Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Koalisi Besar, Rumit dan Penuh Intrik

27 Agustus 2018   10:54 Diperbarui: 27 Agustus 2018   11:10 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rumitnya menentukan pasangan Capres dan Cawapres merupakan dampak dari seberapa banyak ia diusung oleh partai politik. Sebagaimana diketahui, Joko Widodo sebagai Capres dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2019, dirinya didukung oleh PDIP, Partai Golkar, PPP, PKB, Hanura, dan Nasdem. Belum lagi sokongan dari PSI dan Perindo. Bandingkan dengan Kubu Prabowo yang hanya didukung oleh PAN, PKS, Gerindra, dan Demokrat. Jadi bisa dibandingkan 6:4.

Banyaknya dukungan dari partai politik, di satu sisi menunjukan Kubu Joko Widodo dukung oleh mayoritas partai politik yang ada. Dukungan tersebut membuktikan secara realitas politik, Joko Widodo diterima oleh banyak partai politik. 

Banyaknya partai politik akan memudahkan kerja politik menjelang Pilpres untuk mendulang kemenangan. Partai politik, mulai dari tingkat pusat hingga tingkat desa, pastinya akan bergerak dan memobilisasi massa agar memilih Joko Widodo pada Pilpres 2019. Dengan demikian mesin politik kubu ini, bila bergerak secara serius dan sungguh-sungguh, maka ia akan menjadi kekuatan yang sangat luar biasa.

Namun sebelum dan sesudah Pilpres, banyaknya partai politik sebagai penyusun dukungan menimbulkan permasalahan tersendiri meski juga tidak ada jaminan sedikitnya partai politik pendukung membuat permasalahan yang ada nihil. Semakin besar koalisi semakin banyak intrik dan kepentingan.

Sebagaimana diketahui dalam penyusunan pasangan, Cawapres, di pihak kubu Joko Widodo banyak pilihan. Pastinya masing-masing partai politik akan mengajukan Cawapres, baik secara vulgar atau bisik-bisik. Dari 6 partai penyusun kekuatan, mereka mengajukan nama masing-masing sehingga di mata Joko Widodo ada 6 calon yang hendak dipilih.

Memilih 1 di antara 6 calon pastinya tidak mudah. Masing-masing partai politik pastinya akan ngeyel mengajukan calonnya agar diterima. Bagi partai yang kekuatannya kecil, Hanura dan Nasdem misalnya, pastinya mereka segera tahu diri bahwa calon yang diusulkan pasti memiliki daya tawar yang rendah. Lain halnya dengan PDIP, Golkar, PPP, dan PKB. Mungkin PDIP tak terlalu dipusingkan dengan masalah Cawapres sebab dirinya adalah pemilik posisi Capres. Lain halnya dengan Golkar, PPP, dan PKB.

Golkar sebagai kekuatan kedua setelah PDIP pastinya memiliki daya tawar yang tinggi. Selain sebagai kekuatan di Parlemen nomer dua setelah PDIP, partai berlambang pohon beringin ini memiliki jaringan yang luas. 

Sebagai partai yang pernah berkuasa selama 30 tahun, selama Orde Baru, Golkar memiliki infrastruktur dan struktur partai paling komplit dibanding partai lain. Pun demikian PKB, sebagai partai yang disebut memiliki basis massa kaum NU, PKB memiliki basis massa di wilayah yang paling stragis dan menentukan, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, dan Jogjakarta. Daerah-daerah itulah yang Selama ini mengantarkan PKB sebagai partai yang memiliki jumlah anggota di DPR yang melimpah. Kekuatan PKB akan lebih dahsyat bila NU mendukung secara penuh, seperti apa yang terjadi saat ini.

Masalah terjadi ketika tak ada yang mau mengalah dalam soal Cawapres yang membuat kesepakatan yang dilakukan sulit diputuskan. Ketika mengalami kebuntuan maka akhirnya hanya ada dua pilihan, dipilih dari salah satu partai politik atau dipilih sosok dari luar partai politik. 

Pilihan pertama, memilih salah satu dari partai politik pastinya akan 'merugikan' dari partai politik lainnya. Meski keputusan itu diterima namun di dalam hati di antara mereka akan timbul perasaan ketidakadilan. Sebagai partai yang merasa besar dalam koalisi tersebut, di antara mereka ada yang merasa kontribusi partainya tidak sebanding dengan jatah yang diberikan. Perasaan seperti ini pastinya akan berpengaruh pada kerja mesin politik saat kampanye.

Kedua, bila yang dipilih dari luar partai maka yang rugi adalah semua partai politik pendukungnya. Mereka berkoalisi, pastinya ingin mendapat jatah kekuasaan namun bila jatah kekuasaan itu tidak didapat dan malah diberikan ke orang lain maka secara politik kekuasaan itu sangat merugikan. Ngapain capek-capek mendukung bila kekuasaan tidak didapat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun