Kendaraan yang saya tumpangi meluncur dari Paalmerah, Kota Jambi, Provinsi Jambi, menuju Jalan Lingkar Timur, beberapa waktu yang lalu. Di jalan yang di kanan kirinya masih berupa lahan kosong berupa kebun, sawah, dan rawa-rawa, di beberapa potong jalan terlihat kepadatan lalu lintas, sepeda motor dan truk besar, berlalulalang.
Di sebuah penggalan jalan, Jl. Baru Kasang, Bang Oding, orang yang pergi bersama saya, memberi tahu bahwa di jalan ini ada Pasar 46. Disebut Pasar 46 sebab buka pasar itu jam 4 sore dan tutup jam 6 petang. Pedagang di Pasar 46 menjajakan dagangan berupa ikan segar, sayur, buah, dan kebutuhan masyarakat lainnya di bangunan-bangunan kayu yang berdiri tepat di pinggir jalan. Meski jalan itu jauh dari pemukiman penduduk namun dikatakan Bang Oding bila pasar telah buka maka di jalan itu ramai hingga menyebabkan kemacetan. Masyarakat antusias membeli dagangan di tempat itu.
Saya melintasi Jl. Baru Kasang di saat pagi, suasana sepi menghinggapi tempat itu. Terlihat bangunan-bangunan kayu yang berwarna tua dan kusam tempat berjualan pedagang Pasar 46 berdiri kosong.
Selepas melintas tempat itu, kendaraan terus melaju hingga melewati sebuah jembatan tinggi yang melewati Sungai Batanghari. Jembatan itu tampak kokoh tersusun atas beton dan besi baja yang membentang. Dari jembatan ini kita bisa menyaksikan besar dan lebarnya Sungai Batanghari. Melihat Sungai Batanghari mengingatkan saya pada Sungai Saigon di Vietnam yang besar dan panjang serta menjadi objek
wisata dan kehidupan masyarakat di sana.
Lepas dari jembatan ini, kita melintasi jalan di mana kanan-kirinya penuh dengan pepohonan yang tinggi dan kokoh berdiri. Bang Oding memberi tahu bahwa pohon-pohon yang berdiri di samping jalan itu adalah pohon durian dan duku. Dari apa yang dikatakan membuat saya paham, pantas saja di Kota Jambi, durian dan duku melimpah dan dijual di pinggir-pinggir jalan.
Kendaraan yang saya tumpangi, akhirnya berbelok pada sebuah jalan, meninggalkan jalan utama. Masuk jalan ini kita menuju Komplek Candi Muara Jambi. Tempat wisata yang berada di Desa Muara Jambi, Kecamatan Maro Sebo. Dari Kota Jambi jaraknya sekitar 20 km. “Bila ditempuh dengan kendaraan menghabiskan waktu kurang dari satu jam,” ujar Bang Oding.
Untuk menuju ke komplek candi ini, sebelum atau di tahun 1990-an, orang menggunakan ketek (perahu) menyusuri Sungai Batanghari. Namun setelah pembangunan jalan di darat dikembangkan, orang-orang memilih menggunakan sepeda motor atau roda empat daripada ketek. Masyarakat di sana pun juga beralih menggunakan transportasi darat bila hendak ke kota atau sebaliknya.
Dari karcis masuk yang saya terima, dengan membayar Rp5000, tertera di karcis berwarna kuning itu tulisan yang menyebut Pemerintah Kabupaten Muara Jambi, Dinas Kebudayaan Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga. Restribusi tanda masuk itu merupakan Perda Kabupaten Muaro Jambi No. 07 Tahun 2015.
Masuk ke dalam Komplek Candi Muara Jambi, terlihat puluhan sepeda terparkir rapi. Sepeda-sepeda itu disewakan kepada pengunjung yang hendak melihat bangunan di masa Kerajaan Sriwijaya berdiri. Ada pihak yang menawarkan jasa sewa sepeda sebab area wisata itu memiliki luas 3981 hektare. Bila berjalan kaki tentu melelahkan untuk mengarungi area seluas itu. Dengan luas yang demikian maka Komplek Candi Muara Jambi disebut sebagai tempat wisata Budha terluas di Asia.
Kesan pertama saat melihat komplek candi itu mengingatkan saya pada komplek candi di Angkor, Siem Reap, Kamboja, khususnya di Komplek Candi Ta Prohm. Mengapa demikian? Sebab di Komplek Candi Muara Jambi sama dengan di Angkor, banyak pohon-pohon besar dan menjulang tinggi. Di Angkor terdiri dari beberapa komplek candi, Seperti Angkor Wat, Ta Prohm, dan Bayon, maka di Komplek Candi Muara Jambi ini ada Candi Gumpung, Candi Tinggi, Candi Tinggi I, Telaga Rajo, dan candi-candi lainnya.
Sama seperti saat di Angkor, candi-candi di Muara Jambi kuhampiri satu-satu. Dari candi-candi yang ada di komplek itu Candi Gumpung dan Candi Tinggi-lah yang masih kelihatan utuh meski tak penuh. Kesemua candi yang ada tersusun dari batu bata merah. Beda dengan candi di Angkor dan Jawa Tengah yang tersusun dari batu keras. Pada bangunan Candi Tinggi, terlihat bangunan itu berupa bangunan segi empat yang bertumpuk di mana semakin ke atas semakin kecil ukurannya. Pada bagian depannya terdapat jalan berundak untuk menuju ke atas. Melihat Candi Tinggi, kita akan merasakan aura pada masa Kerajaan Sriwijaya berdiri. Aura ini terasa sebab bangunan Candi Tinggi sepertinya menggambarkan keaslian bentuk pada masa lampau meski candi itu sudah mengalami pemugaran.
Nama-mana candi yang ada di komplek itu bukan nama asli pada masa Sriwijaya. Nama yang diberikan oleh masyarakat atau penemu disesuaikan dengan bentuk yang ada. Disebut Candi Tinggi sebab bangunannya tinggi. Disebut
gumpung (buntung) sebab candi itu sepertinya terputus bentuknya, tak ada atap.
Di area komplek candi ada sebuah kolam. Kolam itu disebut sebagai Telago Rajo. Dengan nama demikian kita bisa mengartikan bahwa kolam itu milik raja. Fungsi kolam itu pada masa lalu bisa jadi sebagai tempat mandi, tempat penyediaan air, atau sebagai taman wisata raja. Menurut salah satu penduduk di sana, kolam air itu tak pernah kering airnya meski di saat kemarau.
Komplek Candi Muara Jambi ini dari waktu ke waktu semakin dipromosikan oleh pemerintah. Pada 22 September 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan tempat itu sebagai Kawasan Wisata Sejarah Terpadu. Di area ini ada museum yang menyimpan arca-arca dan perabot rumah tangga yang berasal dari China. Arca-arca yang terbuat dari batu keras itu disebut bukan sebagai karya asli Sriwijaya namun sumbangan dari wilayah lain, entah India, Jawa, Indocina, atau China. Komplek Candi Muara Jambi diduga sebagai kampus pendidikan bagi Ummat Budha. Orang China yang ingin belajar ilmu agama Budha lebih dulu belajar di Sriwijaya.
Jembatan Gentala Arasyi dari dekat
Sebagai tempat peninggalan Ummat Budha pada masa Sriwijaya, Komplek Candi Muara Jambi setiap Hari Raya Waisyak digunakan oleh Ummat Budha dari segala penjuru untuk melakukan ritual persembahyangan. Ummat Budha melakukan wisata religi di komplek ini. Pada hari itu, komplek candi penuh dengan Ummat Budha. Pada gerhana matahari total kemarin, komplek candi itu digunakan bagi masyarakat di sana untuk nobar.
Bukti Kerajaan Sriwijaya itu besar bisa disaksikan tak hanya di Komplek Candi Muara Jambi. Sekitar 100 meteran dari tempat itu, kita akan melihat Candi Kedaton. Komplek Candi Kedaton disebut sebagai bangunan terbesar dari tebaran candi yang ada. Kedaton memiliki luas 43.000 meter persegi. Di komplek Kedaton terdiri dari bangunan induk
perwara, gapura utama, dan pagar. Pagar yang melindungi bangunan induk berbentuk segi empat. Dengan melihat Kedaton, kita mengira di sinilah pusat Kerajaan Sriwijaya. Bangunan ini sepertinya Istana Sriwijaya.
Sebelum kita menginjakkan kaki di Kedaton, kita akan melewati sebuah jembatan. Jembatan ini mengangkangi sebuah aliran sungai yang saat itu mengalir deras dan penuh. Aliran sungai ini disebut Kanal Kuno. Pada masa itu, untuk melalui daerah-daerah yang tidak dilintasi Sungai Batanghari, Pemerintah Sriwijaya membuat kanal-kanal sebagai jalan menuju pedalaman. Kanal-kanal itu dibuat sebagai sarana transportasi untuk menghubungkan dari satu candi ke candi atau dari satu tempat ke tempat yang lain. Kanal Kuno ini disebut telah direvitalisasi, sementara kanal-kanal yang lain akan dilakukan hal yang serupa.
Penyelusuruan wisata saya di Jambi tidak berhenti di area di mana jejak Sriwijaya tersebar. Saya melanjutkan ke tepian Sungai Batanghari yang berada di Kota Jambi tepatnya di Jembatan Gentala Arasy. Jembatan yang dibangun pada tahun 2012 dan diresmikan pada tahun 2015 ini mempunyai panjang 503 meter dan lebar 4,3 meter. Jembatan ini membentang di atas Sungai Batanghari, menghubungkan antara Kota Jambi dengan Kota Seberang.
Dengan adanya jembatan itu maka sebagaian masyarakat memilih tidak menggunakan ketek bila hendak menuju ke Kota Jambi dari Kota Seberang atau sebaliknya. Pembangunan Jembatan Gentala Arasy, yang sekarang menjadi ikon Kota Jambi ini, sepaket dengan pembangunan Museum Gentala Arasy. Di katakan oleh pengelola Museum Gentala Arasy, di Kota Jambi banyak museum. Nah, untuk Museum Gentala Arasy dikhususkan untuk museum tentang sejarah perjalanan Islam di Jambi.
Saat saya masuk ke dalam museum itu, pada hari Sabtu, pengunjung terlihat ramai bahkan ada rombongan anak TK. Sepuluh bulan setelah museum itu diresmikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, tercatat sudah ada 78.000 pengunjung yang datang, tidak hanya dari Jambi namun dari penjuru nusantara dan mancanegara.
Di museum itu ada 114 koleksi yang disimpan. Koleksi sebanyak itu ada berupa pinjaman, titipan, pembelian, dan hibah. Bila kita masuk ke dalam museum kita akan melihat penggalan sejarah di Jambi. Pertama kali kita akan melihat sejarah terbentuknya provinsi Jambi, kemudian sejarah perjuangan Jambi dalam NKRI, sejarah masuknya Islam di provinsi itu, sejarah pembangunan Jembatan Gentala Arasy, dan peninggalan-peninggalan sejarah Islam. Di museum itu ada Al Quran berukuran raksasa dan sebuah bedug buatan Jepara yang pernah digebuk oleh Presiden Soeharto saat peresmian pembukaan MTQ di Jambi pada tahun 1997.
perumahan-di-kampung-seberang-1-5773761a939373ea051cd3f3.jpg
Dikatakan oleh pengelola museum, nama Gentala Arasy mempunyai dua makna. Makna pertama, dari kata
genta yang berarti lonceng,
tala berarti penyelaras waktu, dan
Arasy yang artinya tempat tertinggi di mata Allah. Dari makna yang pertama ini menyampaikan pesan, setiap ummat Muslim harus menunaikan ibadah sholat tepat waktu. Dari makna yang dipesankan demikian, tak heran bila bangunan museum diwujudkan dengan bentuk menara tinggi di mana di puncaknya ada jam. Dengan melihat jam maka masyarakat bisa melihat waktu.
Makna kedua nama museum itu adalah
Genah Tanah Kelahiran Abdurrahman Sayoeti. Abdurrahman Sayoeti adalah Gubernur Jambi Periode 1989-1999. Abdurrahman Sayoeti merupakan orang kelahiran Kota Seberang. Kota Seberang bagi masyarakat Jambi disebut sebagai daerah istimewa sebab dari tempat itu awal mulanya perkembangan Islam di Jambi. Di museum kita bisa melihat sejarah di Kota Seberang-lah, Islam mulai menggeliat hingga akhirnya menjalar ke berbagai daerah di provinsi itu.
Sin Thay Penyebar Islam di Jambi
Dalam perkembangan Islam, ulama-ulama di Jambi telah melakukan hubungan dengan ulama dari Persia, Arab, dan China. Bahkan salah satu pensyiar Islam di Kota Seberang pada tahun 1500-an, adalah seorang ulama dari China bernama Shin Thay. Dari kehadiran Shin Thay di Jambi, terbentuklah Pecinan, sebuah wilayah di antara Olakkemang dan Arab Melayu. Dari Pecinan di mana lampau itu, lahir dan bermukim ulama yang dimuliakan.
Untuk mengenang Kota Seberang sebagai daerah pusat pengembangan Islam, Kota Seberang dijadikan sebagai tempat wisata religi. Pada hari-hari besar Islam, daerah itu sangat ramai. Untuk menguatkan status yang demikian maka Museum Gentala Arasy, museum perkembangan Islam di Jambi, dibangun di sana, tepat di tepi Sungai Batanghari.
Ardi Winangun
Matraman, Jakarta Timur
081262417703
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya