Meski sudah dilantik, setiap malam para pembantu presiden itu akan bermimpi sewaktu-waktu kena reshuffle kabinet. Untuk itu biar aman selain berusaha bekerja keras dan berprestasi, juga mau menuruti kemauan presiden. Bila presiden maunya utang terus, maka menteri terkait akan menuruti kemauan itu meski dalam hati merasa dengan semakin banyak utang, beban negara akan semakin berat.
Bagi mereka yang tidak bisa bekerja dengan baik, akhirnya lebih memilih menjadi pendengung, buzzer. Semua dilakukan agar aman dari reshuffle, syukur-syukur bisa terus menikmati kekuasaan hingga nanti.
Ketiga, tidak ada yang menolak menjadi pembantu presiden juga tidak lepas dari prestise jabatan menteri, wakil menteri, dan kepala badan. Di mata masyarakat (awam), jabatan-jabatan itu sangat luar biasa. Bila mereka pulang kampung, disambut bak raja. Semua sanak saudara dan handai taulan serta masyarakat desa datang ke rumah untuk bertemu.
Tak hanya prestise yang dikejar namun berbagai fasilitas seperti gaji, tunjangan hidup, rumah dinas, pengawalan dan ajudan, serta berbagai kesejahteraan lainnya akan mereka terima dan nikmati. Godaan dunia inilah yang tidak hanya melenakan politisi lupa pada rakyat namun juga membuyarkan idealisme aktivis, ustaz, pengacara, akademisi, agamawan, bahkan wartawan yang selama ini di tengah masyarakat selalu mengatakan tentang kebenaran, kejujuran, keadilan, dan demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H