Dalam aturan yang ada, setiap pasangan calon kepala daerah yang maju dalam Pilkada, ia diwajibkan untuk mengikuti debat publik. Bila pasangan calon tidak mau mengikuti debat publik, ia akan dikenakan sanksi, entah tidak diberi ruang dalam debat selanjutnya atau jatah masa kampanyenya dikurangi. Dengan aturan itu, pasangan calon yang ada, suka atau tidak, mau atau enggak, bisa atau tak bisa, harus berani maju di atas panggung dan ditonton orang untuk berdebat.
Tradisi debat mengajukan visi dan misi kalau kita selusuri terjadi bukan saat-saat ini dilakukan. Tradisi debat calon pemimpin kalau kita melihat ke belakang, muncul sudah sejak lama. Paling dekat kita melihat tradisi debat muncul di tahun 1999, di awal era Reformasi. Salah satu kejadian debat pada masa itu adalah yang terjadi di Kampus UI, Salemba, Jakarta, di mana beberapa kandidat yang ingin menjadi Presiden seperti Amien Rais, Yusril Ihza Mahendra, Didin Hafiduddin, dan Sri Bintang Pamungkas, duduk sebaris di atas panggung dan ditonton jutaan orang baik langsung atau dari televisi untuk berdebat mengenai visi dan misinya untuk Indonesia ke depan.
Adanya debat calon kepala daerah atau presiden, menimbulkan sikap pro dan kontra, baik dari calon maupun masyarakat. Pada masa awal Reformasi, Megawati Soekarnoputri menolak debat dengan alasan bukan budaya timur. Pun demikian, pasangan Agus Harimurti Bambang Yudhoyono dan Silviana Murni tidak menghadiri debat Pilkada Jakarta 2017 di salah satu stasiun televisi.
Seberapa penting debat itu bagi calon dan masyarakat (pemilih)? Kalau kita amati, debat merupakan sarana yang efektif bagi calon untuk memaparkan visi dan misinya. Dalam arena itu, calon bisa memaparkan bagaimana daerah atau wilayahnya ke depan. Dengan pemaparan itu, masyarakat bisa tahu secara jelas apa saja yang hendak dibangun. Jadi, masyarakat bisa mengkritisi para calon tentang program-program yang diajukan dan masyarakat bisa memilih mana program-program itu yang menguntungkan atau tidak baginya. Jadi, debat merupakan kampanye yang dioralkan oleh para calon. Selama ini masyarakat lebih banyak melihat kampanye yang ada lewat media visual.
Untuk itu sudah seharusnya arena debat digunakan oleh para calon untuk menarik pemilih sebanyak-banyaknya. Apalagi arena ini gratis karena biayanya ditanggung KPU. Namun, kalau kita selusuri, arena debat rupanya tidak terlalu signifikan untuk mendongkrak naik atau turunnya pemilih. Dari debat-debat yang ada, ‘pemenang debat’ sepertinya bukan pemenang pemilihan. Kita lihat dalam debat Pemilihan Presiden tahun 2009, bisa jadi capres Jusuf Kalla lebih menarik dan variatif dibanding Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati dalam debat namun realitasnya ia kalah dalam pemilihan. Pun demikian dalam debat Pemilihan Presiden 2014, Prabowo disebut lebih bagus namun dalam realitasnya Jokowi yang menjadi presiden. Demikian pula disebut dalam debat Pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2016, Hillary sering memenangkan debat namun realitasnya Trump yang menang dalam pemilihan presiden.
Debat menjadi penting namun sepertinya tidak terlalu signifikan sebab pemilih biasanya selain sudah menetapkan pilihannya juga dikarenakan debat hanya sebagai arena ‘kegaduhan’ baru. Dalam debat biasanya calon tidak mau mengalah dalam mempertahankan argumentasinya sehingga yang terjadi adalah debat kusir. Terjadinya kegaduhan dalam debat sebab dalam tata acara debat, ada sesi di mana calon boleh melempar pertanyaan kepada calon yang lain.
Ketika debat sudah memanas, di mana masing-masing pihak sudah mempertahankan pendapatnya, akan muncul emosi. Dari sinilah kadang calon secara tidak sadar mengeluarkan kata-kata yang tak pantas, apakah itu rasis atau melecehkan pihak lain secara pribadi. Lihat saja saat debat Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016 antara Trump dan Hillary, di mana emosionalitas di antara mereka sehingga selepas debat dua orang itu tak mau berjabat tangan. Â
Dalam soal debat, masyarakat selama ini sudah biasa melihat dalam acara-acara di televisi, entah itu talkshow atau dalam berita-berita. Kalau kita cermati, biasanya masyarakat tidak suka kepada seseorang dalam acara debat itu yang bicaranya keras, lantang namun isi dan pendapatnya menyalahkan pihak lain. Ia bersikap arogan. Biasanya selepas acara itu, pembicara tersebut akan di-bully di media sosial.
Dengan demikian debat sebenarnya jebakan batman, di mana calon sepuasnya memaparkan program-programnya secara panjang lebar dan menegasikan lawannya secara massif sehingga seolah-olah lawannya menjadi tak berdaya. Dengan harapan gaya itu menunjukkan dirinya menguasai masalah, namun pada dasarnya gaya itu, mau menang sendiri, tidak disukai oleh masyarakat.
Untuk itu perlunya sikap hati-hati bagi calon dalam arena debat. Kemenangan dalam menyajikan data dan penguasaan kata, bersilat lidah, yang dirasa mampu menarik pemilih justru bisa menjadi hal yang sebaliknya. Menyajikan banyak data dan program justru dianggap oleh masyarakat sebagai janji yang berlebihan dan akhirnya menjadi omong kosong sebab masyarakat sudah biasa diberi harapan palsu.
Agus Harimurti tidak hadir dalam debat tidak resmi bukan berarti ia tidak berani namun bisa jadi itu sebuah strategi. Mantan Ketua MK Mahmud MD mengakui kemampuan Agus bahwa ia seorang yang cerdas dan bukan karbitan. Agus menggunakan strategi tidak hadir dalam debat tidak resmi untuk menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang kalem dan tidak arogan. Dirinya bisa jadi menganggap masyarakat tidak butuh debat namun butuh penyelesaian masalah yang dihadapi. Bisa pula ada anggapan dari tim sukses Agus bahwa debat tidak signifikan terbukti pemenang debat belum tentu menang dalam pemilihan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H