Publik Singapura, Malaysia, dan Indonesia hari-hari ini perhatiannya bisa jadi teralihkan pada sosok Halimah Yacob. Perempuan berkerudung itu terpilih menjadi Presiden Singapura. Publik menyoroti terpilihnya anak penjual nasi padang itu selain dirinya beretnis Melayu juga karena ia seorang perempuan. Dengan demikian, di negeri yang pernah bernama Temasek saat menjadi wilayah dari Kerajaan Majapahit itu, ia merupakan perempuan pertama yang menjadi presiden di sana.
Halimah adalah orang kedua etnis Melayu yang menjadi Presiden Singapura. Kali pertama negara itu merdeka, presiden pertama juga orang Melayu, yakni Yusof Ishak. Pria keturunan Minangkabau dan Melayu itu menjabat sebagai presiden dari tahun 1965 hingga 1970.
Istimewa lagi dari terpilihnya Halimah adalah tanpa melalui proses pemungutan suara (voting). Akibat yang demikian menimbulkan protes dari rakyat Singapura, Disebut dalam sebuah survey, 87 persen warga kecewa terpilihnya Halimah tanpa melalui proses pemungutan suara. Bahkan di media sosial, massif bertebaran hastag yang bisa jadi membuat Halimah tidak bahagia. Hastag itu bertanda pagar #notmypresident.
Terpilihnya Halimah menjadi presiden tanpa pemungutan suara, itu bukan karena Singapura negara feodal yang memilih kepala negara oleh Raja atau Ratu, bukan pula negara diktator yang dipegang oleh seseorang kepala pemerintahan yang kuat sehingga bisa berkehendak memilih seseorang menjadi apa saja, namun itu semua karena Konstitusi Singapura sendiri.
Dalam proses Pemilihan Presiden Singapura 2017 (Pilpres 2017), sebenarnya ada 5 calon kandidat. Kelima kandidat itu datanya sudah dilitsus oleh Departemen Pemilu Singapura (ELD). Setelah diverifikasi rupanya hanya Halimah yang memenuhi syarat. Dari aturan Pemilu Presiden Singapura, bila ada satu kandidat maka proses pemilihan presiden selanjutnya adalah langsung ditetapkan. Calon tunggal inilah yang membuat Halimah langsung ditetapkan menjadi presiden oleh ELD. Dengan demikian Halimah terpilih menjadi presiden bukan karena melanggar aturan atau tidak mengindahkan suara rakyat Singapura namun aturan Pilpres yang menghendaki seperti demikian.
Kalau kita lihat peta politik di Singapura, negara itu dari kali pertama lepas dari Malaysia, Agustus 1965, hingga saat ini sepertinya tetap menjaga dan mengedepankan stabilitas politik. Lihatlah dari pemerintahan negara tersebut terbentuk, People's Action Party (PAP) atau Partai Aksi Rakyat selalu mendominasi Pemilu dan parlemen. Dari dominasi di parlemen tersebut membuat Lee Kuan Yew menjadi Perdana Menteri Singapura yang masa jabatannya terpanjang. Ia menjadi perdana menteri mulai tahun 1959-1990.
Usai era Lee Kuan Yew, penerus perdana menteri baik itu Goh Chok Tong maupun Lee Hsien Loong juga berasal dari PAP. Halimah bisa terpilih menjadi presiden pun juga karena berasal dari PAP.
Stabilitas politik di Singapura dikedepankan bisa jadi ada dua alasan, pertama, gaya kepemimpinan pada masa itu, di kawasan Asia Tenggara khususnya, banyak bergaya tegas, keras, dan perintah harus dijalankan. Kita lihat pada masa itu, di Malaysia adalah Mahathir Mohammad, di Indonesia ada Soeharto, dan Lee Kuan Yew di Singapura. Gaya kepemimpinan tersebut dirasa bisa membawa perubahan ekonomi di negara-negara tersebut menjadi lebih baik. Sebab gaya Lee Kuan Yew yang tegas maka Singapura yang awalnya disebut kampung yang kumuh menjadi sebuah negara metropolitan.
Kedua, Pemerintah Singapura merasa dan mengakui bahwa wilayah negaranya kecil. Negara itu luasnya hanya 716 km persegi, kalah jauh dengan luas kabupaten-kabupaten yang ada di Indonesia. Sempitnya pengembangan wilayah membuat negara itu di bagian selatan harus direklamasi. Reklamasi itu sekarang menjadi sebuah kawasan seperti Garden by The Bay.
Sebagai negara yang memiliki luas wilayah yang sempit, otomatis dirinya tidak memiliki sumber daya alam yang bisa menopang pendapatan dan pemasukan negara. Jangankan tambang dan gunung, hutan pun mereka tak punya. Menyadari hal yang demikian, maka pemerintahan Singapura dalam membangun negaranya berorientasi pada jasa. Untuk mencapai cita-cita tersebut maka rakyatnya ditekankan untuk belajar, bekerja, bekerja, dan bekerja. Untuk menciptakan suasana yang kondusif dalam belajar dan bekerja maka masyarakat di sana dijauhkan dari hiruk pikuk dunia politik. Dirasa politik akan membuat kegaduhan sehingga akan menganggu stabilitas ekonomi. Pemerintahan di sana membatasi aktivitas kegiatan masyarakat yang sifatnya bisa mengancam laju pembangunan. Tak heran bila dinamika politik dan kebebasan berpendapat di Singapura dikontrol dengan kuat dan hukum ditegakan sehingga masyarakat di sana menjadi masyarakat yang tertib tanpa banyak bicara.
Untuk itu konstitusi dan aturan di bawahnya selalu meminimalisasi hajatan-hajatan politik. Hajatan politik yang ada dirasa akan mempengaruhi perputaran ekonomi. Bila perputaran ekonomi dalam sehari saja terganggu tentu hal demikian akan mempengaruhi hidup dan matinya Singapura.