Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Mengapa Pendukung Agus Lebih Memilih Anies

23 Maret 2017   07:19 Diperbarui: 23 Maret 2017   16:00 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tujuhbelas persen (17%) suara dalam Putaran I Pilkada Jakarta 2017 yang diraih oleh pasangan Agus-Silvi, saat ini gencar direbut oleh dua pasangan tersisa, Ahok-Djarot dan Anis-Sandi. Suara 17 persen adalah suara yang potensial bagi kedua calon yang lain sebab selisih di antara dua calon tersebut terbilang sangat tipis, antara 39 persen hingga 43 persen.

Untuk itu mereka menggunakan segala upaya agar pendukung Agus-Silvi merapat ke salah satu pasangan calon yang ada. Padahal sebelumnya, mereka ada yang suka mem-bully pasangan Agus-Silvi namun sekarang mereka memuji-muji. Sebelumnya mentertawakan program-program yang diusung, sekarang mendukung bahkan akan melanjutkan.

Di tengah memperebutkan suara yang dikantongin Agus-Silvi, berdasarkan survei dan fakta di lapangan menunjukan bahwa mayoritas pemilih Agus-Silvi akan mengalihkan dukungannya kepada pasangan Anis-Sandi. Dengan demikian maka pasangan Anis-Sandi disebut-sebut mempunyai peluang besar untuk memenangi Pilkada Jakarta pada Putaran II yang akan berlangsung pada 19 April 2017.

Mengapa mayoritas pemilih Agus-Silvi akan mengalihkan dukungan kepada Anis-Sandi daripada ke pasangan Ahok-Djarot? Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab, pertama, pada dasarnya kedua partai pengusung Anis-Sandi dan Agus-Silvi adalah partai-partai yang tidak menginginkan Ahok menjadi Gubernur Jakarta. Partai politik seperti PAN, PPP, PKB, Partai Demokrat, Partai Gerindra, dan PKS adalah partai yang tidak menginginkan Ahok kembali menjadi gubernur. Mereka wegah mendukung Ahok dilandasi oleh berbagai alasan seperti Ahok disebut oleh di antara partai itu sebagai sosok non-Muslim selain oleh mayoritas partai penolak Ahok, ia disebut mempunyai perangai kasar dan suka berkata yang tidak senonoh.

Selain alasan tersebut, partai-partai yang wegah mendukung Ahok itu mayoritas adalah partai yang beroposisi dengan partai yang berkuasa sekarang. Partai yang di luar kekuasaan itu adalah Partai Demokrat, Gerindra, dan PKS.

Sebenarnya partai-partai yang wegah mendukung Ahok tersebut ingin bersatu mengusung calon tunggal namun mereka kesulitan memilih siapa yang pantas dan mampu mengimbangi Ahok saat itu. Ada beberapa figur yang ditawarkan dan digadang-gadang namun di antara para elit tersebut ada yang menerima dan menolak sehingga sulit untuk mendapatkan satu pasangan calon yang bisa diterima oleh semua partai. Di tengah lobby-lobby dan sulitnya mencari pasangan calon yang hendak diusung,  akhirnya muncul pasangan Agus-Silvi dan Anis-Sandi. Dua pasangan ini disodorkan dengan penuh rasa harap-harap cemas oleh dua kubu.

Sebagai partai politik yang sejak asal menolak Ahok, inilah yang menjadi perekat setelah pasangan Agus-Silvi kalah bagi para elit dan pendukungnya untuk terus bersatu memperjuangkan kepentingan mereka, yakni memilih gubernur baru.

Kedua, partai-partai yang menolak Ahok, mayoritas adalah partai yang berhaluan Islam atau yang pemilihnya di kalangan Islam. Partai itu adalah PAN, PKS, PPP, dan PKB. Partai-partai yang berhaluan Islam menolak Ahok itu terkait dengan dugaan pria yang juga bernama Basuki Tjahaja Purnama itu menista surat Al Maidah. Syukur partai-partai itu aspiratif terhadap ummat Islam sehingga mereka memperjuangkan suara ummat Islam dengan tidak mendukung Ahok.

Partai-partai Islam tersebut sebelumnya terbelah dalam dua kubu yakni pendukung Agus-Silvi dan Anis-Sandi. Ketika pasangan Agus-Silvi sudah kalah maka partai-partai Islam tersebut akhirnya berkumpul kembali dengan isu yang sama yakni memperjuangkan aspirasi ummat Islam yang menginginkan penolakan terhadap gubernur yang telah menista agama.

Ketiga, di antara mereka, pasangan Agus-Silvi dan Anis-Sandi, sebelum Pilkada Putaran I mempunyai perasaan yang sama yakni penantang dan inferior di tengah superior Ahok pada masa itu. Sebagai pasangan yang menantang Ahok, kedua pasangan sepertinya saling menghormati dan tidak pernah saling menjatuhkan dan mem-bully. Kedua pasangan bahkan sering di-bully dan dijatuhkan oleh pihak tim sukses dan pendukung Ahok. Bahkan lontaran salah seorang mantan Ketua KPK yang diberi grasi oleh Presiden Joko Widodo disinyalir menjatuhkan Agus-Silvi. Seringnya kedua pasangan yang di-bully tim sukses Ahok itulah yang membuat mereka menjadi senasib dan sepenanggungan.

Sebagai pasangan yang senasib dan sepenanggungan itulah yang membuat pasangan Anis-Silvi dan Anis-Sandi ‘bersatu’ dalam debat Pilkada. Mereka secara bersama memojokan lawan dengan berbagai pertanyaan dan sanggahan.  

Keempat, pendukung Agus-Silvi mengalihkan dukungan kepada Anis-Sandi sebab kedua pasangan itu mempunyai program dan cita-cita yang sama, yakni ramah kepada kaum miskin kota dan tidak melakukan penggusuran. Kedua pasangan itu tidak akan melakukan apa yang sudah dilakukan Ahok yang dirasa tidak manusiawi dan melanggar aturan yang ada serta kontrak politik sebelumnya, yakni sering menggusur warganya.

Meski tidak menggusur dan hendak membangun warga di tepian sungai masih bisa dikatakan janji namun kesamaan program inilah yang bisa menyatukan aspirasi pendukung Agus-Silvi dengan Anis-Sandi.

Ketika selisih Anis-Sandi dan Ahok Djarot hanya sekitar 2 persen hingga 3 persen dan ketika mayoritas pendukung Agus-Silvi akan mengalihkan dukungan kepada Anis-Sandi maka di atas itung-itungan, Anis-Sandi akan menjadi pemenang Pilkada. Tinggal sekarang bagaimana tim sukses Anis-Sandi bisa merawat dan menjaga pemilihnya di Putaran I dan menyakinkan pemilih Agus-Silvi pada Putaran II untuk merapat padanya.

Masa-masa penantian pada pencoblosan Putaran II, 19 April 2017, merupakan masa-masa yang rawan terjadinya pengalihan dukungan secara tiba-tiba dan massal. Untuk itu pasangan calon yang masih bertahan mereka akan menjaga citra atau melakukan pencitraan. Misalnya, biasanya kasar menerima warga di Balaikota, tiba-tiba santun dan akomodatif terhadap aspirasi. Pasangan yang ada tak hanya memoles citra namun juga merisaukan kampanye hitam, kampanye negatif, pelaporan atas dugaan kejahatan atau korupsi, dan yang paling berbahaya adalah ancaman money politic dan kecurangan pemilu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun