Trump tahu bahwa menggunakan institusi dan lembaga itu bertentangan dengan konstitusi dan undang-undang sehingga ia tidak mau melakukan hal yang demikian.
Hal demikian berbeda dengan negara-negara dunia ketiga di mana demokrasinya masih belajar. Petahana yang ada, meski ada aturan melarang menggunakan pihak-pihak yang seharusnya netral seperti polisi, tentara, lembaga peradilan, aparat dan abdi pemerintah, namun aturan itu tetap ditabrak dan dilanggar oleh Petahana.Â
Akibat yang demikian, petahana bisa kalah seperti Trump namun karena menggunakan aparat dan lembaga yang seharusnya netral menjadi tim sukses, maka kekalahan yang seharusnya terjadi menjadi kemenangan. Kemenangan yang ada dibangun dengan kecurangan di sana-sini.
Dari Pemilu Presiden Amerika, kita bisa belajar bahwa Pemilu boleh dinamis, dibilang panas juga bisa, namun yang paling penting di sana adalah pentingnya perubahan. Perubahan inilah yang dilakukan oleh masyarakat cerdas.Â
Masyarakat yang tidak cerdas adalah bila tahu dan merasakan Presiden yang ada tidak becus, umbar janji, suka bohong namun karena dikasih sembako, money politic, mereka akhirnya tidak mau diajak melakukan perubahan. Mereka memilih yang pragmatis namun dampak yang dirasakan selanjutnya, masyarakat akan tetap menderita lahir dan batin.
Kemudian adalah, para petahana dan Presiden Amerika tetap memegang aturan yang ada. Sebagai eksekutif mereka bisa memilih dan mengganti menteri dan kepala-kepala di jaring-jaring kekuasaannya.Â
Presiden bisa mengangkat tim sukses, tim hore, bahkan tim bully, menjadi pembantunya. Namun ketika mereka menjalankan kekuasaannya, Pesiden tetap memegang dan patuh pada aturan yang ada, tidak tabrak sana-sini yang melecehkan konstitusi dan undang-undang.
Jadi meski Pemilu Presiden Amerika panas bahkan orang-orang yang bukan bangsa Amerika saja ikut-ikutan panas namun proses yang ada tetap dalam bingkai konstitusi, undang-undang, dan aturan Pemilu di Amerika.