Salah satu buktinya, meski sudah berkorban waktu dan biaya namun hubungan itu tak menjamin pelaku akan melakukan hubungan yang sah dan halal.Â
Dari sinilah, pihak perempuan berada di pihak yang paling tidak diuntungkan sebab dalam masyarakat yang masih memegang nilai-nilai moral yang kuat, derajad perempuan menjadi turun di mata masyarakat dan laki-laki lain.
Sebab dalam agama dilarang maka hubungan antara dua orang yang melakukan tak ada perlindungan hukum sehingga hubungan mereka dianggap tak resmi, tak ada ikatan. Jadi meski berpacaran namun status mereka tetap saja single dan masih bebas memilih yang lain.Â
Di KTP sekarang ada kolom penganut aliran kepercayaan tetapi di KTP tidak ada kolom dengan status berpacaran, yang ada hanya kawin/belum kawin.
Sebab tak ada ikatan resmi, maka masing-masing pihak tidak punya hak mengatur, mengontrol, dan merasa memiliki. Apa yang dipaparkan ini selaras dengan istilah yang popular di tengah masyarakat kita yang mengatakan, 'sebelum janur melengkung itu masih milik umum'.Â
Artinya, sebelum ada resepsi pernikahan, dalam masyarakat Jawa dalam resepsi pernikahan biasanya ada hiasan-hiasan dari janur, maka itu masih milik umum. Baik laki-laki atau perempuan, sebelum resmi menikah siapapun berhak untuk mengambil atau mendapatkannya.
Untuk itulah bila yang berpacaran jangan terlalu lama agar pasangan yang ada tidak diincar oleh yang lain. Agar tidak berstatus umum atau terbuka maka cepat-cepatlah menikah. Dalam menikah, status hukumnya baru menjadi kuat dan terlindungi.Â
Bila sudah menikah maka hubungan kedua pasangan agar terjaga. Bukan lagi milik umum namun milik pribadi. Masyarakat pun akan ikut melindungi hubungan resmi dan sah.Â
Bila ada pihak ketiga yang ingin merebut salah satu pasangan yang ada, masyarakat akan mencap sebagai perusak hubungan rumah tangga orang lain. Bila pelakunya perempuan maka disebut sebagai Pelakor (perebut laki-laki orang). Berbeda dengan pacaran yang tidak mempunyai aturan hukum.
Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh Syahrini, menikah dengan Reino, dari segi hukum agama, negara, dan adat tidak masalah. Sebab pacaran, seperti paparan di atas, tidak memiliki aturan hukum. Bila ada istilah 'teman makan teman', itu hanya sekadar bahasa gaul di antara orang yang berpacaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H