Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Tidak Mudah Membuat Partai Baru

13 Oktober 2020   08:05 Diperbarui: 14 Oktober 2020   10:25 956
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi bendera partai-partai politik yang dipasang di pemukiman. (Foto: KOMPAS)

Sudah menjadi kebiasaan politisi di Indonesia bila terjadi konflik di internal partai atau masa kepengurusannya habis, bisa pula karena kalah dalam pemilihan Ketua Umum saat muktamar, kongres, musyawarah nasional.

Lalu. mereka langsung mendirikan partai politik (baru) dengan ideologi, misi, dan visi, tak beda. Calon pemilihnya pun juga tak jauh dari partai yang sudah ada.

Partai-partai yang ada saat ini, banyak yang lahir dari drama yang demikian adanya. Mereka lahir dari partai-partai yang sudah ada, bukan murni orang yang sama sekali tidak berpartai. 

Mereka tetap ingin berpartai sebab partai adalah jalan untuk merebut kekuasaan. Bila tidak sampai ke sana, minimal mereka menikmati atau mendapat bagian dari kekuasaan yang ada. 

Sehingga selepas mereka berkonflik di partai atau kalah dalam pemilihan Ketua Umum, mereka langsung bergegas membuat kendaraan yang baru untuk merebut atau menikmati kekuasaan.

Berita terakhir yang beredar adalah akan hadir Partai Ummat, sebelumnya juga telah hadir Partai Gelora. Kedua partai itu akan dan hadir dari drama seperti paparan di atas. Selepas Kongres V PAN di Kendari, Sulawesi Tenggara, Februari 2020, tak hanya calon yang diusung Amien Rais, kalah.

Amien Rais yang juga menjadi ikon dan pendiri PAN juga mengalami nasib yang sama. Dirinya lebih baik mengundurkan diri dari PAN daripada keberadaannya tidak dihargai, didengar, dan diiyakan pendapatnya.

Bila Amien Rais benar-benar serius membentuk Partai Ummat, masyarakat dan yang berminat menjadi pengurus tinggal menunggu deklarasinya.

Namun tidak disadari atau mereka sudah menyadari bahwa mendirikan partai itu tidak gampang. Tidak hanya perlu kerja keras namun juga perlu dana yang melimpah, tak terbatas, bila ingin menjadi partai yang besar. 

Kalau kita amati beberapa partai yang ada di depan mata kita, Ketua Umum yang ada adalah konglomerat. Konglomerat yang bergerak di berbagai bidang, dari sektor keuangan, pertambangan, sampai media massa.

Mereka para pengusaha atau konglomerat mempunyai dana yang besar sehingga mampu membiayai pembentukan jaring-jaring dan struktur partai mulai dari tingkat kabupaten, provinsi, dan pusat. Bahkan 'membajak' politisi yang popular dan vokal dari partai yang sudah ada.

Indonesia adalah negeri yang sangat luas. Negeri ini terbagi dalam ratusan kabupaten dan kota serta puluhan provinsi. Untuk membentuk kepengurusan pada tingkatan-tingkatan itu, harus ada modal awal yang nilainya bisa mencapai ratusan miliar. 

Dana itu diperuntukkan untuk sekretariatan dan langkah-langkah awal operasional. Dana akan membengkak bila mereka harus melakukan pelatihan-pelatihan kader yang dilakukan secara terpusat yang diikuti oleh ribuan orang. Mereka datang ke Jakarta, harus ditanggung biaya akomodasi dan transportasi.

Nah, bila mendirikan partai hanya dibangun atas idealisme, tentu hal yang demikian tidak akan membuat maksimal atas usaha yang dilakukan.

Bisa saja mereka terbangun kepengurusannya namun langkah dan eksistensinya selanjutnya tidak banyak. Partai baru biasanya mereka gencar melakukan 'promosi' dan pengenalan diri. 

Nah bila partai itu mempunyai dana yang melimpah, cara ini akan dilakukan. Mereka tak jeda-jeda membangun citra di berbagai media massa. Sementara partai baru yang duitnya cekak, kebingungan untuk mengembangkan diri.

Tantangan yang ada tidak hanya berhenti pada masalah pendanaan. Meski sudah terdaftar sebagai partai yang berhak mengikuti Pemilu, terdaftar di kementerian terkait dan KPU, mereka akan mendapat tantangan berupa parliamentary threshold atau ambang batas agar bisa lolos ke Parlement (DPR). 

Dari Pemilu ke Pemilu, ambang batas ini naik atau dinaikkan oleh partai-partai yang telah lolos di Parlement. Pada Pemilu 2024, partai-patai besar mengusulkan ambang batas dinaikan antara 4 persen hingga 7 persen.

Ambang batas yang demikian, dari Pemilu ke Pemilu telah mematikan partai-partai politik yang sebelumnya telah duduk di Parlement. 

Partai Bulang Bintang (PBB) dan Partai Hanura, adalah contoh dari partai yang sebetulnya banyak kadernya lolos ke Parlement saat Pemilu namun ambang batas secara nasional tidak memenuhi, akhirnya mereka tidak bisa duduk di Parlement. Mereka gagal menjadi salah satu kekuatan politik di tingkat nasional.

Bila partai-partai yang sudah mapan dalam jaringan dan mempunyai pemilih saja tidak lolos ambang batas, lalu bagaimana dengan partai baru? Para pendiri partai baru pastinya mereka berkoar-koar bahwa partaianya akan memberi harapan dan arah baru bagi Indonesia namun masyarakat Indonesia terbilang ada yang cerdas dan pragmatis.

Bagi yang cerdas, mereka sudah bisa memilah mana partai dan politisi yang benar-benar tulus dan mana partai dan politisi yang kerap ingkar janji. Jadi bila ada partai politik baik yang baru atau lama berdendang soal harapan dan arah baru bagi Indonesia, kelompok masyarakat yang cerdas ini tidak peduli.

Sedang bagi masyarakat yang pragmatis, mereka tidak memandang partai baru atau lama. Paling penting bagi mereka adalah siapa yang bisa memberi kebutuhan pokok dalam keseharian, itulah yang mereka coblos.

Paparan di atas merupakan tantangan yang dihadapi tidak hanya oleh partai baru namun juga partai lama. Partai lama juga masih menghadapi pembiayaan serta ancaman semakin tingginya ambang batas. Nah bagi para pendiri partai baru, sejauh mana tantangan yang bisa mereka lalui. 

Apakah targetnya sebatas ikut Pemilu atau sampai tahapan lolos ambang batas? Jadi tidak mudah membuat partai baru bila targetnya sampai lolos ambang batas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun