Di Indonesia, demokrasi tak sekadar hanya memilih. Dalam demokrasi yang berkembang di sini, suasana meriah juga ingin mereka nikmati. Kemeriahan dalam demokrasi di Indonesia adalah adanya keragaman pilihan. Bandingkan saat Pemilu Presiden yang menghadirkan banyak pasangan seperti dalam Pemilu Presiden 2004 dan 2009, suasana panas, kaku, dan mem-bully, ada namun tidak membuat kondisi di masyarakat sangat mengkhawatirkan seperti saat ini yang kita alami. Suasana yang demikian, karena kekuatan politik yang ada tidak mengumpul pada dua sisi namun berada pada banyak sisi. Banyaknya sisi kekuatan politik tidak hanya membuat distribusi kekuatan menyebar namun juga memberi ruang kepada masyarakat untuk lebih bisa memiliki banyak pilihan.
Bila dikatakan dengan dua calon pasangan membuat Pemilu Presiden lebih murah, mungkin kalau dihitung dengan nominal uang bisa saja seperti itu namun kalau dihitung dengan biaya sosial, pastinya biayanya sosialnya akan lebih tinggi bahkan sangat mengkhawatirkan bagi masa depan bangsa.
Bila kekuatan politik yang ada tetap mempertahankan aturan politik seperti saat ini, yakni president threshold dan parlement threshold yang tinggi, untuk president threshold 20 persen jumlah suara di DPR dan 25 persen suara sah nasional; dan parlement threshold sebesar 4 persen, maka demokrasi dan politik yang ada akan tetap seperti saat ini, yakni kaku, panas, dan jauh dari keriangan. Akibatnya 'pasangan ketiga' atau pasangan Dildo akan terus muncul. Nah bila kita ingin demokrasi menjadi sesuatu yang menyenangkan dan tidak menjadi guyonan atau dagelan ala Dildo maka aturan yang ada perlu direvisi untuk lebih mengakomodasi suara masyarakat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H