NU atas restu KH. Kholil Bangkalan, yang memberikan sebuah tongkat sebagai restu berdirinya NU. Tongkat tersebut diberikan kepada KH. As'ad untuk disampaikan kepada KH. Hasyim Asyari. Dari tanda tersebut, maka semakin yakin, NU didirikan pada 31 Januari 1926 di Surabaya.

Isu lain pengaburan sejarah ialah saat KRT Sumodiningrat pejuang Yogyakarta di klaim bahwa ia adalah Habib Hasan bin Thoha bin Yahya golongan dari kalangan Alawiyyin. M. Yaser Arafat menulis di Jurnal Warisan dengan judul Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Sumadiningrat bukan Habib Hasan bin Thoha bin Yahya: Analisis Kritis di Balik Kesalahpahaman Sejarah menolak klaim itu. Menurut sumber primer, KRT Sumodiningrat bukanlah dari kalangan Alawiyyin melainkan dari kalangan pribumi. Silahkan jika ingin mengetahui secara detail, baca jurnalnya.

Metodologi Sejarah Kritis

Sejarah harus dikaji secara kritis untuk menemukan sebuah kebenaran. Jika sejarah itu diselewengkan, maka kebenaran juga akan diselewengkan. Metode penulisan sejarah sering diwarnai berdasarkan ideologi, agama, mazhab, dan lain-lain. Orde baru melarang menuliskan sejarah kaum komunis. Bahkan bukan hanya itu, buku-buku yang dianggap berbau 'kiri' akan dilarang seperti buku Madilog Tan Malaka. Begitupun pada abad ke 20, para apologetik menuliskan sejarah agama lain berdasarkan keyakinan agamanya sendiri. Maka tak hayal banyak buku yang ditulis kalangan Kristen menjelekkan agama Islam ataupun sebaliknya.

Saat orientalisme (orang Barat yang mengkaji budaya dan agama Timur) berkembang dengan banyak menerbitkan buku tentang ketimuran, ilmuwan Islam juga mengeluarkan metode oksidentalisme (orang Timur yang mengkaji Barat). Hanya saja, orientalisme berkembang menjadi ranah ilmiah, sedangkan oksidentalisme berkembang menjadi opologis. Tak heran banyak sejarah yang ditulis keluar dari kebenaran seperti Patimura dianggap orang Islam, Gajah Mada dianggap orang Islam dengan nama asli 'Gaj Ahmada', dan yang paling menggegerkan adalah Candi Borobudur dianggap peninggalan Nabi Sulaiman.

Sejarah tidak boleh seperti itu, penelitian sejarah harus berdasarkan bukti primer seperti naskah kuno dan peninggalan-peninggalan geologi serta geografis. Bahkan terkadang para sejarawan dan ilmuwan menggali fosil-fosil yang ada di dalam tanah. Penelitian sejarah tidak boleh berdasarkan mimpi yang sifatnya tidak bisa dikonfirmasi.

Nasab dan Sanad

KH. Imaduddin Usman memberanikan diri untuk meneliti tentang nasab kaum Alawiyin yang hari ini dianggap sebagai keturunan Nabi Muhammad. Dalam kesimpulannya, kaum Alawiyin bukanlah keturunan Nabi Muhammad karena dalam kitab sezaman tidak menceritakan tentang Ubaidillah dan Alwi, leluhur para Habaib. Hal ini pun mendapatkan respon yang luar biasa, ada yang mendukung dan ada yang menolak. Dialektika nasab ini harus disandarkan berdasarkan keilmuwan dan hal ini biasa terjadi.

Dalam hadis, silsilah perkataan Nabi Muhammad pun berkembang dan maju pesat. Hal ini dikarenakan banyaknya orang yang menggunakan kata-kata Nabi Muhammad dengan sembarangan bahkan terkesan palsu. Dalam ilmu hadis dibagi dua kategori, Riwayat dan Dirayah. Nah dirayah inilah yang nantinya akan berkembang menjadi hadis mutawattir, ahad, hasan, dhaif, dan maudhu. Para penutur hadis diperiksan silsilahnya dan kepribadiannya untuk menentukan kualitas hadis tersebut.

Kesimpulan

Titik fokus dalam polemik adalah hanya pelurusan sejarah. Sejarah yang dianggap menyimpang, harus diluruskan dengan metode-metode ilmiah. Jangan sampai kebencian rasial memecah belah bangsa Indonesia. Membenci keturunan Arab sama buruknya membenci keturunan Tionghoa. Merasa ras dan sukunya lebih mulia juga sama buruknya karena merendahkan orang lain. Padahal jelas di dalam Islam, yang lebih mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.

Penulis

Ardiyansyah

PC. GP. Ansor Kabupaten Bekasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun