Konflik yang terjadi biasanya menyebabkan munculnya dualisme kepengurusan. Dua kubu itu saling gugat di pengadilan sehingga konsolidasi ke bawah diabaikan. Akibatnya keberadaan mereka mengecil sendiri. PPP misalnya sebenarnya adalah partai yang besar namun karena berlarut-larutnya konflik yang melanda mereka, membuat partai berlambang Kabah itu menyusut drastis.Â
Bila hal yang demikian juga terjadi di Partai Demokrat, di mana kementerian terkait bisa saja menggoreng-goreng atau menarik-ulur masalah yang ada, maka partai yang dibesarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu bisa mengalami nasib yang sama dengan PPP, dari partai besar menjadi partai yang kecil bahkan tak lolos PT.
Dalam konflik partai politik yang berpotensi memunculkan dualisme kepengurusan, salah satu pihak biasanya disarankan untuk membentuk partai politik baru. Seperti dalam konflik yang terjadi di Partai Demokrat, Moeldoko disarankan untuk membuat partai baru namun entah dipandang membuat partai politik prosesnya rumit dan perlu modal yang besar serta belum tentu lolos ke Senayan, mendingan menguasai partai politik yang sudah ada, yang sudah lolos ke Senayan, yang mempunyai potensi besar untuk dinaikan elektabilitasnya, serta sudah mapan keberadaannya. Tinggal sentuh sedikit sudah lebih matang, demikian mungkin pikirannya.
Dengan renungan di atas selama masih ada hasrat berkuasa dan satu-satunya jalan untuk menempuh itu harus lewat partai politik, maka konflik internal dan membentuk partai politik akan terus ada. Tinggal pilih yang mana, secara pintas atau melalui prosedur yang sudah ditetapkan oleh aturan.