Pemerintahan Prabowo-Gibran diakui banyak pihak sangat gemuk. Betapa tidak gemuk sebab ada 53 kementerian dan lembaga setingkat. Dari kementerian sebanyak itu pastinya akan merekrut 53 orang untuk menjadi menteri. Bila dibanding dengan pemerintahan sebelumnya, misalnya Presiden Joko Widodo pada masa pemerintahan 2019-2024, jumlah kementerian yang ada hanya 34. Pun bila dibanding dengan kementerian di negara lain, misalnya Malaysia, jumlahnya juga jauh. Di bawah Perdana Menteri Anwar Ibrahim, kementerian di negeri jiran itu jumlahnya hanya 28.
Meski jumlah kementerian menggelembung hal demikiah sah adanya sebab berdasarkan UU Kementerian Negara setelah direvisi. Dari undang-undang itulah membuka jalan bagi presiden untuk 'bebas' membentuk kabinet. Meski sah, revisi ini mendapat sorotan dari banyak pihak.Â
Jumlah pejabat negara di masa Pemerintahan Prabowo ini akan semakin melimpah karena di bawah menteri, mereka akan dibantu oleh wakil menteri. Wakil menteri yang diumumkan, jumlah mencapai 56 orang. Jumlahnya lebih banyak dari menteri karena ada kementerian, Kementerian Keuangan, yang memiliki 3 wakil menteri. Dari semua pembantu presiden itu jumlahnya mencapai 109 orang.
Gemuknya pos pembantu presiden tersebut menimbulkan keraguan keefektifannya sebab rantai-rantai atau jaring-jaring kekuasaan yang bertebar dan melebar akan dihadapkan pada masalah koordinasi. Tumpang tindih masalah bisa terjadi sebab ada kementerian yang mempunyai irisan kerja yang sama dengan kementerian yang lain.
Tak hanya irisan kerja yang sama, bila masing-masing menteri mempunyai ego, antar kementerian bisa saling menegasi. Misalnya Kementerian Kehutanan selain mempunyai irisan kerja yang sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup, mereka juga bisa saling menegasi misalnya dalam soal deforestasi. Di sinilah masalah itu muncul.
Masalah gemuknya kabinet ini tak hanya berhenti pada masalah koordinasi kerja namun banyaknya orang yang menjadi pembantu presiden akan membengkakan anggaran negara. Anggaran dikeluarkan selain untuk membiayai program kerja, gaji pegawai, juga gaji dan fasiltas yang mewah buat menteri, wakil menteri, dan kepala badan.
Banyak kementerian dan posisinya pendukungnya, wakil menteri dan kepala badan: anehnya tidak ada suara-suara keras untuk mengkritik bahkan menolaknya. Semua seolah-olah hanyut dalam berita tentang mereka yang dipanggil di Hambalang. Mereka yang dipanggil tidak hanya politisi dan partai pendukung Prabowo-Gibran saat Pilpres 2024 namun juga politisi dan ketua umum dari partai yang berseberangan saat pilpres. Dipanggil ke Hambalang juga ada dari kalangan aktivis, ustaz (ustadz), pengurus ormas Islam, artis, musisi, pengacara, purnawirawan TNI/Polri, olahragawan, pengusaha, akademisi, hingga wartawan.
Dari semua yang dipanggil itu tidak ada yang menolak. Semua meminta doa agar benar-benar dilantik. Lalu mengapa semua hanyut dalam kisah penyusunan para pembantu presiden dan mengapa tidak ada yang menolak jabatan yang disodorkan, kalau ada yang menolak itu hanya drama di depan panggung serta masalah waktu saja, nantinya juga akan menerima.
Ada beberapa asumsi dan fakta mengapa tidak ada yang menolak menjadi menteri, wakil menteri, dan kepala badan. Pertama, politisi terutama, mereka berpikir sudah banyak mengeluarkan biaya politik saat maju dalam pemilu legislatif, pemilu presiden, maupun untuk membiayai partai. Tentu biaya yang sudah dikeluarkan itu akan menjadi beban hidup bila tidak ada sumber pemasukan (yang besar). Nah di posisi inilah mereka berlomba, berebut, dan mau ditawari menjadi menteri, wakil menteri, dan kepala badan, di manapun posisi kementerian dan badannya meski sebenarnya posisi tersebut tidak tepat atau yang bukan diincarnya. Mereka mau menerima dengan tujuan untuk menggali dana sebagai cara untuk mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan dalam berpolitik.
Dengan adanya pemasukan dari jabatan yang mereka pegang, duit yang jumlahnya miliaran rupiah yang telah digunakan untuk dana kampanye, bisa kembali sehingga mereka tidak jatuh miskin atau sudah balik modal bahkan untung besar setelah mendapat jabatan dari Prabowo.
Kedua, jabatan menteri, wakil menteri, dan kepala badan, bisa dijadikan modal bagi mereka untuk terus berkarier dan bertahan dalam kekuasaan. Mereka yang nantinya menjadi pembantu presiden akan menggunakan berbagai cara untuk bisa bertahan minimal lima tahun, seperti dengan berkinerja baik dan berprestasi, menuruti kemauan presiden, atau menjadi penjilat. Semua dilakukan agar posisinya mereka tetap aman.