Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Ponorogo Tak Sekadar Reog, Ada Telaga Ngebel Surga yang Tersembunyi

4 September 2017   15:16 Diperbarui: 4 September 2017   15:56 3323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bila mendengar kata Ponorogo, biasanya akan didahului kata Reog. Reog selama ini melambungkan nama kabupaten yang berbatasan dengan Wonogiri, Jawa Tengah; dan beberapa kabupaten di Jawa Timur, seperti Trenggalek, Madiun, Magetan, Tulungagung, dan Pacitan.

Untuk menuju ke Ponorogo, transportasi umum yang bisa digunakan adalah jalur kereta api dan pesawat terbang. Bila naik kereta api stasiun terakhir adalah di Stasiun Madiun dan selanjutnya dilanjutkan dengan naik taxi, bus, atau ojek menuju ke Ponorogo sejauh 30 km. Bila naik pesawat terbang, maka bandar udara yang bisa dituju adalah Bandar Udara Djuanda di Sidoarjo, Jawa Timur; atau Bandar Udara Adi Soemarmo, Boyolali, Jawa Tengah. Dari dua bandar udara itu perjalanan selanjutnya dilanjutkan dengan naik bus. Semua tiket kereta dan pesawat itu semua bisa dibeli di www.tiket.com  

ngebel-asli-59ad0b3020f5c306e63d0132.jpg
ngebel-asli-59ad0b3020f5c306e63d0132.jpg
Reog adalah kesenian rakyat asli Ponorogo. Sebagai kesenian yang unik, tak ada duanya, membuat Reog menjadi tontonan yang menarik banyak orang. Kesenian rakyat ini mampu menghimpun banyak orang sehingga sering dijadikan alat untuk memobilisasi massa.

Kesenian Reog tak hanya berkembang di Ponorogo namun juga menyebar ke sekujur nusantara bahkan Malaysia. Reog bisa menyebar ke sekujur nusantara karena dibawa oleh orang Ponorogo, Wonogiri, dan Pacitan, melakukan migrasi baik dibiayai oleh pemerintah maupun secara mandiri. Tak heran bila ada Festival Reog Nasional yang diselenggarakan setiap Grebeg Suro, Tahun Baru Islam, orang-orang Ponorogo atau keturunannya yang sudah menjadi penduduk sebuah daerah, misalnya Lampung, Balikpapan, Nusa Tenggara Barat, Surabaya, Sidoarjo, Batam, dan berbagai tempat lainnya, kembali ke Ponorogo dan membawa tim kesenian Reog untuk berlomba.

ngebel-asli-2-59ad0b429f63cd04c134aa82.jpg
ngebel-asli-2-59ad0b429f63cd04c134aa82.jpg
Kesohoran Reog sebagai sebuah kesenian membuat negeri jiran, Malaysia, mengklaim sebagai salah satu hasil cipta karsa yang dimilikinya. Kesenian itu bisa berkembang di negerinya Siti Nurhaliza bisa jadi banyak orang-orang Ponorogo yang menetap di sana, sejak puluhan tahun yang lalu, dan untuk menghilangkan rasa rindu kepada kampung halaman, mereka tetap berkesenian Reog.

ngebel-1-59ad0b5020f5c304e11f14a4.jpg
ngebel-1-59ad0b5020f5c304e11f14a4.jpg
Sebagai sebuah kabupaten yang berdiri pada 11 Agustus 1496, Ponorogo sejak dulu merupakan sebuah wilayah yang penting baik dalam bidang ekonomi maupun pendidikan Islam (pesantren). Kabupaten yang berjarak 200 km arah barat daya ibu kota Provinsi Jawa Timur, Surabaya, ini dulu ada sebuah pesantren besar, namanya Pesantren Tegalsari, Abad XVIII hingga XIX. Pesantren yang terletak di Desa Tegalsari, Kecamatan Jetis, itu pernah menjadi tempat nyantri Pakubuwono II, sastrawan jawa Ronggowarsito, dan guru para pendiri bangsa Haji Umar Said Cokroaminoto.

ngebel-59ad0b5dfa1d0704ff748ed4.jpg
ngebel-59ad0b5dfa1d0704ff748ed4.jpg
Saat penulis mengunjungi Tegalsari, tempat itu dijadikan cagar budaya oleh pemerintah dan masih ada peninggalan yang menunjukan kebesaran pesantren itu seperti masjid dengan arsitektur gaya Masjid Demak, ada payung yang terbuat dari kayu yang berumur 200 tahun lebih, serta ada bangunan mirip langgar tempat Ronggowarsito biasa melakukan tirakatan.

Entah kenapa, Tegalsari sebagai tempat nyantrinya orang-orang hebat itu akhirnya hanya menjadi tinggal kenangan dan sepertinya hanya menjadi sebatas cerita di tempat itu Ronggowarsito pernah menuntut ilmu. Meski kebesaran pesantren yang didirikan oleh Kyai Agen Hasan Besari sudah tak seperti dulu, Ponorogo masih mempunyai puluhan pesantren bahkan menjadi mercusuar bagi pesantren di Indonesia. Di antara puluhan pesantren itu adalah Pondok Pesantren Gontor. Gontor yang melahirkan tokoh masyarakat, pemimpin ormas Islam, dan cendikiawan Muslim ini berdiri pada tahun 1926. Seperti Reog yang menyebar ke mana-mana, Gontor yang melahirkan alumni seperti Nucholish Majid, Lukman Hakim Saifuddin, Din Syamsuddin, Hasyim Muzadi, Yudhi Latif, dan novelis Negeri 5 Menara, Ahmad Fuadi; itu juga datang dari mana-mana bahkan dari Malaysia, Brunai, dan Thailand (selatan).

ngebel-asli-3-59ad0b6cfa1d07042248e192.jpg
ngebel-asli-3-59ad0b6cfa1d07042248e192.jpg
Sebagai tempat pendidikan Islam modern, Gontor diminati banyak para orangtua untuk menyekolahkan anaknya di sini. Untuk menampung ribuan peminat maka penerus pendiri Gontor mengembangkan sekolah ini di berbagai tempat seperti di Matingan, Ngawi, Jawa Timur; Aceh, dan Sulawesi.

Bagi Belanda, Ponorogo merupakan sebuah tempat untuk dijadikan ladang-ladang perkebunan tebu. Tak heran bila negerinya Robie Van Persie itu membangun jaringan rel kereta api hingga membelah Ponorogo dari ujung ke ujung. Jalur pertama melintasi Kecamatan Ponorogo-Kecamatan Siman-Kecamatan Mlarak-Kecamatan Jetis-Kecamatan Balong, dan Kecamatan Slahung. Jalur kedua, melintasi Kecamatan Ponorogo-Kecamatan Kauman-Kecamatan Somoroto, dan Kecamatan Badegan. Kereta api yang beroperasi di jalur ini pada masa itu sejenis dengan kereta wisata Jaladara di Solo, buatan Jerman tahun 1800-an.

telaga-ngebel-59ad0b74df20a81f5a25cac4.jpg
telaga-ngebel-59ad0b74df20a81f5a25cac4.jpg
Dengan jalur-jalur itu, kereta api yang berbahan bakar kayu itu selain mengangkut penumpang juga mengangkut hasil-hasil perkebunan terutama tebu. Sayangnya jalur rel kereta api itu sekarang tidak berfungsi alias dimatikan. Jalur pertama tidak digunakan sejak tahun 1980-an. Sedang jalur kedua, lebih lama lagi, pada masa pendudukan Jepang, rel yang ada dibongkar untuk keperluan negeri sakura itu itu kepentingan peperangan. Kita tidak tahu alasan apa pemerintah menutup jalur yang potensial itu.

Sebenarnya apa yang ada di kabupaten yang juga terkenal dengan wisata kuliner sate ponorogo-nya itu tak sekadar Reog dan Pondok Pesantren Gontor. Di kabupaten yang oleh Belanda disebut Panaraga ini mempunyai tempat wisata alam yang cukup banyak dikunjungi orang, yakni Telaga Ngebel.

wisata-ponorogo-ongebel-6-59ad0b879f63cd03e522dc45.jpg
wisata-ponorogo-ongebel-6-59ad0b879f63cd03e522dc45.jpg
Untuk menuju ke telaga yang berada di Kecamatan Ngebel itu, bagi pelancong dari luar kota Ponorogo dari arah Madiun sangat mudah. Sekitar 300 meter dari perbatasan Kabupaten Madiun dan Kabupaten Ponorogo, setelah melewati Jembatan Mlilir dan Tugu Reog, petanda memasuki Ponorogo, akan bertemu dengan sebuah perempatan. Dengan mengarah ke kiri maka di situlah jalur ke Telaga Ngebel. Dengan jalan yang terbilang bagus, sepi, jarak sekitar 25 km dari Mlilir cepat dilalui.

Sebagai telaga yang berada di Pegunungan Wilis, jalan menuju Ngebel berkelok-kelok dan menanjak. Hal demikianlah yang membuat perjalanan menjadi menarik. Di saat musim durian dan nangka, di mana banyak masyarakat menanam dua jenis pohon buah-buahan itu, di sepanjang jalan akan ditemukan orang berdagang dua jenis buah-buahan itu. Pembeli bisa memakan langsung durian dan nangka di tempat atau bisa membawanya pulang, tergantung selera masing-masing.

ngebel-3-59ad0b97ec4a2403b82c88c2.jpg
ngebel-3-59ad0b97ec4a2403b82c88c2.jpg
Sesampai di pintu masuk tempat wisata Telaga Ngebel, setiap pengunjung akan ditarik biaya, tidak mahal. Tak kurang dari 100 meter dari pintu masuk tempat wisata, kita akan melihat keindahan panorama telaga yang memiliki luas sekitar 160 hektar itu. Dibanding dengan Telaga Sarangan, Magetan; luas Telaga Ngebel lebih besar.

Telaga yang dikelilingin oleh Desa Gondowido, Sahang, Ngebel, dan Wagirlor, itu sampai saat ini masih terasa alami. Kanan dan kiri 90 persen masih dikelilingi oleh hutan pinus dan pepohonan yang lain. Dari sinilah maka wilayah ini kelihatan hijau penuh dengan rerimbunan pepohonan.

Dari waktu ke waktu Pemerintah Daerah Ponorogo mulai menggarap tempat wisata ini seperti menyediakan perahu wisata, losmen, wisata kuliner seperti nila bakar, dan fasilitas mainan buat anak-anak. Membangun losmen di sekitar Ngebel terbukti ampuh untuk menarik wisatawan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah untuk bermalam di sini. Buktinya dalam sebuah waktu sering diadakah acara kantor tingkat provinsi di tempat ini.

Sebelum transportasi sepeda motor gampang dimiliki oleh orang seperti saat ini, pada tahun 1980-an, anak-anak muda yang tergabung dalam Pramuka, Sispala, Mapala, Karang Taruna yang berasal dari Ponorogo maupun luar daerah seperti Madiun, menjadikan Telaga Ngebel sebagai tempat hiking, camping, dan outbound. Namun sekarang, hiking sebuah jarang yang ditemukan.

Pada hari-hari tertentu seperti Idul Fitri, Tahun Baru Masehi, Tahun Baru Islam, di depan kantor Kecamatan Ngebel, yang langsung berhadapan dengan telaga itu, biasanya diadakan pertunjukan musik, entah itu musik rock atau dangdut. Bahkan dulu pada hari-hari itu ada pertunjukan ski air. Dengan hiburan semacam itulah sebagai upaya untuk menarik wisatawan untuk datang ke Ngebel. Sekarang di telaga itu ada fasilitas wisata perahu baik yang speedboat maupun yang biasa untuk mengelilingi danau.

Masyarakat Ponorogo akrab dengan telaga yang rupa buminya seperti telur ayam itu karena legenda yang ada. Wisata di Telaga Ngebel, pengunjung tak sekadar menikmati indahnya telaga namun juga bisa menikmati masih perawannya hutan di sekitarnya, wana wisata. Pohon-pohon pinus berjajar rapi dan menjadi penjaga pegunungan Ngebel. Bila kita mau menyelusuri pegunungan yang ada, ke arah timur, kita akan menemukan air tejun Selorejo. Lokasi air terjun ini berjarak beberapa km dari telaga. Jalan menuju ke sana sungguh indah sebuah jalur di mana kanan-kiri masih berwujud hutan meski ada beberapa rumah penduduk. Masyarakat di sana masih menggantungkan hidupnya pada hutan itu.

Untuk bisa menikmati basahnya air terjun Selorejo, pengunjung harus menyusuri jalan sepanjang 300 meter masuk ke dalam hutan, di mana di samping kanan berupa tebing, di samping kiri berwujud jurang. Banyak pohon di kanan-kiri membuat bisa dijadikan pegangan bila keseimbangan kurang terjaga. Di sekitar air terjun ini masih alami sehingga ada peringatan bila hujan deras diharapkan meninggalkan lokasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun