Setelah melaju di lintasan jalan Parangtritis, Kabupaten Bantul, Jogjakarta, kecepatan sepeda motor terhenti di perempatan Manding. Hujan yang mulai turun menghambat perjalanan menuju Pantai Parangtritis. Untung di tempat berhenti ada warung kopi. Di warung kopi yang bertiang dan berdinding bambu itu saya berteduh menghindari basah karena guyuran hujan. Di bagasi sepeda motor tidak ada jas hujan sehingga berteduh adalah alternatif terbaik.
Berteduh di warung kopi tidak elok bila tidak membeli minuman. Sambil menunggu air hujan yang turunnya tidak pasti, segelas kopi hitam kupesan. Dengan cekatan, perempuan penjual kopi itu menyeduh kopi dalam kemasan. Kopi hitam dalam gelas itu kemudian disajikan. Di warung itu terdapat orang tua. Dengan ramah ia menanyakan asal usul dan hendak ke mana. Saat saya tanya berapa kilometer lagi ke Pantai Parangtritis, ia dengan cekatan menjawab, “enam belas kilometer lagi.”
Setelah melaju, tak lama kemudian menemui gerbang besar berwarna merah, mirip pintu jalan tol. Di gerbang itulah disisir mana masyarakat yang tinggal di desa di sekitar pantai dan wisatawan. Sebab setiap hari penjaga tiket wisata hafal dengan orang melintas maka mereka bisa membedakan mana penghuni dan mana wisatawan. Sebagai seorang wisatawan saya harus membayar Rp4.000 sebagai tanda masuk kawasan wisata pantai.
Mencoba menikmati salah satu sajian yang ada di tempat itu. Memesan mie goreng, harga yang terpampang adalah Rp9.000, ditambah dengan teh manis panas bertarif Rp3.000, jadi total harganya adalah Rp12.000. Harga tersebut sangat terjangkau. Di warung itu saya ngobrol dengan pemiliknya. Pemilik warung itu mengatakan, setelah terjadi gempa, kondisi Pantai Parangtritis menjadi lebih bersih. “Sebab warung tidak boleh berdiri di tepi pantai,” ujarnya. “Kalau jualan dengan naik sepeda motor atau digotong masih boleh,” ujarnya.
Malam mulai larut, hiruk pikuk pantai pun mulai tak terdengar meski masih ada satu dua orang yang menikmati malam di warung-warung makan yang ada.
Suara dering jam 06.00 pagi terdengar dari handphone. Saya bergegas bangun dari penginapan yang bertarif Rp50.000 itu. Bergegas untuk menuju ke pantai untuk melihat matahari terbit. Ketika tiba di pantai, terlihat sudah ada ratusan wisawatan terutama anak-anak pelajar sekolah. Di pantai mereka bergembira ria bermain di tepian ombak namun sepertinya lebih sibuk berselfie ria dengan landscape hamparan pantai selatan yang mahaluas.
Di tengah keriuhan menikmati pantai selatan, bendi hilir mudik mengangkut wisatawan yang ingin melihat batas pantai. Biaya bendi bervariatif, antara Rp30.000 sampai Rp100.000. Bila ingin menjamak dua batas pantai, ongkosnya bertarif Rp100.000. Di sela-sela wisawatan yang berhamburan, terdengar suara rauangan ATV (kendaraan roda empat mirip sepeda motor). ATV di pantai-pantai selatan, saat merupakan mainan favorit. Dengan menggunakan ATV,penyewa bisa menerjang gundukan pasir.
Seorang pedagang siomay yang mangkal tidak jauh dari kerumunan wisatawan mengatakan, wisatawan datang pagi-pagi untuk melihat matahari terbit atau sore hari untuk melihat matahari tenggelam. “Di sini kalau siang sepi karena panas,” ujarnya. Untuk itu dirinya berjualan di pantai saat pagi atau sore. “Siang di rumah, istirahat,” ujarnya dengan polos.
Jam menunjukan mulai siang, satu persatu wisatawan meninggalkan pantai. Saya pun demikian meninggalkan pantai yang di tahun 1970 dan 1980-an sebagai tempat wisata favorit itu. Tak jauh dari Pantai Parangtritis ada sebuah fenomena alam yang sangat menarik yang sekarang dikelola oleh para pemuda di sana sebagai tempat wisata. Tempat itu dikenal dengan nama Gumuk Pasir. Bila ada oasis, sumber air di tengah padang pasir, maka Gumuk Pasir sebaliknya, yakni sebuah padang pasir di antara tanah yang subur.
Lokasi Gumuk Pasir ini berada di Dusun Grogol Desa Parangtritis. Ketika berkunjung ke sana terlihat hamparan padang pasir seluas lapangan sepakbola di mana di kanan-kirinya dikepung oleh gundukan bukit pasir yang mempunyai ketinggian sekitar 4 meter. Dikatakan oleh salah satu penduduk di sana, sebelumnya Gumuk Pasir lebih gersang daripada saat ini. Sekarang di sana terlihat pepohonan berdiri di tepian Gumuk Pasir. Bahkan bila musim hujan, tempat itu terancam memadat dan ditumbuhi rerumputan.
Tempat wisata yang pernah dijadikan tempat pengambilan gambar video musik oleh Agnez Monica dan Letto itu sekarang dikelola oleh para pemuda dusun. Menurut salah seorang pemuda, rencananya daerah sekitar Gumuk Pasir akan total dijadikan tempat wisata padang pasir. Tingkat kunjungan wisata di Gumuk Pasir ramai di saat hari libur. Bila ke sana, pengunjung yang naik sepeda motor hanya dikenai tarif parkir. Di Gumuk Pasir, biasanya pengunjung berfoto ria dengan landscape hamparan pasir, ada pula pasangan yang menjadikan tempat itu sebagai foto prewedding. Bila saat pasir dalam kondisi yang bagus, wisatawan bisa melakukan sandboarding, seluncur pasir. “Tarifnya Rp150.000 termasuk pemandu,” ujar Reza, salah seorang pemuda yang menjaga kawasan itu. Sebagai hamparan pasir maka di sana juga dijadikan tempat latihan manasik haji oleh PDHI (Persaudaraan Djamaah Haji Indonesia) Provinsi Jogjakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H