Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pesan Presiden dan UU ITE

13 Desember 2016   16:30 Diperbarui: 13 Desember 2016   17:44 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat memberi sambutan dalam Sidang Tanwir I Pemuda Muhammadiyah, November 2016, Presiden Joko Widodo menyampaikan pesan agar para peserta tanwir bijak dalam menggunakan media sosial. Joko Widodo mengatakan, dirinya titip masalah etika sopan santun, akhlak dalam berbicara di media sosial.

Pesan menggunakan etika dan sopan-santun dalam bermedia sosial yang disampaikan oleh pria yang pernah menjadi Walikota Solo itu bisa jadi pesan yang ketiga kalinya saat ia memberi sambutan resmi.

Ketika dirinya membuka Musyawarah Nasional VIII Lembaga Dakwah Islam Indonesia 2016, Joko Widodo juga menyampaikan pesan serupa. Diakui oleh Joko Widodo, bahasa yang digunakan di media sosial ada yang tidak sesuai dengan etika berkomunikasi dan nilai-nilai budi pekerti bangsa Indonesia. Untuk itu dirinya mengajak anggota lembaga dakwah itu, bersama dengan pemerintah, memberi contoh yang baik berinternet guna menyaring pengaruh negatif media sosial.

Menggunakan media sosial yang baik dan beretika bagi Joko Widodo merupakan hal yang penting sehingga dirinya sering menuturkan hal yang demikian. Saat menghadiri sebuah acara di Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, pria yang pernah menjadi Walikota Solo itu juga menyampaikan hal yang demikian agar kita menghindari media sosial sebagai arena untuk mencaci maki.

Sejak media sosial sebagai media komunikasi yang masssif, caci maki antarindividu dan kelompok bisa menjadi tontonan setiap hari. Dalam film tentang pendiri facebook, Mark Zuckerberg, problem seperti itu, mencaci maki, sebenarnya sudah terjadi meski facebook baru di lingkup pertemanan Zuckerberg di kampusnya.

Saat ini caci maki di media sosial tidak setiap hari namun setiap detik. Caci maki semakin seru ketika pengguna media sosial saling bersahutan dan tidak ada yang mau mengalah. Di tahun 1990-an, problem seperti yang disampaikan oleh Joko Widodo itu belum terjadi, faktornya selain tak sembarangan orang bisa memiliki handphone juga sebab media sosial semacam facebook dan twitter belum memasyarakat.

Dampak negatif dari media sosial sebenarnya sudah dirasakan oleh masyarakat dan pemerintah sejak lama. Kasus penculikan, pemerkosaan, menipu, dan melawan orang-orang yang dirasa harus dihormati seperti guru sering terjadi dari media sosial. Sikap pemerintah dalam menghadapi masalah ini hanya sebatas pencari akibat bukan sebab sehingga kejadian yang demikian terulang hingga saat ini. Bahkan sasaran caci maki saat ini juga mengembang, membesar, dan meninggi. Pengguna facebook sekarang tidak hanya berani kepada teman atau rekan; Presiden, ulama, kepala daerah, dan institusi-institusi yang seharusnya dihormati pun sekarang juga diserang dengan caci makian.

Problem seperti demikian akhirnya juga mengundang keprihatinan masyarakat. Mereka yang peduli pada masalah ini mengkampanyekan tentang pentingnya penggunaan internet yang sehat dan bersahabat. Saking panasnya suasana di media sosial membuat orang mulai enggan menggunakan sarana komunikasi yang murah, meriah, cepat, dan bisa digunakan selama 24 jam itu.

Mengapa sisi negatif dari media sosial itu dari waktu ke waktu semakin menggelembung dan banyak dikeluhkan oleh masyarakat bahkan Presiden sehingga UUITE ditegakan kembali setelah sekian waktu diabaikan. Hal demikian bisa terjadi dikarenaka, pertama, pengguna media sosial tidak sadar bahwa jaring-jaring alat komunikasi yang digunakan itu adalah ruang terbuka, ruang publik, sehingga semua orang bisa melihat isinya tanpa kita sadari. 

Selama ini pengguna masih merasa bahwa media sosial adalah ruang pribadi, tertutup, atau dalam kamar sehingga seolah-olah hanya dirinya yang berada dalam ruang itu. Akibat salah anggapan itu, pengguna sadar atau tidak, sering mengunggah status-status yang sifatnya pribadi. Bila status itu isinya positif atau netral mungkin tidak akan menjadi masalah. Namun bila apa yang diluncurkan itu isinya negatif, mencaci maki, maka di sinilah muncul dampak-dampak selanjutnya.

Kedua, masalah dari media sosial itu juga ditimbulkan oleh sisi kejiwaan pengguna yang sedang berinteraksi. Sebab kejiwaan orang tak sama maka respon yang ditimbulkan juga berbeda. Status yang positif atau datar bisa ditanggapi secara negatif atau meninggi bila pihak yang membaca itu seseorang yang jiwanya emosional.

Jadi problem yang muncul dari media sosial itu bisa juga dikarenakan adanya salah paham di antara pengguna. Oleh sebab itu maka sebaiknya dalam berinteraksi di media sosial kita juga harus memahami lawan bicara. Untuk itu di sini kita harus hati-hati kalau memilih atau menambah teman di media sosial. Entah karena ingin disebut temannya banyak, ribuan, terkadang kita mudah sekali menerima permintaan teman dari pihak lain tanpa diselusuri siapa ia, akun asli atau abal-abal.

Ketiga, mungkin hanya di Indonesia media sosial seperti lapangan massa, orang mudah berkerumun dalam jumlah jutaan dalam satu tempat tanpa takut privasi kita diketahui pihak lain. Saya mempunyai teman di Bremen, Jerman, ia merasa heran ketika facebook saya dan facebook orang lain di Indonesia, jumlah pengikutnya sampai ribuan. Hal demikian menurut teman saya tak akan terjadi di Jerman. Menurutnya, pertemanan facebook di negeri panzer itu tertutup dan hanya diikuti oleh beberapa orang saja, 25 orang itu sudah banyak. Mereka menutup diri dari ruang-ruang publik agar privasinya terlindungi.

Di Indonesia bisa jadi privasi bukan masalah penting sehingga sering, sadar atau tidak, kita mengumbar diri di media sosial. Akibat yang demikian membuat ribuan orang menjadi tahu siapa kita. Privasi yang tidak dijaga ini membuat segala aktivitas yang terekam dalam gambar (foto) semuanya diunggah sehingga ke mana kita pergi dan di mana kita berada akan diketahui. Dari sinilah kejahatan itu bisa muncul.

Keempat, status di media sosial itu juga menggambarkan apa yang sedang terjadi di masyarakat. Bila sebuah masyarakat semua segi kehidupannya baik dan terpenuhi maka status yang ada di media sosial berbanding lurus. Namun bila sebuah masyarakat segi-segi kehidupannya amburadul dan carut marut maka status di media sosial juga berbanding lurus, carut marut juga.

Apa yang dikeluhkan masyarakat dan Presiden itu bisa jadi menunjukkan bahwa di masyarakat banyak problem yang menghinggapi. Problem yang tak teratasi itu dilampiaskan masyarakat lewat media sosial. Ketidakadilan dalam hukum, ekonomi, politik, layanan pemerintah yang buruk, dan kriminal saat ini sering mewarnai media sosial. Seharusnya apa yang terjadi di facebook bisa menjadi masukan bagi pemerintah agar lebih giat bekerja, bekerja, bekerja.

Bila banyak problem di masyarakat yang dilampiaskan dalam media sosial kemudian pemerintah merespon dengan penegakan UUITE maka hal yang demikian tidak akan menyelesaikan masalah. Akan semakin banyak dampak buruk ketika penerapan undang-undang itu di tengah terjadinya ketidakadilan politik, hukum, dan ekonomi. Bila ingin suasana media sosial antengmaka problem-problem seperti di atas harus segera diselesaikan. Semakin pemerintah bisa menjawab dan mengatasi masalah yang ada maka masyarakat semakin nyaman sehingga mereka tidak melampiaskan masalahnya di media sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun