Suasana selepas subuh di Terminal Antarbangsa, Ambawang, Kubur Raya, Kalimantan Barat, masih sepi. Matahari belum memancarkan sinarnya sehingga di luar bangunan terminal masih terasa gelap. Sepi masih menyelimuti. Meski demikian, saya harus tetap menunggu di ruang yang disediakan. Masih ada waktu dua jam untuk menunggu keberangkatan ke Kuching, Sarawak, Malaysia. Di tiket tertanda keberangkatan pukul 07.00 waktu Indonesia bagian barat.
Di tengah kesendirian, tiba-tiba ada seseorang muncul. Orang itu kemudian duduk di sebuah kursi aluminium panjang. Kedatangan pria yang berasal dari Jawa itu membuat saya tidak sendiri lagi. Kusapa hendak ke mana ia. Dirinya mengatakan bahwa akan pergi ke Brunai Darussalam. Tadi malam menurutnya ia tidur di masjid di terminal itu.
Terminal antarbangsa itu melayani warga Indonesia yang hendak pergi ke Kuching atau Brunai. Pun sebaliknya warga negeri jiran yang hendak pergi ke Indonesia. Di terminal itu ada beragam bus yang menjual jasanya, seperti SJS, Damri, Eva, Biara Mas, Sri Merah, dan Saphire. Klas bus yang melayani jasa pulang pergi itu dari kelas eksekutif hingga super eksekutif.
Jam semakin mendekati pukul 07.00, terminal pun semakin ramai. Sela waktu yang ada saya manfaatkan untuk sarapan mie goreng di sebuah warung di terminal itu. Harapan untuk menikmati mie goreng yang sedap rupanya tak kesampaian sebab penjual itu menggoreng mie yang ada terlalu cepat sehingga mie yang tersaji masih terasa keras. Namun biarlah, saya mengunyah sedikit agar perut tak terlalu kosong.
Selepas membayar mie goreng saya segera berlalu dari warung itu menuju ruang keberangkatan. Sampai di tempat itu rupanya sudah ada puluhan orang duduk di ruang tunggu bahkan sudah ada yang berada di dalam bus. Pagi itu ada dua bus yang hendak menuju ke Kuching. Setelah satu persatu penumpang yang datang, mereka pun duduk pada nomer kursi seperti yang tertera di tiket. Bersyukur saya duduk di nomer 1B, dengan demikian saya berada di depan. Tempat ini merupakan favorit sebab memiliki pandangan yang luas sehingga tak menjenuhkan.
Tepat pukul 07.00, bus pun bergerak sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Di beberapa kursi masih terlihat belum ada penumpangnya. Meski demikian sopir dan assistant tak peduli. Rupanya, bus itu tidak kosong, di tepi jalan beberapa penumpang telah menunggu hingga akhirnya bus itu penuh.
Melintasi jalan yang mengarah ke Kuching, kanan kiri ada yang berupa hutan, sawah, kebun sawit, pemukiman penduduk. Wilayah lintasan bus, dari Kubu Raya hingga Sanggau masih jarang penduduk. Jarak antar kampung berjauhan. Meski demikian lintasan yang ada terbilang sudah ramai, sepeda motor, bus, truck, dan angkutan prbadi lainnya sering berpapasan.
Meski demikian, lintasan yang ada, infrastrukturnya ada yang bagus, ada yang rusak, bahkan ada pula yang masih berupa tanah. Demikian pula jembatan yang ada, selain sempit juga sudah kelihatan tak kokoh bahkan bisa membahayakan pengguna.
Setelah melakukan perjalanan selama 5 jam-an, akhirnya bus masuk ke area pos perbatasan, Entikong, Indonesia. Area itu beberapa hari sebelumnya diresmikan oleh Presiden Joko Widodo, tak heran bila suasana bersih, bangunan masih baru, dan cat yang masih gemilang terlihat di bangunan pos perbatasan. Apa yang dinasehati oleh crewbus tadi memang benar, di sana terlihat beberapa orang yang terlihat bersliweran dengan pakaian bebas. Di antara mereka ada menyapa dan entah menawarkan apa. Semua itu saya tanggapi dengan senyuman sebab seperti dinasehati crewbus agar hati-hati.