Lima Februari 2021, kemarin, usia Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) genap 74 tahun. Kalau dilihat dari segi umur manusia, 74 tahun merupakan usia yang terbilang sudah tua. Dalam perjalanan waktu, organisasi yang didirikan oleh Lafran Panen di Yogyakarta, pada 5 Februari 1947, sudah mengalami berbagai macam tantangan. Tantangan-tantangan yang ada membuat organisasi ini semakin kuat, popular, dan mampu beradaptasi dengan suasana politik dari masa ke masa.
Sebagai organisasi yang bisa dikatakan terbesar dan mempunyai banyak alumni yang tersebar dalam berbagai bidang, membuat kebanggaan tersendiri bagi anggota HMI dan alumninya. Tak heran bila saat dies natalis atau ulang tahun HMI, para anggota dan alumni HMI menuangkan rasa kebanggaan tersebut dalam berbagai acara dan kegiatan, seperti diskusi, syukuran, dan yang paling ngetrend adalah menampilkan diri dalam media sosial lewat official logo milad HMI ke-74. Dalam official logo tersebut tertuang kata-kata seperti Saya Bangga Jadi Kader HMI dan Harapan Masyarakat Indonesia.
Kader HMI pantas dan wajar bangga terhadap organisasinya sebab alumni dari organisasi yang didirikan yang salah satu tujuannya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia itu, banyak yang sukses dalam berbagai bidang politik, akademisi, dan cendekiawan. Puncak tertinggi dari kader HMI dalam dunia politik adalah menjadi Wakil Presiden (Jusuf Kalla).
Prestasi-prestasi yang demikian itulah yang kerap didengung-dengungkan oleh kader HMI bahkan alumninya ketika ngobrol dengan orang lain atau mahasiswa baru. Prestasi-prestasi tersebut merupakan nilai jual kepada orang lain, mahasiswa baru, untuk menggaet mereka menjadi anggota HMI. Setiap pengurus HMI, baik di tingkat komisariat, koordinator komisariat, maupun cabang, secara alamiah atau karena tugas sebagai pengurus, melakukan perekrutan anggota. Prestasi-prestasi abang-abang atau kanda-kandanya itulah yang kerap disodorkan kepada mahasiswa yang belum menjadi anggota.
Ketika disodori prestasi-prestasi abang-abangnya, mahasiswa baru atau yang belum menjadi anggota HMI, ada yang paham dan tahu, namun ada pula yang tidak tahu. Sehingga respon mahasiswa baru tersebut ada yang bersegera ikut menjadi anggota HMI lewat perkaderan; namun ada pula yang masih perlu terus didekati, serta ada pula yang tidak peduli mengenai HMI, hebat atau tidak, malas ikut organisasi.
Namun benarkah organisasi HMI mampu menyulap seseorang bisa menjadi hebat? Jawabannya bisa iya, bisa pula belum tentu. Sebagai organisasi, HMI layaknya seperti organisasi lainnya. Di mana di sana ada proses perkaderan dan aktivitas keorganisasian lainnya. Di organisasi mahasiswa lainnya, hal-hal yang demikian juga ada.
Sebagai organisasi mahasiswa pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945, HMI bisa dikatakan tertua di antara kelompok Cipayung. Sebagai organisasi yang berbasis mahasiswa Islam, HMI pun juga demikian, pertama dan tertua. Sebagai organisasi yang start-nya lebih awal, membuat sejak kali pertama hingga tahun-tahun selanjutnya, banyak mahasiswa yang terekrut menjadi anggota dan pengurus HMI. Melimpahnya jumlah anggota HMI inilah yang membuat kompetisi di antara anggota menjadi ketat. Di sinilah nilai positifnya sehingga daya tahan dan daya pikir kader menjadi terseleksi. Mereka yang mampu bertahan di organisasi, jenjangnya akan terus naik, dari pengurus komisariat, koordinator komisariat, hingga cabang. Bila sudah menjadi pengurus cabang, anak-anak komisariat akan memandangnya sebagai senior dan dihormati apalagi kelak bisa sampai pengurus besar (PB).
Namun yang membuat kader HMI menjadi hebat bukan hanya tingkat kompetisi di struktur organisasi yang keras dan padat namun juga karena IQ atau kecerdasan anggota HMI itu sendiri. HMI harus bersyukur yang masuk organisasi ini tidak hanya melimpah dari segi kuantitas namun juga melimpah pada segi kualitas. Di awal-awal HMI ini berdiri hingga tahun 1980-an, HMI diaktivi oleh mahasiswa-mahasiswa dari perguruan tinggi ternama. Sehingga pada saat itu yang masuk HMI adalah mahasiswa-mahasiswa yang pintar.
Masuknya orang-orang pintar ditambah proses perkaderan yang kompetitif membuat lulusan HMI menjadi orang yang berprestasi di tengah masyarakat. Jadi ada dua unsur yang membuat kader HMI banyak yang menjadi orang hebat, yakni unsur internal yang berada dalam organisasi dan unsur eksternal yakni latar belakang pendidikan perguruan tinggi dari si kader. Jadi tidak hanya karena HMI seseorang menjadi hebat namun faktor pengaruh di mana anggota itu kuliah atau studi juga sangat mempengaruhi.
Cendekiawan Nurcholish Madjid atau yang akrab dipanggil Cak Nur hebat bukan karena digembleng di HMI saja namun pendidikan yang ia jalani di Pondok Pesantren Gontor, kemudian UIN Syarif Hidayatullah, serta di Chicago, Amerika Serikat; juga yang membuat dirinya menjadi hebat. Jadi HMI bukan satu-satunya unsur yang membuat orang menjadi hebat dan berprestasi. Abang-abang (alumni) yang menjadi politisi di DPR dan DPRD, mereka digembleng tidak hanya di HMI namun juga di perkaderan-perkaderan partai. Ilmu perkaderan di partai itulah yang sekarang malah lebih banyak digunakan dalam kehidupan.
Hal demikian perlu ditekankan agar kader HMI dan alumninya tidak memandang HMI sebagai satu-satunya proses kehidupan. Banyak hal yang perlu dilakukan oleh kader di luar HMI agar hidup menjadi lebih sempurna dan berarti. Pentingnya kehidupan di luar HMI inilah yang membuat kader tersebar di mana-mana. Beraktivitas di luar organisasi sangat penting agar kader dan alumni tercerahkan sehingga tidak menyebut HMI sebagai organisasi yang paling hebat. Ini penting agar tidak terjadi kesombongan dan arogansi yang dengan mengatasnamakan HMI.
Selamat ulang tahun HMI ke-74.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H