Mohon tunggu...
Ardi Yansyah
Ardi Yansyah Mohon Tunggu... Guru - Padi tumbuh tak berisik (Tan Malaka)

Menulis untuk keabadian

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menakar Polemik Nasab Alawiyyin di Indonesia

11 Agustus 2024   11:48 Diperbarui: 11 Agustus 2024   11:57 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Metodologi Sejarah Kritis

Sejarah harus dikaji secara kritis untuk menemukan sebuah kebenaran. Jika sejarah itu diselewengkan, maka kebenaran juga akan diselewengkan. Metode penulisan sejarah sering diwarnai berdasarkan ideologi, agama, mazhab, dan lain-lain. Orde baru melarang menuliskan sejarah kaum komunis. Bahkan bukan hanya itu, buku-buku yang dianggap berbau 'kiri' akan dilarang seperti buku Madilog Tan Malaka. Begitupun pada abad ke 20, para apologetik menuliskan sejarah agama lain berdasarkan keyakinan agamanya sendiri. Maka tak hayal banyak buku yang ditulis kalangan Kristen menjelekkan agama Islam ataupun sebaliknya.

Saat orientalisme (orang Barat yang mengkaji budaya dan agama Timur) berkembang dengan banyak menerbitkan buku tentang ketimuran, ilmuwan Islam juga mengeluarkan metode oksidentalisme (orang Timur yang mengkaji Barat). Hanya saja, orientalisme berkembang menjadi ranah ilmiah, sedangkan oksidentalisme berkembang menjadi opologis. Tak heran banyak sejarah yang ditulis keluar dari kebenaran seperti Patimura dianggap orang Islam, Gajah Mada dianggap orang Islam dengan nama asli 'Gaj Ahmada', dan yang paling menggegerkan adalah Candi Borobudur dianggap peninggalan Nabi Sulaiman.

Sejarah tidak boleh seperti itu, penelitian sejarah harus berdasarkan bukti primer seperti naskah kuno dan peninggalan-peninggalan geologi serta geografis. Bahkan terkadang para sejarawan dan ilmuwan menggali fosil-fosil yang ada di dalam tanah. Penelitian sejarah tidak boleh berdasarkan mimpi yang sifatnya tidak bisa dikonfirmasi.

Nasab dan Sanad

KH. Imaduddin Usman memberanikan diri untuk meneliti tentang nasab kaum Alawiyin yang hari ini dianggap sebagai keturunan Nabi Muhammad. Dalam kesimpulannya, kaum Alawiyin bukanlah keturunan Nabi Muhammad karena dalam kitab sezaman tidak menceritakan tentang Ubaidillah dan Alwi, leluhur para Habaib. Hal ini pun mendapatkan respon yang luar biasa, ada yang mendukung dan ada yang menolak. Dialektika nasab ini harus disandarkan berdasarkan keilmuwan dan hal ini biasa terjadi.

Dalam hadis, silsilah perkataan Nabi Muhammad pun berkembang dan maju pesat. Hal ini dikarenakan banyaknya orang yang menggunakan kata-kata Nabi Muhammad dengan sembarangan bahkan terkesan palsu. Dalam ilmu hadis dibagi dua kategori, Riwayat dan Dirayah. Nah dirayah inilah yang nantinya akan berkembang menjadi hadis mutawattir, ahad, hasan, dhaif, dan maudhu. Para penutur hadis diperiksan silsilahnya dan kepribadiannya untuk menentukan kualitas hadis tersebut.

Kesimpulan

Titik fokus dalam polemik adalah hanya pelurusan sejarah. Sejarah yang dianggap menyimpang, harus diluruskan dengan metode-metode ilmiah. Jangan sampai kebencian rasial memecah belah bangsa Indonesia. Membenci keturunan Arab sama buruknya membenci keturunan Tionghoa. Merasa ras dan sukunya lebih mulia juga sama buruknya karena merendahkan orang lain. Padahal jelas di dalam Islam, yang lebih mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.

Penulis

Ardiyansyah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun