UU Pilkada tanpa mengakomodir Keputusan MK, merupakan bumerang bagi partai itu sendiri. Selama ini merekalah yang membuat aturan yang ternyata dampaknya menyulitkan dirinya sendiri. Aturan maju dalam pilkada minimal 20 persen di DPRD provinsi maupun kabupaten/kota jumlah kursi partai atau gabungan partai atau menggunakan gabungan perolehan suara partai sebanyak 25 persen, rupanya lebih banyak menyulitkan mereka dari pada memberikan keleluasaan.
Memang di beberapa provinsi, kabupaten, dan kota, ada satu partai yang bisa mengusung sendiri calonnya namun di sana lebih banyak partai diharuskan untuk berkoalisi. Bila partai itu sejalan atau memiliki kepentingan yang sama, proses berkoalisinya cepat namun bila partai itu tak sejalan dan lebih mengedepankan egonya, maka bukan hanya sulit bertemu namun mereka lebih memilih lebih baik 'hangus tiketntya' daripada berkoalisi namun tidak nyaman.
Sebenarnya PKS dan PDIP di Jakarta bisa mencalonkan Anies namun sepertinya kedua partai tidak ada titik temu sehingga PKS lebih memilih bergabung dengan KIM Plus dan PDIP lebih memilih jalan sendiri. Untuk bisa maju sendiri itulah maka PDIP ngotot agar keputusan MK diakomodasi dalam UU Pilkada, walau sebenarnya PDIP juga salah satu desain dari UU Pilkada itu.
Setelah gerakan aksi massa yang mampu membatalkan revisi UU Pilkada, sekarang kita sadar bahwa yang membangun demokrasi adalah rakyat pro demokrasi. Partai politik sendiri saat ini hanya kerap berteriak memperjuangkan kepentingan rakyat namun sebatas jargon. Partai berpikir hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Calon-calon kepala daerah pun sekarang bukan dari rakyat namun pilihan partai dan pemungutan suara hanya sebatas untuk legitimasi kepentingan partai dan kartel kekuasaan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H