Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Dingin Kepada Junta Militer, Ada Apa dengan ASEAN?

26 Februari 2021   08:21 Diperbarui: 5 Maret 2021   07:55 1158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang polisi (tengah) mengacungkan senapannya dalam bentrokan melawan massa yang ikut dalam demonstrasi menentang kudeta militer Myanmar di Naypyidaw, pada 9 Februari 2021. (STR via AFP/kompas.com)

Kondisi Myamnar selepas kudeta yang dilakukan oleh Junta Militer pada 1 Februari 2021, semakin memanas. Penolakan aksi yang dilakukan oleh Junta Militer terhadap pemerintahan sipil, ditolak dan didemo oleh rakyat Myanmar. 

Di berbagai kota, berbagai kalangan sipil dan anak muda turun ke jalan untuk meminta kepada Junta Militer mengembalikan kekuasaan kepada pemerintah yang sah dan membebaskan pemimpin Aung San Suu Kyi.

Sebagai kekuatan yang dominan dan selalu membayang-bayangi demokrasi di Myanmar sejak tahun 1962, tentu Junta Militer cuek terhadap apa yang dimaui rakyat pendukung pemerintahan sipil. 

Junta Militer akan terus bertahan terhadap apa yang mereka lakukan sebab mereka tidak mau kehilangan pengaruh dan kekuasaan.

Para jenderal berpikir, paling para demonstran tidak akan bertahan lama dalam menyampaikan tuntutannya. Junta Militer berpikir kehidupan akan kembali normal dan rakyat akan segera melupakan apa yang terjadi sebab di negeri yang pernah bernama Burma, Birma, itu yang namanya kudeta kerap terjadi. Selanjutnya kehidupan kembali seperti sedia kala.

Kudeta militer yang terjadi di Myanmar tidak hanya menimbulkan gejolak demokrasi di sana namun juga menimbulkan kepedulian negara-negara besar seperti Amerika, Inggris, Perancis, dan sekutu-sekutu negara tersebut. 

Mereka tak sekadar mengutuk terhadap apa yang dilakukan oleh Junta Militer namun Amerika Serikat memberi sanksi kepada pejabat Junta Militer yang memiliki akses-akses bisnis yang mereka kuasai dan kendalikan.

Dalam memboikot dan memberi sanksi kepada Myanmar, Amerika Serikat meski sebagai negara besar namun mereka mengaku tidak bisa sendiri. 

Negeri Paman Sam mengajak negara-negara lain seperti India, Jepang, dan bangsa-bangsa yang tergabung dalam ASEAN melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat. 

Dengan mengeroyok Junta Militer Myanmar, Amerika Serikat berharap kondisi demokrasi di negara itu kembali kepada pemerintahan sipil. 

Ajakan Amerika Serikat kepada negara yang terhimpun dalam ASEAN untuk memboikot Myanmar memang sangat tepat sebab negara ini adalah anggota ASEAN. Selain itu aliran-aliran uang dan kekayaan para jenderal dari Myanmar banyak yang tersimpan di Singapura.

Namun apa yang terjadi di Myanmar disikapi secara dingin oleh negara-negara yang berada di kawasan Asia Tenggara. Hanya Amerika Serikat yang getol dan sibuk dengan masalah Myanmar. 

Bahkan Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, sampai menggelar konferensi press terkait kudeta militer di sana. Sikap Amerika Serikat yang demikian bisa jadi karena perang pengaruh negaranya di Myanmar dengan China. 

Di Myanmar tidak hanya terjadi pergolakan antara militer dan sipil yang berkepanjangan namun juga rebutan pengaruh antara Amerika Serikat dan China.

Meski Myanmar sebagai negara yang 'tidak berpengaruh' di ASEAN, Asia, dan dunia, namun Amerika Serikat tidak mau negeri itu berada di bawah pengaruh China. 

Bila Myanmar jatuh ke China, bisa-bisa menurut Amerika Serikat, satu persatu negara di kawasan Asia Tenggara akan menjadi satelit atau 'koloni-koloni' China sehingga akses ekonomi dan pertahanan dikuasainya. Akibatnya Amerika Serikat akan kehilangan pengaruh di kawasan ini.

Dinginnya negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN terhadap kudeta militer di Myanmar bukan mereka tidak tahu apa yang terjadi di sana, yakni pengambilalihan kekuasaan secara paksa dan tidak demokratis.

Namun negara-negara di kawasan Asia Tenggara memiliki problem di dalam negeri yang sama dengan apa yang ada di Myanmar, yakni kekuasan yang tidak demokratis dan bisa menggunakan kekuatan militer dan polisi untuk menekan kekuatan-kekuatan sipil.

Kalau kita lihat peta demokrasi di kawasan Asia Tenggara, tidak ada negara yang 'seratus persen' bisa menjalankan demokrasi yang sesuai dengan persamaan hak dan kebebasan berpendapat. 

Thailand sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Myanmar, kondisi politik dan kekuasaan yang ada juga sama, yakni kekuatan militer bisa sewaktu-waktu mengambilalih kekuasaan yang sah (sipil) dengan cara kudeta.

Pemerintahan sipil di negeri Gajah Putih yang berjalan dengan baik dan diterima rakyat, bisa tiba-tiba diambilalih oleh militer dengan alasan yang mengada-ada, seperti korupsi. Militer di Thailand tidak mau kehilangan pengaruh dan akses kekuasaan seperti Junta Militer Myanmar. 

Ketika kekuatan sipil berkuasa dan diterima oleh rakyat, hal demikian mengkhawatirkan posisi militer yang bisa tersingkirkan dari panggung politik. Untuk itulah bila ada pemerintahan sipil yang kuat dan mapan, maka atas nama demokrasi dan keadaan darurat, militer melakukan kudeta.

Negara-negara seperti Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Indonesia pun juga mempunyai 'sikap-sikap' seperti yang dilakukan oleh Junta Militer Myanmar, yakni membungkam kekuatan sipil. 

Singapura negeri yang penduduknya terkenal dengan kedisiplinan, ketertiban, dan kebersihannya sehingga negeri itu terbilang sejahtera dan terdidik namun di sisi yang lain, masyarakat dilarang mengkritik pemerintah dan membuat kegaduhan dalam politik. 

Politik yang ada sudah diatur dan dibagi, tanpa adanya kritik kepada kekuasaan, sehingga stabilitas negara tercipta. 

Meski penduduk Singapura merasa tercukupi dengan kebutuhan ekonomi, kesejahteraan, dan pendidikan, namun mereka merasa ada yang kurang, yakni tak adanya kebebasan berpendapat.

Apa yang terjadi di Singapura juga terdapat di Malaysia. Bisa dikatakan Singapura dan Malaysia sebagai negeri yang makmur di kawasan Asia Tenggara, terbukti banyak pendatang dari negara lain mencari kerja di kedua negara tersebut, namun di negeri itu, tak ada kebebasan menyampaikan pendapat. 

Di Malaysia, rakyat tidak boleh gaduh, namun di elit kekuasaan, mereka boleh bergaduh, terbukti pergantian perdana menteri di sana terjadi secara tidak mulus.

Indonesia sebenarnya negara yang paling maju di antara negara di kawasan Asia Tenggara. Selepas turunnya Presiden Soeharto, kran demokrasi dibuka lebar-lebar sehingga masyarakat bebas menyampaikan pendapatnya.

Dulu lingkaran kekuasaan dimonopoli oleh segelintir kelompok namun sekarang siapa saja bisa menjadi bupati, walikota, gubernur, bahkan presiden.

Selepas tahun 1998 pun berbagai media bebas menyampaikan informasi, berita, dan opininya sehingga rakyat betul-betul menikmati. 

Namun dalam perjalanan waktu, terutama saat-saat ini, kebebasan yang mulai mengalir pada tahun 1998 mulai tersumbat. Kelompok-kelompok kritis kepada pemerintah pun ditangkapi dengan tuduhan yang bermacam-macam.

Tersumbatnya atau menurunnya saluran-salurannya demokrasi bukan subjektifitas dari kalangan sipil yang mengidamkan adanya ruang keterbukaan untuk bersuara namun ada fakta yang ditunjukan oleh lembaga-lembaga asing, seperti The Economist Intelligence Unit (EIU) dan Transparency International. 

Dari laporan EIU 2021, Indonesia mendapat skor 6,48 dan masuk atau digolongkan sebagai negara dengan kategori demokrasi yang belum sempurna (flawed democracy). 

Memang tidak ada negara yang sempurna dalam demokrasi namun skor dan peringkat Indonesia ini menurun dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. 

Indeks demokrasi yang menurun mengakibatkan penanganan korupsi terganggu sehingga indeks penanganan korupsi juga mengalami hal yang sama.

Dari paparan di atas, negara di kawasan Asia Tenggara mayoritas masuk dalam negara dengan kategori belum sempurna (flawed democracy) bahkan ada yang masuk sebagai negara dengan kategori rezim hibrida (hybrid regimes) hingga rezim otoritarian (authoritarian regimes). 

Diamnya negara-negara di kawasan Asia Tenggara terhadap kudeta di Myanmar, bisa jadi semua merasakan bahwa kita pun memiliki sikap yang sama dengan Junta Militer Myanmar. Rupanya semua mengaca diri sehingga bersikap dingin terhadap apa yang terjadi di Myanmar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun