Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Munculnya Lawan Kotak Kosong Dalam Pilkada

17 Oktober 2024   08:20 Diperbarui: 18 Oktober 2024   14:16 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (KOMPAS.com)

Menurut catatan KPU pada April 2024, ada 37 provinsi serta 508 kabupaten dan kota yang akan menggelar pilkada serentak tahun 2024. Pemilu lokal serentak kali pertama di gelar di Indonesia yang pemungutan suaranya digelar pada 27 November, tentu sangat menarik untuk diikuti, disimak, dan dibahas. Bila dibandingkan dengan pemilu nasional, pilres, pileg, dan pemilihan anggota DPD; tentu dinamika yang terjadi tak sama.

Koalisi partai politik yang dibangun di tingkat nasional (Jakarta) saat pilpres bisa mempengaruhi, bisa pula tidak, dari koalisi partai yang dibangun di provinsi, kabupaten, dan kota. Bila koalisi tingkat nasional dibangun atas adanya kesamaan kepentingan, platform partai, dan ideologi, faktor tersebut bisa dan tidak dijadikan alasan yang sama untuk membentuk koalisi partai di daerah. Di setiap daerah ada dinamika tersendiri.

Setelah masa pendaftaran calon kepada daerah (cakada) dibuka oleh KPU pada 27 hingga 29 Agustus dan masa perpanjangan pendaftaran dari 2 hingga 4 September, ternyata dari 37 provinsi serta 508 kabupaten dan kota, 41 di antara daerah tersebut hanya ada satu cakada.

Dampak dari adanya cakada tunggal membuat pemilih di 41 daerah itu dihadapkan pada dua pilihan, yakni cakada yang sudah ditetapkan oleh KPU atau kotak kosong.  

Pilkada lawan kotak kosong tentu akan mempengaruhi kualitas kepala daerah yang terpilih. Tak hanya itu, bila kotak kosong menang, hal demikian akan memperpanjang 'kekosongan kekuasan' di daerah, juga akan menambah biaya mengelola pemerintahan.

Menurut penulis, pilkada serentak tahun ini tidak hanya diwarnai dengan adanya 41 daerah di mana rakyat bisa memilih kotak kosong namun juga adanya cakada jadi-jadian.

Mengapa muncul adanya kotak kosong di 41 daerah padahal aturan yang dibuat dalam UU Pilkada dengan mengakomodasi dua putusan MK terutama nomor 60/PUU-XXII/2024 terkait ambang batas parlemen, ada kelonggaran yang cukup luas bagi partai politik baik yang memiliki kursi di DPRD atau tidak untuk mengajukan cakada. Betapa longgarnya aturan mengajukan cakada saat ini, dari 20 persen suara sah di DPRD, menjadi 6,8 persen hingga 10 persen.

Ada beberapa penyebab munculnya lawan kotak kosong, di samping di beberapa daerah ada cakada jadi-jadian. Pertama, mendadaknya pembacaan Keputusan MK oleh para hakim MK di Gedung MK. Sebelum keputusan MK, sudah muncul koalisi partai, baik yang berbasis koalisi saat Pilpres 2024 maupun koalisi baru. Tingginya ambang batas untuk mengusulkan cakada membuat partai harus melakukan koalisi.

Akibat yang demikian membuat sosok-sosok yang diajukan dalam pilkada menjadi terbatas. Ambang batas yang tinggi ini membuat cakada yang muncul di banyak daerah, kisaran 2 saja.

Bila Keputusan MK itu dibacakan jauh-jauh hari tentu hal demikian akan digunakan partai untuk mengusung cakada-nya sendiri tanpa harus berkoalisi. PKS misalnya pasti akan  mengusung Anies Baswedan dalam Pilkada 2024 namun meski ia pemenang Pileg 2024 DPRD Jakarta namun suara yang dimiliki belum mencukupi dari syarat dalam UU Pilkada sebelum adanya Keputusan MK. Pun demikian partai-partai lainnya juga akan mengusung cakada pilihannya tanpa harus berkoalisi bila Keputusan MK dibacakan jauh-jauh hari.

Kedua, partai politik tak memanfaatkan Keputusan MK. Meski sudah ada Keputusan MK namun partai tak peduli dengan kelonggaran mengajukan cakada. Mereka lebih memilih sikap pragmatisme dalam berkoalisi. Partai berpikiran dengan bersikap pragmatisme lewat koalisi, mereka akan mendapat banyak hal seperti jatah kepala daerah, wakil kepala daerah, kekuasaan, dan iming-iming lainnya.

Sikap pragmatisme ini akan mengabaikan aspirasi rakyat. Banyak sosok di daerah yang memiliki elektabilitas yang tinggi dan mempunyai reputasi kinerja yang baik namun oleh partai hal demikian diabaikan sebab mereka lebih memilih sikap pragmatisme yang lebih menguntungkan. Sikap mengabaikan aspirasi rakyat inilah yang mengurangi bahkan mematikan jumlah cakada. Bila aspirasi rakyat di dengar, di Jakarta bisa jadi akan ada lebih  dari 3 cakada.

Ketiga, partai tersandera. Minimnya jumlah cakada bahkan hingga melawan kotak kosong juga tak lepas dari tersanderanya partai. Ketua umum partai yang dirasa memiliki kasus hukum lebih memilih mencari jalan aman sehingga siapa yang diusungnya dalam pilkada menyerahkannya kepada kekuatan yang mampu menyanderanya. Banyak partai politik membatalkan dukungannya kepada sosok-sosok pilihan karena ketua umumnya tersandera dengan kasus hukumnya.

Dari fenomena ini maka pilkada yang ada di daerah tersebut terkesan sudah diatur, baik jumlah maupun siapa nanti pemenangnya. Di sini memang ada kekuatan-kekuatan tersembunyi yang menciptakan lawan kotak kosong.

Keempat, masyarakat tak memanfaatkan jalur independen. Dalam pilkada sebenarnya masyarakat yang ingin mengajukan diri menjadi cakada bisa menggunakan jalur independen. Sayangnya hal demikian tidak dimanfaatkan oleh masyarakat. Masyarakat lebih memilih atau menunggu pinangan dari partai politik. Ini dilakukan bisa jadi lebih praktis.

Anies Baswedan memiliki elektabilitas yang tinggi namun sayangnya dia terlalu menggantungkan diri pada pinangan dan lamaran partai politik. Seharusnya dirinya juga menggunakan jalur ini. Basuki Tjahja Purnama alias Ahok, menjelang Pilkada Jakarta 2017, bisa saja ia menunggu pinangan partai politik terutama PDIP namun dirinya tak terlalu menggantungkan dukungan dari partai sehingga ia pun membentuk relawan dan jaringan untuk mengumpulkan dukungan lewat bukti KTP di lapak-lapak yang ada di mall-mall sehingga bila partai politik tak mengusungnya, maka ia bisa menggunakan jalur independen untuk maju dalam pilkada.

Bila banyak masyarakat memanfaatkan jalur ini maka selain menghilangkan lawan kotak kosong juga mengurangi ketergantungan pada partai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun