Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Memindahkan "Kepadatan" Ibu Kota

13 Mei 2019   08:56 Diperbarui: 14 Mei 2019   14:19 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ibu Kota Jakarta. (Thinkstock)

Dirasa Jakarta memiliki banyak beban dalam berbagai bidang, membuat adanya keinginan untuk memindahkan ibu kota Indonesia ke daerah lain. Wacana pemindahan ibu kota sebenarnya sudah pernah dikemukakan sejak Presiden Soekarno dengan pilihan Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, sebagai ibu kota menggantikan Jakarta.

Rencana perpindahan ibu kota dari masa Soekarno, Soeharto, dan presiden selanjutnya belum terealisasi sebab beban Jakarta ketika itu tidak sedemikian parahnya seperti yang saat ini kita alami. 

Dulu kemacetan ada namun tidak separah saat ini. Dulu banjir pasti ada namun dampaknya tidak seperti akhir-akhir ini. Kondisi yang masih bisa diatasi itulah yang membuat rencana pemindahan ibu kota mandeg.

Kini pemindahan ibu kota mulai digeliatkan kembali dengan alasan Jakarta kelebihan beban. Wacana yang demikian menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Dalam situasi selepas Pemilu di mana semua masalah ditanggapi secara politis maka rencana pemindahan ibu kota penuh dengan bumbu politik. Rencana itu ada yang mendukung, ada pula yang menolak. Semua argumen baik yang pro atau kontra dibumbui rasa emosi dan politis.

Terlepas dari masalah politis, bila memindahkan ibu kota harus benar-benar dipikirkan secara matang dan jangan grusa-grusu. Memindahkan ibu kota bukan sekadar memindahkan rumah dan atau kantor. 

Banyak aspek yang perlu dipertimbangkan dalam masalah ini. Kita bisa, bisa pula tidak, membandingkan pemindahan ibu kota Indonesia dengan negara lain secara mentah-mentah sebab faktor ekonomi, kependudukan, dan sosiologi masyarakat yang tak sama.

Dalam kamus bahasa Indonesia, ibu kota diartikan sebagai tempat kedudukan pusat pemerintahan suatu negara, tempat dihimpun unsur administratif, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif; kota yang menjadi pusat pemerintahan. Dengan demikian di ibu kota tempat beraktivitasnya presiden, wakil rakyat (anggota MPR/DPR/DPD), serta ketua lembaga negara yang terkait hukum.

Sebagai pusat pemerintahan, di wilayah ini presiden memiliki para pembantu yang tersebar dalam berbagai bidang. Dalam bidang-bidang tersebut, presiden memiliki menteri dan pimpinan lembaga yang setara. 

Di bawah menteri ada ribuan pegawai yang mendukung kinerja mereka. Dengan demikian ada jutaan pegawai yang mendukung kinerja presiden. Hal demikian juga terjadi pada pendukung kinerja wakil rakyat dan pimpinan lembaga yudikatif.

Bila memindahkan ibu kota, tentu tempat yang baru harus dibangun segala infrastruktur pendukung, mulai dari kantor presiden, wakil presiden, dan kantor pembantu presiden serta fasilitas bagi para pegawai. Dibangun tak hanya kantor dan perumahan bagi mereka namun juga infrastruktur pendukung seperti jalan, bandara, pelabuhan, dan sarana lain yang memperlancar pekerjaan dan aktivitas keseharian.

Memindahkan ibu kota bisa dilakukan dalam waktu yang singkat bila hanya ditinjau dari segi fisik, yakni pembangunan kantor pemerintahan, legislatif, dan yudikatif. Namun memindahkan ibu kota pastinya tidak hanya membangun segi fisik. 

Migrasi jutaan tenaga administrasi presiden, legislatif, dan yudikatif pasti akan mengikuti ke mana ibu kota berpindah. Nah di sinilah masalah itu akan muncul. Bila suatu daerah yang dipilih awalnya adalah daerah yang kosong, lengang, dan hijau, begitu mereka kedatangan jutaan penduduk, masalah baru lamban laun akan muncul.

Memindahkan ibu kota tidak hanya menimbulkan masalah dalam hal kependudukan namun juga akan membuat ibu kota baru berwajah ibu kota sebelumnya, yakni kemacetan, polusi, banjir, dan masalah kriminal. Kepindahan ibu kota pastinya akan diboncengi oleh pelaku dunia usaha dan jasa. 

Dunia usaha dan jasa melihat ada peluang baru di ibu kota pindahan sebab di sana berjibun penduduk yang membutuhkan layanan kehidupan. Dengan demikian, kepindahan ibu kota akan dibarengi dengan kepindahan mall, tempat hiburan, hotel, apartemen, dan lain sebagainya. 

Bila semua mengumpul kembali pada tempat yang baru maka keinginan untuk membebaskan ibu kota dari kemacetan, polusi, dan ancaman banjir tidak akan tercapai.

Bila kita menyimak pemindahan ibu kota-ibu kota di negara lain seperti Rusia, Australia, Inggris, mereka memindahkan ibu kota pada tahun 1712, 1927, dan 1066. Pada masa itu tentu masalah yang dihadapi oleh mereka tidak serumit saat ini, misalnya jumlah penduduk belum padat sehingga tidak menjadi beban. 

Nah bila saat ini, memindahkan ibu kota dengan ragam masalah yang komplek, rumit, dan saling terkait, pastinya akan menimbulkan masalah baru. Tidak hanya di tempat yang lama namun juga di tempat yang anyar. 

Untuk mengurai kemacetan dan kepadatan penduduk yang disebut sebagai beban Jakarta, sebenarnya pemerintah pusat, pemerintah Jakarta, dan pemerintah daerah di sekitarnya terus mengimbangi masalah yang ada dengan terus melakukan pembangunan. Lihat saja bagaimana Bandar Udara Soekarno-Hatta, ada 3 terminal, Terminal I, Terminal II, dan Terminal III. 

Pastinya pembangunan terminal itu untuk lebih meningkatkan fasilitas pelayanan di tengah semakin massifnya geliat perekonomi dan migrasi warga. Bila ibu kota dipindah, pastinya aktivitas di Soekarno-Hatta menjadi berkurang, akibatnya terminal-terminal yang ada menjadi sepi sehingga berujung bangunan yang ada tidak dipakai. Bila demikian mengapa terminal-terminal baru dibangun dengan dana miliaran bila selanjutnya ditinggalkan.

Agar problem kepindahan ibu kota tidak menimbulkan masalah baru, perlu dilakukan langkah-langkah lebih efisen. Caranya? Memaksimalkan Kota Jakarta yang sudah dibangun semakin canggih, modern, dan tertib. Bila kita memindahkan ibu kota, kita bisa meniru langkah yang dilakukan oleh Malaysia. 

Malaysia tidak memindahkan Kuala Lumpur, dengan alasan padat dan macet ke Kuching, Sarawak, yang berada di posisi tengah negara itu namun cukup dipindah di kawasan Putrajaya. 

Cara Malaysia ini bisa jadi terinspirasi langkah India memindahkan ibu kota Delhi ke New Delhi. Di mana jarak antara pusat pemerintahan baru Malaysia ini dengan Kuala Lumpur seperti Jakarta-Bogor. Dengan sarana transportasi kereta, bus, dan moda angkutan yang lain, setiap saat orang bisa hilir mudik Kuala Lumpur-Putrajaya. 

Dengan cara memindahkan seperti ini, pemerintah di sana tidak perlu memindahkan pegawai pemerintahan ke tempat yang jauh yang memerlukan biaya ekonomi dan sosial yang tinggi.

Bila kita melakukan seperti Malaysia dan India dalam memindahkan ibu kota maka untuk menggeser ibu kota tak jauh dari Jakarta tak membutuhkan biaya sampai Rp466 Triliun. Menggeser ibu kota tak jauh dari Jakarta, sudah ada daya dukungnya. Infrastruktur jalan tol di Jakarta dan sekitar semakin panjang dan melingkar-lingkar, ada LRT, MRT, KRL, dan Transjakartadebotek. Di kawasan pinggiran Jakarta pun sudah banyak mall, hotel, apartemen, dan sarana tempat hiburan. 

Dengan fakta yang ada, memindahkan ibu kota di sekitar Jakarta lebih efisien, cepat, dan tak perlu membangun infrastruktur besar-besaran di daerah lain yang berbiaya tinggi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun