Masyarakat sekarang bisa jadi melihat ada keanehan dari para organisatoris sebab mereka memberi contoh yang tidak tepat kepada khalayak umum. Betapa tidak di saat mereka berkumpul untuk membahas masalah internal organisasi, mereka malah melakukan aksi arogansi, kekerasan di antara mereka sendiri, yakni adu jotos, baku hantam, berkelahi sesama rekan dengan berbagai alasan.
Setelah aksi saling lempar kursi saat Muspimnas PMII di Tulungagung, Jawa Timur, selanjutnya hal serupa terjadi di Munas HIPMI di Surakarta, Jawa Tengah. Tentu masyarakat bertanya-tanya mereka kan mahasiswa, mereka kan pengusaha, namun tingkahnya kok tidak mencerminkan dengan status yang melekat padanya. Masyarakat heran bahkan kecewa atas ulah mereka yang tidak pantas sebab para organisatoris atau bahasa kerennya para aktivitis itu merupakan kalangan orang-orang yang terdidik, mapan serta kaya karena pengusaha.
Meski kaum terdidik tidak harus menjadi sempurna namun setidaknya mereka bisa membedakan mana yang boleh dan mana yang tidak, mana yang sopan dan mana yang urakan.
Entah sejak kapan arogansi dan kekerasan dalam berorganisasi menjadi tradisi. Di Kongres HMI, hal demikian selalu terulang dan tidak pernah dijadikan pembelajaran agar tak terjadi lagi. Organisasi-organisasi (mahasiswa dan pemuda) yang lain pun melakukan hal yang sama.
Bila kita susuri dalam sejarah keorganisasian, terutama di kalangan pemuda, sebelumnya tidak ada cerita bentrokan, perkelahian, dan aksi-aksi arogansi dan anarkis dalam ruang-ruang sidang. Saat Kongres I Pemuda Tahun 1926 dan Kongres II Pemuda Tahun 1928 yang diikuti oleh berbagai himpunan atau kumpulan para pemuda dari beragam identitas kesukuan dan agama, tidak ada ulah yang demikian padahal apa yang dibahas adalah sesuatu yang sangat vital.
Dalam Kongres I dan Kongres II tidak ada kesalahpahaman, protes, teriakan, atau tuntutan mengenai penginapan, makan, minum, dan sarana sidang. Beda dengan organisasi mahasiswa sekarang, dalam acara seperti kongres, munas, muktamar, atau sidang-sidang dengan status di bawah kongres, kerap terdengar dari para peserta atau penggembira soal tuntutan makan, minum, dan fasilitas penginapan yang nyaman buat mereka. Acara belum mulai namun soal-soal perut sudah bisa membikin gaduh dan onar.
Banyak faktor mengapa keributan dalam acara seperti itu kerap terjadi. Sebagai organisasi yang memiliki banyak jaringan dan tersebar di berbagai daerah hingga jauh nun di sana hal demikian membuat psikologi dari para organisatoris kadarnya tidak sama. Ada organisatoris yang sudah biasa mengikuti acara-acara pertemuan, akses informasi dan komunikasi dengan berbagai pihak juga mudah didapat dan dilakukan. Hal demikian membuat psikologi organisatoris itu menjadi matang, tidak gugup dan gagap ketika berada dalam pertemuan besar.
Di sisi yang lain ada organisatoris yang minim mengikuti acara-acara pertemuan. Akses informasi dan komunikasi yang dilakukan juga sangat minim bahkan terbatas. Kondisi tersebut membuat psikologi organisatoris yang ada, tidak stabil. Saat mengikuti kongres, munas, mereka heran, kaget, dan gagap ketika melihat banyak orang berkumpul dan berkerumun apalagi di kota (besar) yang baru mereka datangi yang penuh dengan kemegahan. Dari kurang matangnya psikologis, membuat ia melakukan keanehan-keanehan dalam berperilaku yang intinya mencari perhatian, seperti melanggar aturan, membuat keonaran, serta meminta hak-hak yang sebenarnya bukan miliknya.
Organisasi saat ini lebih suka memiliki banyak anggota sehingga sangat terbuka untuk menerima orang-orang baru. Di satu sisi memang membuat organisasi itu besar dan memperbanyak jaringan namun di satu sisi yang lain akan menyimpan masalah yang serius bagi perjalanan organisasi. Keterbukaan organisasi kepada anggota baru membuat satu orang bisa terdaftar pada lima organisasi yang berbeda-beda. Ia bisa rangkap jabatan tanpa dipermasalahkan oleh organisasi yang ada. Contohnya begini, seorang alumni HMI selanjutnya bisa menjadi pengurus KAHMI, ICMI, NU atau Muhammadiyah, HIPMI, dan KADIN. Belum lagi kalau ia seorang wakil rakyat, pastinya juga disibukan dengan urusan partai politik. Ditambah lagi bila mau terlibat dengan organisasi alumni kampus.Â
Banyaknya ikut menjadi anggota atau pengurus organisasi di satu sisi membuat seseorang menjadi banyak teman, rekan, dan jaringan namun di sisi yang lain, ia menjadi tidak fokus bekerja di beberapa bahkan semua organisasi yang diikuti. Akibat yang demikian membuat sang organisatoris menjadi asal-asal menjalankan program kerjanya bahkan program-program kerja yang ada tidak dilaksanakan. Tentu ini merugikan organisasi-organisasi yang ada. Ketika hal demikian terjadi maka saat berada dalam rapat-rapat besar, ia tidak tahu apa yang mesti dilakukan dan apa yang bisa dipertanggungjawabkan. Kondisi yang demikian bisa menciptakan kerumunan orang yang tidak jelas sehingga bisa memicu keributan dan keonaran di tempat acara.
Memang tidak mudah bagi panitia acara untuk menyisir, menertibkan, dan mengatur orang-orang yang datang ke acara. Panitia akan berhadapan dengan ribuan bahkan puluhan ribuan orang dengan status dan kepentingan yang berbeda-beda. Ada utusan resmi, peninjau, penggembira, dan tim sukses. Bahkan jumlah penggembira lebih banyak daripada utusan resmi dan peninjau.