Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bangsa yang Tidak Siap Berdemokrasi

15 Agustus 2022   11:57 Diperbarui: 15 Agustus 2022   12:10 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usia reformasi bangsa ini sejak digulirkan oleh mahasiswa pada tahun 1998, terbilang sudah 21 tahun. Usia yang cukup matang bagi seseorang namun bagi demokrasi, 21 tahun rupanya belum mampu membuat orang yang ada di dalamnya menjadi dewasa bahkan terbilang dalam masa waktu yang ada, wajah demokrasi kita masih ingusan, anak-anak. Sebab dalam katagori ingusan, anak-anak, maka polah tingkahnya ingin menang sendiri, suka merebut barang teman, dan menangis atau ngambek bila tidak dituruti kemauannya.

Menjelang Pemilu di tahun 2019, terutama Pemilu Presiden, ketidakdewasaan masyarakat dalam berdemokrasi sangat terlihat jelas di depan mata. Lihat saja bagaimana rencana calon Wakil Presiden Sandiaga Uno yang ingin datang ke Banjar Dinas Pagi, Desa Senganan, Panebel, Tabanan, Bali, ditolak oleh warga yang ada di sana. Mereka menolak dengan alasan sudah mempunyai pilihan dalam Pemilu Presiden, yakni pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amien.

Ditolak oleh masyarakat tentu menyakitkan namun dalam kesempatan tersebut Sandi lebih memilih mengiyakan kemauan para penolak dan membatalkan jadwal yang sebenarnya sudah disusun jauh-jauh hari. Tujuan Sandi membatalkan juga seperti yang dimaui mereka yakni menjaga kondusifitas masyarakat.

Sebagai peserta Pemilu, baik calon Presiden, calon wakil rakyat, mempunyai hak yang sama sebab ini negara hukum dan pastinya tak ada aturan yang tidak adil. Dari sinilah maka siapapun boleh datang dan berkampanye atau menawarkan program kerjanya di mana saja. Kalau calon Presiden dan Wakil Presiden, ia boleh datang ke seluruh penjuru nusantara. Bila ia calon wakil rakyat, ia dapat turun ke seluruh penjuru Dapil-nya.

Bila warga di satu daerah atau wilayah menolak kedatangan salah satu pihak ataupun semua pihak, pastinya ia menghalang-halangi seseorang untuk berkampanye dengan demikian mereka sudah pasti melanggar hukum dan bisa diadukan ke Bawaslu atau aparat hukum terkait. Bila terbukti maka bisa dipidana. Bila mereka menolak dengan alasan masyarakat di sana sudah mempunyai pilihan dan itu diungkap kepada public maka apa yang diumbarkan itu melanggar azas Pemilu yang Luber dan Jurdil.

Ungkapan bahwa warga di wilayahnya sudah mempunyai pilihan, itu juga salah satu bentuk intimidasi kepada warga yang lain sebab bisa jadi warga yang lain mempunyai pilihan yang tak sama. Dalam penghitungan suara di TPS, di sebuah desa, tak mungkin suara 100 persen mengarah pada satu pilihan, pasti ada satu, dua, tiga, suara memilih yang lain. Bisa saja suara itu 100 persen pada satu pilihan namun hal yang demikian menjadi tanda tanya dan mencurigakan.

Penolakan warga kepada peserta Pemilu, hal demikian menunjukan bahwa masyarakat kita tidak siap dalam berdemokrasi. Prinsip demokrasi adalah adanya kesetaraan, kebebasan, dan keadilan dalam berpolitik dan Pemilu bagi semua tanpa pandang bulu. Ketidaksiapan mereka berdemokrasi karena ketidakdewasaan pelaku. Mereka menganggap pihak yang lain tidak berhak diberi ruang dalam kampanye sehingga mereka melakukan berbagai macam cara dengan berbagai alasan. Ego seperti ini biasanya dibalut dengan agama, budaya, dan adat sehingga pihak lain menjadi was-was bila menghadapi kelompok seperti itu.

Mereka yang melakukan penolakan kepada pihak yang dianggap sebagai rival atau lawan, bisa karena pemahaman demokrasinya minim, setengah-setengah, sehingga hanya mengandalkan emosi. Hal demikian bertambah runyam atau parah ketika minimnya pemahaman prinsip demokrasi diprovokasi atau digerakan oleh elit politik.

Dua hal yang demikian, yakni rendahnya pemahaman masyarakat akan demokrasi dan provokasi dari kaum elit, sering muncul menjelang Pemilu sehingga berbagai penolakan, intimidasi, pelanggaran kampanye, serta yang sekarang ngetrend, berita hoax; menyerang kepada semua peserta Pemilu, baik itu Pemilu Presiden maupun Pemilu Legislatif. Setiap hari tindakan buruk itu muncul silih berganti. Akibatnya suasana politik yang terjadi penuh dengan kegaduhan, saling lapor dan tuduh. Ada pihak yang merasa paling benar, ada pula pihak yang dituduh selalu salah.

Ada yang menyebut proses menuju demokrasi yang ideal memerlukan waktu ratusan tahun. Selanjutnya banyak orang mencontohkan Amerika Serikat dan negara Eropa Barat sebagai bukti bahwa demokrasi yang berjalan di sana sudah ratusan tahun sehingga dianggap ideal. Namun ungkapan yang demikian rupanya goyah setelah Presiden Trump menang dan kelompok Brexit menggeliat di Inggris. Demokrasi mereka yang disebut paling ideal pun rupanya masih dibumbui dengan kebencian dan penolakan kepada pihak-pihak yang lain yang dirasa bukan dari kelompoknya.

Untuk mencapai demokrasi ideal kita tak perlu memakan waktu ratusan tahun dan mengaca pada Amerika Serikat dan Barat namun bisa dibangun mulai detik ini. Caranya adalah menjunjung hukum dan kesepakatan yang ada. Pastinya hukum dan kesepakatan yang adil dan setara bagi semua. Bila ini menjadi komitmen bersama maka demokrasi kita akan tegak hari ini juga, tak perlu ratusan tahun sebab Indonesia baru berumur 74 tahun sehingga terlalu lama kalau menunggu 100 tahun atau 200 tahun. Serta tak perlu mengaca lagi pada Amerika Serikat dan Barat karena demokrasi kita berjalan di atas ke-bhinneka-an masyarakat.

Bila kita pesimis pada paparan di atas dan lebih percaya menunggu waktu ratusan tahun dalam membentuk demokrasi ideal, menjadi pertanyaan, apakah ada jaminan setelah ratusan tahun demokrasi ideal tercapai? Tidak ada jaminan. Di usia yang sudah 74 tahun Indonesia merdeka saja, di negeri ini masih banyak orang yang haus akan kekuasaan yang menggunakan berbagai cara untuk meraihnya. Di usianya 74 tahun, harus kita akui semakin banyak orang pintar dan perekonomian terbilang semakin membaik namun sayangnya mereka masih tidak siap berdemokrasi. Seharusnya pendidikan dan kemapanan ekonomi berbanding lurus dengan idealnya demokrasi namun sepertinya hukum itu tak berlaku di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun