Masa depan bangsa Palestina sepertinya dari waktu ke waktu semakin mengkhawatirkan. Perjuangan dari bangsa-bangsa di dunia, terutama bangsa Arab, sepertinya belum membuahkan hasil yang maksimal.Â
Sekarang yang terjadi dari waktu ke waktu malah semakin menguatkan negara Israel di mata dunia internasional bahkan di kalangan bangsa Arab sendiri.
Satu persatu, bangsa Arab mengakui dan melakukan normalisasi dengan Israel. Setelah Mesir, Yordania, selanjutnya Uni Emirat Arab (UEA) melakukan hubungan secara resmi. Bisa jadi hal demikian akan disusul oleh negara-negara Arab lainnya. Secara diam-diam, rahasia, beberapa negara Arab melakukan kontak dengan Israel.Â
Mereka melakukan hubungan resmi, tinggal menunggu waktu dan situasi pada masing-masing negara. Padahal dulu bangsa Arab bersatu ketika Israel menganeksasi Palestina.
Apa yang menyebabkan tidak kompak atau tidak satunya hati bangsa Arab dalam membebaskan Palestina? Berikut ada beberapa hal yang menyebabkan pudarnya persatuan bangsa Arab dalam upaya membebaskan Palestina dari cengkraman Israel.Â
Pertama, ketidakberdayaan bangsa Arab menghadapi tekanan Amerika Serikat dan Israel. Ketidakberdayaan bangsa Arab menghadapi tekanan kedua negara itu dalam banyak hal.Â
Kekalahan bangsa Arab dalam perang dengan Israel pada masa lalu disebabkan persenjataan militer Israel yang didukung penuh oleh Amerika Serikat dan negara Barat tidak mampu ditandingi oleh bangsa Arab sehingga meski Israel dikeroyok oleh banyak negara Arab di bawah pimpinan Mesir namun Israel akhirnya mampu mempertahankan tanah jajahanya, Palestina.
Kondisi yang demikian, kuatnya persenjataan yang dimiliki oleh Israel yang masih terbilang hingga saat ini membuat bangsa Arab gentar bila melakukan perang secara terbuka dengan Israel seperti dalam Perang Arab 1948, 1949, dan 1967. Ketidakmampuan melawan Israel lewat peperangan inilah yang membuat pembebasan bangsa Palestina semakin sulit terwujud.
Semakin tidak berdayanya bangsa Arab dalam upaya membebaskan Palestina tidak hanya di medan perang. Dalam dunia internasional, bangsa Arab juga semakin tunduk di bawah tekanan Amerika Serikat.Â
Selama ini bangsa Arab lebih banyak mengiyakan atau setuju dengan keinginan Amerika Serikat dalam tata kelola hubungan Israel dan bangsa Arab. Banyak faktor yang dimainkan oleh Amerika Serikat sehingga bangsa Arab seperti keledai, nurut apa yang dimaui oleh mereka. Faktor ekonomi, intelejen, alutsista, kerap digunakan Amerika Serikat untuk menekan bangsa Arab.
Kedua, gelombang demokratisasi di kalangan bangsa Arab membuat wajah kawasan itu berubah. Ketika demokratisasi terjadi, sekarang pemimpin-pemimpin bangsa Arab lebih memikirkan diri sendiri dibanding memperjuangkan Palestina.Â
Demokratisasi yang identik dengan meraih kekuasaan pemerintahan membuat elit-elit politik bangsa Arab lebih sibuk memikirkan partai politik dan Pemilu. Sehingga mereka lebih disibukan dengan menggalang dukungan, kampanye, dan mengumbar janji.Â
Akhirnya mereka lebih sibuk urusan dalam negeri. Akibatnya masalah Palestina menjadi sesuatu hal yang kurang diseriusi bahkan memperjuangkan Palestina dinomerduakan ketika elit-elit bangsa Arab bertarung keras dalam merebut kekuasaan dalam Pemilu di negeri masing-masing. Slogan memperjuangkan Palestina hanya menjadi janji kampanye para elit politik para pemimpin bangsa Arab. Â
Ketiga, terjadinya rivalitas di antara bangsa Arab sendiri. Rivalitas di antara bangsa Arab, muncul kali pertama ketika Presiden Iraq, Sadam Husein menginvasi Kuwait pada tahun 1990.Â
Invasi yang demikian membuat dendam di antara mereka. Amerika Serikat yang membebaskan Kuwait tidak sendiri. Selain disokong oleh sekutunya, NATO, juga didukung oleh bangsa Arab sendiri, seperti Arab Saudi.
Perseteruan internal bangsa Arab, tidak hanya terjadi pada masa itu. Sampai saat di antara mereka juga kerap mengalami perselisihan. Perselisihan bisa terjadi karena dilandasi kepentingan ekonomi, politik, dan berebut pengaruh di kawasan Timur Tengah. Seperti pernah Qatar diboikot oleh Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, dan Mesir. Masalahnya karena Qatar berhubungan dengan Iran dan Turki.
Ketika bangsa Arab disibukan dengan masalah rivalitas di antara mereka, pastinya fokus untuk memikirkan Palestina semakin berkurang.
Keempat, perselisihan di kawasan Timur Tengah dari waktu ke waktu semakin melebar. Tidak hanya antara bangsa Arab dengan Israel namun juga antara bangsa Arab dengan Iran bahkan di antara mazhab di kalangan bangsa Arab. Iran saat ini dianggap bukan sahabat oleh bangsa Arab selain identitasnya di luar mereka juga karena mayoritas negeri itu penganut syiah.Â
Kata kunci syiah inilah yang selama ini mempersulitkan hubungan antara bangsa Arab dengan Iran. Meski Iran dan bangsa Arab menolak berdirinya negara Israel di tanah Palestina namun mereka tidak pernah bersatu bahkan lebih sering berkonflik dan saling ancam dengan secara diam-diam melibatkan Amerika Serikat dan Israel. Hal demikian pastinya menguntungkan Amerika Serikat dan Israel.
Tidak hanya perbedaan antara Sunni dan Syiah yang menyebabkan kawasan Timur Tengah penuh ketegangan. Perbedaan mazhab dalam beragama pun juga bisa menjadi pemicu peperangan dan perpecahan di kalangan bangsa Arab sendiri, seperti yang terjadi di Suriah.
Ketika semakin banyak musuh dan perbedaan kepentingan, hal demikian membuat konsentrasi bangsa Arab semakin terpecah-pecah. Kemerdekaan Palestina yang awalnya menyatukan banga Arab menjadi tidak difokuskan atau nomer satukan. Sekarang mereka lebih memprioritaskan urusan dalam negeri dan kepentingan negara masing-masing.
Bila hal demikian yang terbangun maka masa depan Palestina akan semakin suram. Kelak bisa jadi bangsa Palestina akan berjuang sendiri bila bangsa Arab tidak satu hati lagi pada Palestina.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H