Meski pemilihan presiden (Pilpres) 2024 terbilang masih dua tahunan lagi, gemuruh suara untuk menuju ke sana sudah bising terdengar.
Partai politik dari secara diam-diam hingga terus terang sudah merancang koalisi untuk mengusung calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang hendak dipilih.
Mereka tak lelah dan bosan-bosannya gonta-ganti saling mendatangi untuk membangun koalisi. Setiap pertemuan selalu diwarnai puja dan puji serta diakhiri kesepakatan bersama walaupun bisa jadi hanya basa-basi atau pemanis pertemuan.
Tak hanya, itu aksi dan drama yang dibangun oleh para politisi. Citra baik dan perasaan seolah-olah dizalimi juga dinarasikan oleh mereka. Semua dilakukan untuk meraih empati, simpati, dan dukungan.
Lihat saja bagaimana saat Presiden VI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga merupakan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, saat Rapimnas Partai Demokrat, September 2022, mengatakan dirinya mendapat informasi bahwa Pemilu 2024 mendatang akan diatur hanya untuk dua pasangan capres dan cawapres.
Hal demikian disebut sebagai suatu langkah yang tidak jujur dan tidak adil. Ditambahkan langkah tersebut merupakan tindakan kebatilan.
Tidak hanya Partai Demokrat yang merasa hendak dijegal dalam pemilu yang akan datang. Partai Gerindra juga merasa demikian, Hanya karena masalah baliho, Gerindra merasa Ketua Umum Prabowo Subianto juga hendak dijegal dalam Pemilu 2024.
Dari drama di atas, ketika pemilu semakin mendekat maka akan banyak terjadi keanehan dan drama-drama yang lebih seru dan lucu. Aksi pantun berbalas akan lebih sering terdengar dalam hari-hari ini dan berikutnya. Kondisi yang demikian tercipta akibat dari rivalitas yang semakin sengit dari beragam kepentingan partai politik.
Lalu apa yang sebenarnya membuat Pilpres 2024 dituduh tidak adil dan tidak jujur, penuh jegal menjegal, sehingga ada kemungkinan hanya muncul dua pasangan capres dan cawapres?
Kalau kita telusuri faktor yang demikian sebenarnya terjadi ya karena akibat ulah mereka sendiri.