Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Padang Pasir di Tepi Laut Selatan

6 Juni 2017   10:36 Diperbarui: 6 Juni 2017   10:43 1014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pantai Parang Tritis | DOK.PRIBADI

Setelah melaju di lintasan jalan Parangtritis, Kabupaten Bantul, Jogjakarta, kecepatan sepeda motor terhenti di perempatan Manding. Hujan yang mulai turun menghambat perjalanan menuju Pantai Parangtritis. Untung di tempat berhenti ada warung kopi. Di warung kopi yang bertiang dan berdinding bambu itu saya berteduh menghindari basah karena guyuran hujan. Di bagasi sepeda motor tidak ada jas hujan sehingga berteduh adalah alternatif terbaik.

Berteduh di warung kopi tidak elok bila tidak membeli minuman. Sambil menunggu air hujan yang turunnya tidak pasti, segelas kopi hitam kupesan. Dengan cekatan, perempuan penjual kopi itu menyeduh kopi dalam kemasan. Kopi hitam dalam gelas itu kemudian disajikan. Di warung itu terdapat orang tua. Dengan ramah ia menanyakan asal usul dan hendak ke mana. Saat saya tanya berapa kilometer lagi ke Pantai Parangtritis, ia dengan cekatan menjawab, “enam belas kilometer lagi.”

Penjual Souvenir di Pantai Parangtritis | DOK.PRIBADI
Penjual Souvenir di Pantai Parangtritis | DOK.PRIBADI
Jarak 16 km, untuk ukuran naik sepeda motor tidak terlalu jauh, apalagi lintasan di daerah Kabupaten Bantul lurus dan beraspal baik. Beda dengan Kabupaten Gunung Kidul, tetangganya, yang lintasannya berkelok-kelok dan menanjak. Setelah perbincangan penuh keakraban itu terjalin, beberapa saat kemudian sinar matahari kembali menyorot. Sorotan matahari itu menunjukan awan hitam yang menggumpal di langit mulai berpindah. Sorotan itu juga menandakan hujan sudah reda.

Pantai Parangtritis | DOK.PRIBADI
Pantai Parangtritis | DOK.PRIBADI
Agar sampai Parangtritis tidak tiba malam dan menghindari hujan yang lebih lebat lagi maka saya segera meninggalkan warung kopi yang berada di tepi jalan itu. Setelah membayar Rp2.000, saya pamit kepada penjual dan segera menghidupkan mesin sepeda motor serta selanjutnya menggerakan putaran gas sebagai tanda sepeda motor berpindah tempat. Sepanjang jalan, titik-titik air dan mendung hitam masih memayungi meski di kilometer selanjutnya kadang sorot sinar matahari terasa.

Setelah melaju, tak lama kemudian menemui gerbang besar berwarna merah, mirip pintu jalan tol. Di gerbang itulah disisir mana masyarakat yang tinggal di desa di sekitar pantai dan wisatawan. Sebab setiap hari penjaga tiket wisata hafal dengan orang melintas maka mereka bisa membedakan mana penghuni dan mana wisatawan. Sebagai seorang wisatawan saya harus membayar Rp4.000 sebagai tanda masuk kawasan wisata pantai.

Wisatawan di Pantai Parangtritis | DOK.PRIBADI
Wisatawan di Pantai Parangtritis | DOK.PRIBADI
Selepas membayar tiket, sepeda motor kembali melaju. Lagi-lagi hujan menghadang dan membuat saya berteduh di sebuah toko yang kebetulan saat itu tutup. Di tempat itu ada dua pemuda kampung yang juga berteduh. Dua orang itu asli penduduk di sekitaran pantai. Sambil menunggu hujan reda, obrolan kaum peneduh pun terjadi. Pantai laut selatan sebagai wilayah yang penuh mitos, saya mencoba bertanya kepada dua pemuda itu tentang Nyi Roro Kidul, sosok perempuan yang dimitoskan sebagai penguasa laut selatan. “Mas pernah bertemu dengan Nyi Roro Kidul?” Mendapat pertanyaan yang demikian, salah satu pemuda itu dengan tertawa menjawab, “hoalah (ungkapan bahasa Jawa yang artinya kurang lebih tidak penting) mas, mas.” Jawaban itu menunjukan ia tidak percaya dengan mitos Nyi Roro Kidul. Memang selama ini ada masyarakat yang percaya, ada pula yang tidak tentang sosok yang juga disebut sebagai selir Sultan Jogja itu.

Gumuk Pasir | DOK.PRIBADI
Gumuk Pasir | DOK.PRIBADI
Setelah hujan reda, obrolan itu berakhir, satu pemuda lagi pulang ke rumahnya, saya pun melanjutkan ke tempat tujuan, dan satunya lagi masih duduk di tempat itu entah siapa yang ditunggunya. Tempat berteduh itu rupanya sudah tidak jauh dengan Pantai Parangtritis. Ketika saya memasuki kawasan pantai yang lokasinya berada di Dusun Mancingan, Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, langit hitam bergumpal di langit, ditambah maghrib menjelang, maka suasana di kawasan pantai mulai gelap. Meski demikian, di pantai masih banyak wisatawan yang menikmati deburan ombak. Dari kejauhan masih terlihat bendi-bendi yang hilir mudik mencari dan mengangkut penumpang.

Gumuk Pasir | DOK.PRIBADI
Gumuk Pasir | DOK.PRIBADI
Meski sudah berada di kawasan pantai namun saat itu tidak pergi ke pantai, alasannya, suasana sudah gelap, gerimis datang, dan wisatawan dan penjual jasa wisata sudah meninggalkan pantai. Beberapa toko souvenir dan cinderamata pun satu persatu mulai menutup tokonya. Masih buka di sekitar pantai adalah restoran-restoran warung makan yang menjual ragam menu, paling banyak adalah mie goreng, rebus, dan makanan yang biasa kita lihat di pinggir jalan, ayam dan tempe penyet.

Mencoba menikmati salah satu sajian yang ada di tempat itu. Memesan mie goreng, harga yang terpampang adalah Rp9.000, ditambah dengan teh manis panas bertarif Rp3.000, jadi total harganya adalah Rp12.000. Harga tersebut sangat terjangkau. Di warung itu saya ngobrol dengan pemiliknya. Pemilik warung itu mengatakan, setelah terjadi gempa, kondisi Pantai Parangtritis menjadi lebih bersih. “Sebab warung tidak boleh berdiri di tepi pantai,” ujarnya. “Kalau jualan dengan naik sepeda motor atau digotong masih boleh,” ujarnya.

Persewaan Papan Seluncur Pasir | DOK.PRIBADI
Persewaan Papan Seluncur Pasir | DOK.PRIBADI
Saat bertanya, apakah ada pengaruhnya ketika di Kabupaten Gunung Kidul muncul tempat wisata baru, pria yang sudah berumur itu mengatakan, “äda.” Meski demikian diakui jumlah wisatawan di Parangtritis masih stabil.

Malam mulai larut, hiruk pikuk pantai pun mulai tak terdengar meski masih ada satu dua orang yang menikmati malam di warung-warung makan yang ada.

Suara dering jam 06.00 pagi terdengar dari handphone. Saya bergegas bangun dari penginapan yang bertarif Rp50.000 itu. Bergegas untuk menuju ke pantai untuk melihat matahari terbit. Ketika tiba di pantai, terlihat sudah ada ratusan wisawatan terutama anak-anak pelajar sekolah. Di pantai mereka bergembira ria bermain di tepian ombak namun sepertinya lebih sibuk berselfie ria dengan landscape hamparan pantai selatan yang mahaluas.

Di tengah keriuhan menikmati pantai selatan, bendi hilir mudik mengangkut wisatawan yang ingin melihat batas pantai. Biaya bendi bervariatif, antara Rp30.000 sampai Rp100.000. Bila ingin menjamak dua batas pantai, ongkosnya bertarif Rp100.000. Di sela-sela wisawatan yang berhamburan, terdengar suara rauangan ATV (kendaraan roda empat mirip sepeda motor). ATV di pantai-pantai selatan, saat merupakan mainan favorit. Dengan menggunakan ATV,penyewa bisa menerjang gundukan pasir.

Seorang pedagang siomay yang mangkal tidak jauh dari kerumunan wisatawan mengatakan, wisatawan datang pagi-pagi untuk melihat matahari terbit atau sore hari untuk melihat matahari tenggelam. “Di sini kalau siang sepi karena panas,” ujarnya. Untuk itu dirinya berjualan di pantai saat pagi atau sore. “Siang di rumah, istirahat,” ujarnya dengan polos.

Jam menunjukan mulai siang, satu persatu wisatawan meninggalkan pantai. Saya pun demikian meninggalkan pantai yang di tahun 1970 dan 1980-an sebagai tempat wisata favorit itu. Tak jauh dari Pantai Parangtritis ada sebuah fenomena alam yang sangat menarik yang sekarang dikelola oleh para pemuda di sana sebagai tempat wisata. Tempat itu dikenal dengan nama Gumuk Pasir. Bila ada oasis, sumber air di tengah padang pasir, maka Gumuk Pasir sebaliknya, yakni sebuah padang pasir di antara tanah yang subur.

Lokasi Gumuk Pasir ini berada di Dusun Grogol Desa Parangtritis. Ketika berkunjung ke sana terlihat hamparan padang pasir seluas lapangan sepakbola di mana di kanan-kirinya dikepung oleh gundukan bukit pasir yang mempunyai ketinggian sekitar 4 meter. Dikatakan oleh salah satu penduduk di sana, sebelumnya Gumuk Pasir lebih gersang daripada saat ini. Sekarang di sana terlihat pepohonan berdiri di tepian Gumuk Pasir. Bahkan bila musim hujan, tempat itu terancam memadat dan ditumbuhi rerumputan.

Tempat wisata yang pernah dijadikan tempat pengambilan gambar video musik oleh Agnez Monica dan Letto itu sekarang dikelola oleh para pemuda dusun. Menurut salah seorang pemuda, rencananya daerah sekitar Gumuk Pasir akan total dijadikan tempat wisata padang pasir. Tingkat kunjungan wisata di Gumuk Pasir ramai di saat hari libur. Bila ke sana, pengunjung yang naik sepeda motor hanya dikenai tarif parkir. Di Gumuk Pasir, biasanya pengunjung berfoto ria dengan landscape hamparan pasir, ada pula pasangan yang menjadikan tempat itu sebagai foto prewedding. Bila saat pasir dalam kondisi yang bagus, wisatawan bisa melakukan sandboarding, seluncur pasir. “Tarifnya Rp150.000 termasuk pemandu,” ujar Reza, salah seorang pemuda yang menjaga kawasan itu. Sebagai hamparan pasir maka di sana juga dijadikan tempat latihan manasik haji oleh PDHI (Persaudaraan Djamaah Haji Indonesia) Provinsi Jogjakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun