Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pindah Partai Demi Jadi Wakil Rakyat

3 Agustus 2018   10:58 Diperbarui: 3 Agustus 2018   13:04 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Kompasiana.com

Menjelang Pemilu Legislatif 2019, ada fenomena yang menarik dalam dunia politik. Fenomena itu adalah ramainya politisi melakukan migrasi dari satu partai ke partai yang lain. Hal demikian dialami oleh seluruh partai yang ada. Ada yang pindah ke partai lama, ada pula yang pindah ke partai baru.

Fenomena demikian dulu disebut sebagai politisi kutu loncat. Sebutan yang tak mengenakkan itu membuat tak banyak orang melakukan sebab dicap sebagai orang oportunis atau mencari enaknya saja sehingga jarang-jarang orang melakukan. 

Namun sebutan seperti itu sekarang sepertinya diabaikan oleh politisi. Banyaknya jumlah yang melakukan migrasi membuat masyarakat menjadi biasa sehingga sebutan kutu loncat tak lagi disebut-sebut.

Mengapa orang dengan mudah melakukan pindah partai dan dilakukan oleh banyak orang. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab. Pertama, adanya konflik di tubuh partai itu sehingga membuat tak nyaman bagi politisi. Politisi itu berpikir bila dirinya tetap bertahan di sana yang dirasa tak hanya membuat dirinya gerah namun juga mengancam masa depannya. 

Bila ia terlibat dalam konflik dan berada pada pihak yang kalah dalam proses peradilan, maka akan disingkirkan oleh kelompok yang menang. Bila demikian dalam proses pencalegan, ia tak akan mendapat tempat bahkan malah tak diproses pendaftarannya.

Daripada tak mendapat apa-apa di tempat yang lama, maka mereka lebih memilih keluar untuk mencari tempat yang bisa menampungnya. Fenomena demikian bisa kita lihat di tubuh PPP. 

Proses peradilan yang memenangkan PPP kubu Roharmurmusy, pastinya menenggalamkan kubu Djan Faridz. Banyak orang kubu Djan Faridz yang sekarang tak jelas hendak ke mana berpartai. Konflik yang terjadi antar Rommy dan Djan itulah yang bisa jadi membuat Lulung, politisi PPP Jakarta, pindah ke PAN.

Kedua, adanya iming-iming dari partai lain atau partai baru. Dalam masa yang semakin ketatnya proses pemilu legislatif membuat kompetisi yang terjadi semakin ketat. Mereka tak hanya dipusingkan semakin tingginya parlement threshold namun juga semakin membengkaknya biaya pemilu. 

Tingginya biaya pemilu ini rupanya dibaca oleh partai politik yang 'juragannya' kaya, bisa dari partai lama atau baru. Partai itu mengincar orang-orang yang potensial, entah karena kepopularitasannya, bintang DPR, atau punya pengalaman menjadi anggota DPR sehingga tahu medan massa di dapil. 

Orang-orang seperti ini dirayu atau diajak oleh partai politik, entah lama atau baru, untuk menjadi caleg-nya. Partai politik yang mengajak mereka tentu tak sekadar ajakan biasa namun selama proses mencari massa untuk Pemilu 2019, mereka dibiayai bahkan sampai jadi. 

Biaya yang disodorkan untuk membiayai caleg itu tentu tak sedikit. Pastinya dihitung rata-rata pengeluaran biaya politik secara nasional. Sebab biaya politik itu sangat tinggi maka bisa saja caleg itu mendapat gelontoran dana sampai Rp2 miliar.

Ketiga, salah satu faktor lain yang menyebabkan orang pindah partai adalah karena ada kesadaran dari masyarakat dan politisi bahwa semua partai sama. Maksudnya adalah meski partai berbeda warna jaket, ideologi, agama, dan visi serta misinya namun mereka mempunyai kepentingan yang sama. 

Apa kepentingannya yang sama itu? Mendapat kekuasaan dan uang. Sebab mereka menuju titik yang sama, yakni kekuasaan dan uang, maka jalan ke sananya pun pastinya sama. Mereka menggunakan segala cara, pragmatis, dan mengingkari idealisme, demi kekuasaan dan uang yang ingin diraih. Apa buktinya semua partai sama? Buktinya KPK menangkap koruptor dari semua partai.

Dari sinilah maka politisi dan masyarakat menjadi sepakat bahwa semua partai adalah sama. Sebab sama maka tak menjadi masalah bila harus pindah tempat. Toh di tempat yang lama atau baru, apa yang dilakukan juga tak beda.

Keempat, orang pindah partai bisa jadi setelah ia membaca survey partai-partai yang lolos atau tidak dari parlement threshold sebesar 4 persen. Survey yang dirilis oleh sebuah lembaga survey tentu mengagetkan banyak orang sebab dari lima belas partai yang ikut dalam Pemilu 2019, diperkirakan hanya 7 partai yang lolos. Untuk itulah politisi mencari jalan aman dengan meninggalkan partai yang menurut survey tak lolos dan masuk ke dalam partai yang menurut survey lolos.

Dari paparan di atas, sekarang orang bila ingin menjadi wakil rakyat atau anggota DPR, tak lagi dilandasi idealisme. Sekarang apapun partainya yang penting bisa membawa dirinya menjadi wakil rakyat. 

Dari sinilah maka tak ada lagi idealisme ideologi, agama, atau golongan dalam berpolitik. Di mana ada peluang terbuka, entah apa warnanya tempat itu, orang sudi dan mau bergabung bila menguntungkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun