Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Merasakan Jadi Tenaga Kerja Indonesia

5 Januari 2017   13:45 Diperbarui: 6 Januari 2017   11:10 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Begitu tiba di Terminal Kuching, Sarawak, Malaysia, saya segera bergegas turun dari bus. Bus itu telah mengantar penumpang dari Terminal Antarbangsa, Ambawang, Kubu Raya, Kalimantan Barat, Indonesia. Perjalanan dari dua kota dan dua negara itu memakan waktu sekitar 8 jam. Suasana menyenangkan dan menjenuhkan campur aduk jadi satu.

Di terminal yang terhubung dengan malli tu, saya bertanya naik apa bila hendak ke Water Front. Water Front adalah pusat wisata dan belanja di Kuching. Untuk menuju ke Water Front disebut ada dua cara, yakni menggunakan taxi atau bus umum. Perbedaannya adalah bila naik taxi, tarif yang dipasang adalah 25 RM (Ringgit Malaysia) hingga 30 RM. Sedang bila naik bus umum kisaran 1 RM hingga 2 RM. Sebagai pelancong biasa saya memilih menggunakan bus umum.

Untuk mencari bus umum, disarankan menunggu di halte. Halte itu berada di seberang terminal. “Menunggunya agak lama,” ujar orang yang memberi info. Setelah mendapat keterangan, saya bergegas menuju tempat yang ditunjuk. Untuk tiba di halte, harus melalui jalan raya yang padat dan ramai. Untung di pertigaan yang besar itu ada traffic light sehingga ada jeda lalu lalang. Di saat jeda itulah waktu untuk menyeberang. Hingga akhirnya tiba di halte bus.

Kamar Mandi Para Pekerja
Kamar Mandi Para Pekerja
Di halte yang sederhana itu, terlihat dua pemuda nongkrong. Bila di Indonesia, orang yang duduk di halte belum tentu akan menggunakan angkutan umum, bisa pula ia hanya duduk-duduk. Untuk itu saya bertanya, apakah mereka hendak menuju Water Front. Sebab berada di Malaysia maka menduga mereka orang sana sehingga menyapa dengan Bahasa Melayu. Salah satu dari dua pemuda itu menjawab iya mau ke Water Front.

Dari pembicaraan awal itu mengembang hingga akhirnya tahu sama tahu bahwa semua adalah dari Jawa, wong jowo. Dua pemuda itu adalah tenaga kerja Indonesia (TKI). Mereka sedang menyelesaikan sebuah proyek bangunan di sekitar Water Front yang saat itu sedang bermain ke Kuching Sentral.

Saat itu jam menunjukan hampir pukul 17.00 waktu setempat. Di Kuching jam operasional angkutan umum hanya sampai jam 17.00. Bila saat itu angkutan umum susah didapat, berarti jam operasional telah usai. Banyak diakui oleh pendatang baru, angkutan umum di kota itu susah dan jarang. Tak adanya angkutan umum itulah yang membuat kami sepakat untuk naik taxi. Dalam perjalanan mereka menawari berkunjung ke tempat tinggalnya. Disebut di sana banyak pekerja dari Indonesia. Mendengar hal yang demikian saya senang sebab keingintahuan mengenai kehidupan pekerja Indonesia bisa disaksikan secara langsung.

Seorang Pekerja
Seorang Pekerja
Taxi warna merah dan kuning itu akhirnya tiba di sebuah bangunan yang belum rampung. Setelah membayar tarif sesuai kesepakatan, bertiga keluar dari sedan model lama itu. Kemudian masuk di samping bangunan berbeton kokoh. Berada di samping bangunan itu terlihat besi-besi berserakan. Besi-besi dengan berbagai bentuk itu sepertinya dipersiapkan untuk sebagai rangka-rangka bangunan.

Selepas melintasi jalan yang berserak besi dan peralatan bangunan, akhirnya tiba di sebuah rumah. Rumah bertingkat dua itu bagian depannya untuk kantor pembangunan, sedang di bagian belakang dan atas untuk hunian pekerja, semua pekerja di tempat itu adalah dari Indonesia, dulu pernah ada dari India namun dikatakan sudah pulang.

Akhirnya tiba di belakang rumah. Di belakang rumah itu ada dua kamar yang tersekat. Di depan dua kamar itu ada dapur dan kamar mandi. Di tempat itulah sekitar 8 orang pekerja tinggal, sedang puluhan pekerja yang lain tinggal di lantai dua atau di ruang samping. Kedatangan saya disambut dengan ramah oleh mereka. Saling memperkenalkan diri. Mayoritas mereka berasal dari kota di Jawa Timur, ada beberapa dari Jawa Barat.

Ketika tiba di tempat itu, waktu menjelang malam dan saat makan malam. Mereka dengan ramah mengajak makan. Sebetulnya menolak ajakan makan namun mereka tetap mengajak sehingga akhirnya saya bersedia. Untuk menghormati maka saya mengambil nasi dan lauk sedikit. Salah satu di antara mereka mengatakan bahwa mereka masak bersama. Tujuannya pasti untuk menghemat pengeluaran.

Sebagai pekerja Indonesia, mayoritas mereka sudah berpengalaman. Mereka sudah biasa bekerja di luar negeri. Tempat kerjanya itu bukan yang pertama, mereka sudah pernah bekerja dalam proyek di Kuala Lumpur, Kinabalu, Johor bahkan negara Timur Tengah. Bahkan mereka ada yang pernah bekerja di perkebunan kelapa sawit.

Para pekerja itu, ada yang sudah memiliki istri dan anak, ada pula yang masih bujang. Adanya komunikasi yang murah dan cepat saat ini, seperti medsos, membuat mereka setiap saat bisa berkomunikasi dengan keluarganya yang berada di Indonesia. Pastinya mereka bekerja di negeri jiran karena ada jaringan dan sudah berpengalaman bagaimana hidup di sana.

Sebagai manusia, pasti para pekerja itu memiliki lika-liku kehidupan. “Banyak anggapan kerja di Malaysia enak,” ujar salah satu di antara mereka. Padahal diakui kerja di Malaysia mereka juga harus bersusah payah. Mereka digaji dalam bekerja dalam itungan per jam, per jam kisaran antara 6 RM hingga 10 RM. Dari itung-itungan inilah maka siapa yang rajin akan semakin banyak mendapatkan ringgit. Terkadang ada pekerja yang malas-malasan atau sakit sehingga mereka mengambil cuti (tak bekerja). Bila demikian maka pendapatan mereka pasti akan turun.

Sedang Bekerja
Sedang Bekerja
Bila dalam sehari jam kerja mereka 8 jam dan bila per jam-nya 10 RM maka dalam sehari mereka akan mendapat 80 RM. Bila kita umpakan 1 RM sama dengan Rp3000, dalam sehari ia akan mendapat Rp240.000. Bila yang mendapat per jam 6 RM maka dalam sehari 48 RM atau Rp144.000.

Bila masa kerja dalam satu bulan 26 hari maka kisaran yang mereka dapatkan, Rp 3.744.000 hingga Rp 6.240.000. Gaji sebanyak itu pasti sebagian dikirim ke Indonesia dan sebagian untuk kebutuhan sehari-hari. "Jadi sama saja mas dengan kerja di Indonesia,” ujar seorang pekerja Indonesia yang sudah puluhan tahun menetap di Malaysia. Pekerja Indonesia yang gajinya mencapai Rp 6 juta, biasanya mereka yang sudah senior dan yang bergaji Rp 3 juta biasanya mereka yang pemula. Hal demikianlah yang membuat mereka harus hemat dan membuat kepulangan ke Indonesia setahun sekali bahkan tiga tahun sekali.

Saya berada di lingkungan pekerja Indonesia yang legal. Seorang di antara mereka pernah menceritakan, tempat tinggalnya pernah dirazia oleh Polis (polisi) dengan kekuatan 25 personil. Polis itu mengepung di mana pekerja Indonesia tinggal. “Syukur kami legal sehingga aman,” ujarnya. Bila ilegal maka saat razia ada di antara mereka yang lari menyelamatkan diri, entah ke semak-semak di sekitar tempat tinggal atau tempat yang lain. “Bila pekerja ilegal tertangkap, ia akan diborgol,” ungkapnya.

Sebagai kebiasaan orang Indonesia yang gemar merokok, rata-rata pekerja itu adalah perokok. Di negeri jiran, mereka tetap memilih rokok produksi Indonesia. Alasannya selain rasa rokok di Indonesia lebih mantap, gurih, dan nikmat; juga harga lebih murah. Rokok dari Indonesia hanya 4 RM dan rokok Malaysia bisa 14 RM. Mereka mencari rokok dari Indonesia dengan cara diam-diam, ilegal. Bila ketahuan Polis mereka bisa didenda perbatang sekian ringgit. 

Untuk mengambil cara aman saat merokok produk Indonesia, biasanya selepas mengambil sebatang, mereka menyembunyikan rokok yang masih ada dalam bungkusan di saku celana. Pernah ada seorang perempuan Indonesia yang biasa menjual produk dan barang dari pintu ke pintu tempat tinggal pekerja Indonesia, ditangkap Polis dan didenda 500 RM. Ia dikenai denda sebanyak itu karena menjual rokok ilegal.

Tinggal bersama mereka selama 3 malam membuat saya mengerti dan merasakan bagaimana kehidupan mereka. Bagi sebagaian orang, mereka disebut enak karena bekerja di luar negeri namun mereka sendiri mengakui bahwa ia harus kerja keras dan terkadang gaji yang diterima masih belum menutupi kebutuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun