Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Arogansi Senior dan Lalainya Pihak Kampus

16 Januari 2017   11:08 Diperbarui: 16 Januari 2017   11:35 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa kejadian meninggalnya mahasiswa baru (junior) dalam kegiatan perpeloncoan, Ospek, atau kegiatan lain, yang dilakukan oleh senior, sejak beberapa tahun yang lalu sepertinya tidak membuat jera pihak kampus dan para senior dalam melaksanakan acara itu. Beberapa hari yang lalu, salah seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi kedinasan, meninggal dunia setelah dihujani pukulan di dada oleh seniornya.

Tragedi itu terjadi saat perpeloncoan bagi mahasiswa baru yang ingin menjadi anggota sebuah unit kemahasiswaan. Kekerasan yang dilakukan bisa jadi sudah menjadi tradisi sebab di sebuah media massa disebut bahwa kegiatan itu sudah menjadi budaya senior terhadap junior bila ada anggota baru ingin masuk dalam unit kemahasiswaan maka ia harus mengikuti tradisi itu.

Bila demikian siapakah yang salah dalam kegiatan itu, apakah para senior karena ia melakukan tindakan brutal atau pihak kampus yang tetap mengijinkan kegiatan dan tanpa memberi pengawasan yang ketat dalam pelaksanaan?

Perpeloncoan bagi mahasiswa baru oleh senior, merupakan kegiatan yang sudah mentradisi di awal tahun kuliah. Pada masa Sekolah Dokter Jawa, Stovia, kegiatan ini sudah dilaksanakan. Entah apa maksud tujuan dari kegiatan ini, apakah untuk ajang perkenalan para mahasiswa baru dengan mahasiswa yang sudah lebih dahulu masuk, apakah untuk membentuk disiplin mahasiswa baru, atau untuk memberi pelajaran kepada mahasiswa baru bahwa dunia kampus bukan lagi dunia sekolah, SMA.

Faktor-faktor di ataslah yang bisa menjadi alasan mengapa Ospek atau perpeloncoan itu dilaksanakan. Tujuan untuk memberi pelajaran bahwa dunia kampus sudah berbeda dengan dunia SMA dalam kegiatan itu sangat bagus. Dengan pengenalan tersebut maka mahasiswa baru bisa paham bahwa belajar di perguruan tinggi dituntut untuk displin dan mandiri.

Dalam kegiatan ini, biasanya mahasiswa diberi tugas untuk membuat sesuatu atau membawa sesuatu di mana esok hari harus dikumpulkan atau dilakukan. Dengan tugas demikian, biasanya mahasiswa baru kalang kabut, ke sana kemari untuk mencari atau membuat tugas yang dibebankan dari seniornya.

Kerja cepat atau cepat melaksanakan tugas itu bisa jadi untuk melatih mahasiswa ketika mereka sudah dalam rutinitas kuliah. Kadang-kadang ada dosen yang menuntut tugas yang diberikan dikumpulkan pada sore hari pada saat ia memberi kuliah pada pagi hari. Latihan ini juga bisa untuk mengingatkan bahwa masa kuliah, ada batas waktu yang telah ditetapkan, misalnya hanya 5 tahun, dan bila di atas waktu yang telah ditentukan ia akan dikeluarkan, istilah popularnya di-DO, drop ut.

 Melatih mahasiswa baru agar mampu mengerjakan tugas dalam waktu cepat dan tepat dalam kegiatan tersebut bisa jadi menjadi sisi yang positif dalam Ospek atau perpeloncoan. Sikap yang demikian mengubah mental mahasiswa baru yang terkadang masih bermental anak baru gede menjadi sosok yang bertanggungjawab dan mandiri.

Namun terkadang dalam perjalanan, kegiatan itu melenceng. Sebab melenceng maka kegiatan itu menjadi aneh. Tak heran bila kita melihat dalam kegiatan itu ada yang aneh-aneh, seperti mahasiswa baru harus memakai pakaian kayak badut, disuruh membawa benda-benda yang terkadang tidak ada hubungannya dengan jurusan yang diambil, dan kegiatan atau tugas yang nyleneh lainnya.

Dalam kegiatan itu, mereka tidak hanya dibebani oleh hal-hal yang sifatnya melenceng dari tujuan Ospek namun juga diberi hukuman atau kegiatan yang sifatnya menguras fisik. Dalam Ospek atau perpeloncoan, mahasiswa baru tidak sedang mengikuti latihan bela negara atau masuk dalam dunia militer atau polisi namun dalam kegiatan itu mereka diberlakukan semacam itu.

Dalam sebuah kegiatan kemah bagi mahasiswa baru, terkadang mereka tiba-tiba disuruh bangun malam kemudian dikumpulkan di sebuah lapangan dan diberi tugas untuk menyusuri hutan dan kampung. Sering mereka disuruh push up, merangkak, atau kegiatan fisik yang berat.

Akibat yang demikian biasanya banyak mahasiswa yang tidak kuat hingga pingsan bahkan meninggal dunia akibat kelelahan. Karena kegiatan ini sifatnya fisik maka untuk memberi perintah dengan kekerasan. Dari sinilah muncul arogansi senior pada junior. Melawan perintah dari senior akan berakibat pada hukuman, tak hanya sebatas push up, sit up, dan lainnya namun juga pada tindakan kekerasan. 

Bila demikian korban kekerasan dari kegiatan Ospek atau perpeloncoan disebabkan oleh, pertama, melencengnya kegiatan itu yang dilakukan secara sadar atau tidak oleh para senior. Kadang-kadang para senior membikin acara yang jauh dari disiplin ilmu para mahasiswa baru. Mereka diajak camping, hiking, caving, atau kegiatan lainnya oleh para senior dengan dibungkus acara bakti sosial atau pengabdian masyarakat.

Kalau kegiatan itu dilakukan oleh mahasiswa pencinta alam atau komunitas traveling itu wajar namun mahasiswa baru masuk perguruan tinggi tujuannya kan bukan untuk itu. Lebih aneh lagi mahasiswa baru masuk ke kampus bukan dilatih agar kebal pukulan sehingga sangat mengherankan bila untuk menjadi anggota baru, mereka harus dipukuli lebih dahulu.

Mereka pasti tidak bisa menolak kegiatan itu sebab sebelumnnya mereka sudah ‘diancam’oleh para senior. Bila tidak ikut, kata senior, akan diberi sanksi oleh kampus. Akibatnya mahasiswa baru, siap atau tidak, sehat atau sakit, dengan terpaksa mengikuti acara itu.

Kedua, kegiatan itu bisa terlaksana selama menahun sebab ada pembiaran. Selama ini kegiatan itu pasti mendapat ijin dari pihak pimpinan kampus, rektor, dekan, atau kepala jurusan. Dengan demikian kegiatan itu legal. Sayangnya pihak kampus terlalu mempercayakan kegiaatan itu kepada para mahasiwa, senior. Pihak kampus mempercayakan kepada mahasiswa sebab dipikir bahwa mereka sudah gede sehingga dirasa bisa bertanggungjawab dalam melaksanakan kegiatan itu tanpa dicampuri oleh unsur pimpinan kampus.

Terlalu mempercayakan kepada para mahasiswa semakin disayangkan ketika pihak kampus tidak tahu model apa kegiatan itu dilakukan. Pihak kampus tidak mengawasi kegiatan itu berbahaya atau tidak, beresiko atau tidak. Tanpa kontrol inilah yang membuat para senior menjadi tak terkendali dalam kegiatan Ospek atau perpeloncoan.

Dua hal tadilah yang membuat kegiatan seperti itu sering membawa korban. Memang ada beberapa perguruan tinggi sudah mengawasi kegiatan itu secara ketat setelah mahasiswanya menjadi korban namun hal demikian masih bisa terjadi secara tak terduga bila kegiatan yang dilakukan sudah melenceng dan tidak diluruskan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun